Category Archives: Politik dan Kenegaraan

Menguliti Bakal Calon Presiden Indonesia 2014

Standar

Pemilihan Umum masih sekitar 2 tahun lagi, tepatnya tahun 2014. Tapi kasak-kusuk para politisi tentang siapa calon presiden Indonesia berikutnya sudah sangat nyaring di telinga. Jika ini dianggap pekerjaan sia-sia belaka, tunggu dulu. Bagi saya inilah bagiann sosialisasi politik yang di dalamnya memuat pesan pendidikan politik juga. Biar masyarakat Indonesia tahu, siapa figur-figur yang akan muncul, baik yang sudah lama di jagad politik maupun yang baru lahir kemarin sore. Ikhtiar ini perlu dilakukan, sebab media sudah sangat terbuka sekali, kritik dari segala penjuru terhadap realita “politik basi” yang acap kali dipertontonkan para politisi. Minimal agar para politisi munafik tersadarkan jika masyarakat Indonesia sudah semakin cerdas. Jadi penting memang ketika kita berusaha membedah para bakal calon pemimpin nasional pengganti Susilo Bambang Yudhoyono tersebut.

Mimpi (Bakrie) Terendam Lumpur

Nama pertama yang saya coba analisis adalah Aburizal Bakrie (AB). Penempatan AB dalam pembahasan pertama bukan karena saya mengimani survei versi Reform Institute (Kompas, Oktober 2011), yang menempatkan AB sebagai calon presiden terkuat (13,58 %). AB saat ini adalah Ketua Umum Partai Golkar. Partai yang mencatat sejarah dan ikut terlibat ketika republik ini berada di atas maupun di bawah. Partai yang tetap bertahan walaupun pada 1998 Soeharto lengser dan tuntutan Golkar dibubarkan juga sangat kencang. Tapi biduk karamnya Golkar tak dirasakan seperti yang menerpa Soeharto.

Partai Golkar pada Pemilu 2004 menjadi pemenang, yang kemudian tetap berada di urutan 2 teratas pada Pemilu 2009. Suara Partai Golkar cenderung stabil. Sudah menjadi “bakat genetik” Golkar berada di pemerintahan. Karena bicara opisisi di republik ini ibarat mengharap matahari di tengah malam. Tak ada oposisi sejati, yang ada kepentingan sejati. Posisi AB yang terpilih menjadi ketua umum, lantas menggiring persepsi publik dan suara-suara di internal Partai Golkar menjadikannya calon presiden Pemilu 2014. AB memiliki popularitas, semenjak menjadi ketua umum Hipmi, ketua umum Kadin dan pengusaha papan atas dengan usaha Bakrie & Brothers. Berbekal inilah kekuatan ekonomi dan jaringan AB mulai.

Pada 2011 Forbes merilis daftar orang terkaya di Indonesia, dan AB menduduki peringkat ke-30 dengan total kekayaan US$ 890 juta. AB memiliki kekuatan ekonomi dalam menjalankan kiprah politiknya. Ini tak bisa dianggap remeh. Termasuk memiliki media yang cukup dikenal (TV One, ANTV dan porta Vivanews.com). Tapi sisi lain AB dan puluhan perusahaannya ini agak tersumbat ketika muncul kasus Lapindo Brantas, Sidoarjo. Lumpur Lapindo yang “sukses” menenggelamkan beberapa desa yang di dalamnya diisi ratusan rumah penduduk, mesjid, madrasah sampai kepada pemakaman umum. Peristiwa atau musibah ini terjadi sejak 200 sampai sekarang. Saking terkenalnya istilah lumpur Sidorajo ini, situs Wikipedia saat ini pun membuat profilnya.

Mata masyarakat tertuju langsung kepada perusahaan yang dimiliki keluarga AB. Tentu mungkin “tragedi lumpur jahanam” ini adalah titik masuk untuk memvonis jika AB tak akan pernah bisa menjadi presiden sampai kapanpun. Dosa sosial, ekonomi dan kemanusiaan AB dan keluarganya sudah terlampau besar. Walaupun sampai saat ini masyarakat terus bingung, antara “bencana alam” atau “ulah sengaja perbuatan manusia”. Lepas dari pilihan “politis” ini, yang jelas korban lumpur jahanam tetap ada, susah hidup, terus mencari keadilan. Rumah, pekarangan, madrasah tempat mereka mengaji dan pemakaman tempat orang-orang tercinta dikuburkan sudah direndam oleh lumpur jahanam.

Di sinilah pertaruhan politik mulai terjadi. Yang jelas adalah saya yakin masyarakat Sidorajo (khususnya Kecamatan Porong) secara absolut mengatakan tidak untuk AB. Sejarah akan membuktikan apakah kekuatan jaringan ekonomi, kekayaan yang melimpah, popularitas (citra baik atau  buruk) secara linier akan mempengaruhi elektabilitas masyarakat. Oleh karena itu perjuangan AB taklah mulus, dibanding saat dia mencalonkan diri jadi ketua umum Golkar. Jalan terjal dan berbatu menuju istana merdeka sedang dilaluinya. Saat inilah waktu yang tepat bagi AB untuk menyabit rerumputan dan menyapu bebatuan yang menghalangi jalannya menuju istana. Tapi apakah cukup dengan program prorakyat yang intens diiklankan saat ini? Atau AB lebih memilih datang ke Porong Sidoarjo, kemudian meminta maaf pada masyarakat Sidoarjo dan mengganti seluruh kerugian materil masyarakat Porong? Memang pilihan berat untuk anda, Ical!

Sejarah (Prabowo) yang Berkabut

Calon kedua adalah Prabowo Subianto (PS). Nama ini sudah sangat populer pada 1998 khususnya. Bukan hanya karena PS menantu Soeharto, dengan kecemerlangannya sebagai jenderal Kopassus, tetapi kasus Mei 1998 yang selalu dikait-kaitkan kepadanya. Penculikan aktivis, Tim Mawar, percobaan kudeta dan varian-varian Mei 1998 diidentikkan dengan Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra ini. Popularitas PS tak kalah dari tokoh-tokoh lainnya sampai sekarang. Di setiap iklan politiknya selalu mengenalkan diri, “Saya, Prabowo Subianto …”. Kekayaan PS tak kalah banyak dari Aburizal Bakrie. Waktu Pemilu 2009, kekayaan PS yang dirilis KPU berjumlah 1,7 triliyun (Kompas, Mei 2009). Angka yang fantastis tersebut karena perusahaan kelapa sawit dan perkebunan yang dimilikinya. Pada Pemilu 2009 suara Partai Gerindra hanya 4,6 juta pemilih. Pasangan Megawati-Prabowo pun jauh tertinggal oleh SBY-Boediono.

Partai Gerindra saat ini masih partai kecil. Perolehan suara pada Pemilu 2009 memang bukanlah vonis mati untuk tak berkembang sampai Pemilu 2014. Mesin politik Gerindra harus giat bekerja dari sekarang. Walaupun saya melihat tokoh yang dikenal di Gerindra saat ini oleh publik hanya Prabowo dan Fadli Zon. Kewajiban Gerindra untuk memproduksi tokoh-tokoh muda dan berbakat. Jika yang dimaksud adalah Suhardi, Pius Lustrilanang dan Permadi tentu bukan. Gerindra adalah Prabowo dan Prabowo adalah Gerindra. Gerindra perlu mencontoh dan belajar dari Demokrat, setidaknya pada Pemilu 2004. Membangun image partai seiring dengan sosok SBY.

Ikhtiar politik PS menjadi presiden pada Pemilu 2014 nanti masih sangat terbuka lebar. Bukan pula karena saya mengimani hasil survei Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS) yang menempatkan PS di uruan teratas, dengan perolehan 66,5 % suara masyarakat yang disurvei memilihnya (Kompas, Oktober 2011). Terlepas dari kontroversi “dukun politik” yang bernama survei pesanan, faktanya adalah sosok Prabowo menjadi alternatif pilihan presiden Indonesia. Kepercayaan lama tentang keharusan pemimpin nasional harus berlatar Jawa-Non Jawa atau Militer-Non Militer tampaknya masih menjadi keyakinan politik masyarakat kita. Maka figur militer yang tegas, berwibawa dan berani bersikap agaknya dijawab oleh sosok Prabowo. Mungkin karena masyarakat sudah terlalu kecewa dengan mantan tentara yang saat ini menjadi presiden. Sangat jauh dari tegas dan berani bersikap.

Bagi mereka yang percaya dengan mistik-politik, jikalau tak mengatakannya dengan kelompok abangan, maka sosok PS adalah jawaban atas “Jongko Joyoboyo” alias Ramalan Jayabaya. Akhiran nama “to” dan kekuatan supranatural di balik akhiran namanya, setidaknya menjawab interpretasi mistik-politik ini. Terkait hal ini saya pernah menguraikannya di kompasiana http://politik.kompasiana.com/2011/02/28/prabowo-antara-ramalan-jayabaya-dan-realita-politik/.

Dosa sejarah yang saat ini masih misteri adalah vonis bahwa PS memang terlibat dalam tragedi Mei 1998. Ini mesti dituntaskan lebih dulu agar sejarah tak terus-menerus membohongi generasi bangsa kita. Biar masyarakat tahu, mana Pandawa sesungguhnya dan mana Kurawa sebenarnya. Jawaban melalui buku sudah dilakukan. Pelurusan sejarah sedang diusahakan apapun medianya. Tapi menutup-nutupi sejarah bukanlah solusi atas misteri yang menyelimuti negeri ini. Maka sudah tepat waktunya bagi “Soekarno Kecil” (istilah Permadi untuk Prabowo) saat ini meluruskan sejarah republik. Agar jalan anda menuju istana didukung oleh semesta rakyat Indonesia, setidaknya oleh Raja Jayabaya.

Jalan Setapak Sriwijaya Menuju Istana

Berikutnya yang ketiga adalah Hatta Rajasa (HR). Besan sang presiden ini adalah ketua umum PAN. Posisi PAN dalam Pemilu 2004 menempati urutan ke enam dengan 7,3 juta suara pemilih. Sedangkan Pemilu 2009 memproleh 6,2 juta suara di urutan ke lima. Figur Hatta Rajasa tak sepopuler pendiri PAN yakni Amien Rais. Harus diingat bahwa loyalitas warga Muhammadiyah terhadap PAN tak lagi menjadi ukuran mutlak sikap politik para pemilih. Amien Rais yang tokoh reformasi saja kalah terseok-seok pada Pemilu 2004, apalagi jika menjagokan Hatta Rajasa sebagai presiden 2014. Begitulah bahasa sederhananya. Benar sekali jika HR memiliki kekuatan ekonomi yang lumayan, karena beliau juga pengusaha. Tapi mesti diingat ketokohan HR belum terbukti mampu bersaing dengan figur lain. Ditambah suara PAN yang relatif kecil dalam tiap Pemliu.

HR pun sampai saat ini belum tercatat oleh memori kita akan prestasi yang diberikan untuk masyarakat. Ucapan, tindakan dan sosok yang cenderung kalem, bicara datar-datar saja (normatif), tak mau berkonflik, sikap hati-hati agaknya menjadi indikasi bahwa sosok tegas belum nampak pada dirinya. Bahkan untuk membacakan ijab pernikahan puterinya saja, seorang Hatta Rajasa harus berbicara (terlalu) pelan (inilah opini masyarakat yang greget ketika menyaksikan ijab-qabul pernikahan Ibas-Aliya). Syarat mutlak bagi pemimpin Indonesia ke depan adalah berani bersikap dan tegas. Ditambah hasil survei yang belum ada menempatkan HR di posisi teratas pilihan masyarakat. Jadi perjuangan HR masih jauh dan berat jika tetap berambisi menjadi RI 1. Tapi pahit-pahitnya, minimal kursi RI 2 masih terbuka lebar bagi “Pak Uban” ini.

Busuk Sebelum Berbuah

Keempat adalah figur-figur tua yang namanya pernah ikut pada Pemilu-pemilu sebelumnya. Megawati, Jusuf Kalla dan Wiranto adalah contohnya. Dengan berani saya katakan, Pemilu 2014 nanti, bapak/ibu tak usah lagi bernafsu menjadi presiden! Walaupun survei Jaringan Survei Indonesia (JSI) menempatkan Megawati di urutan teratas (Kompas, Okober 2011). Termasuk Surya Paloh yang pernah ikut kovensi Golkar 2004. Bukan karena apa-apa saya mengatakannya, tapi lebih kepada regenerasi politik ke depan. Betul sekali, 2014 adalah transisi politik dan penyerahan tongkat estafet dari generasi gaek kepada generasi muda. Jangan sampai republik ini mencontohkan pemerintahan gerontokrasi (pemerintahan para gaek) seperti yang terjadi di dunia Arab sana.

Megawati sudah terlampau sepuh. Dua kali ikut Pemilu, dua kali kalah. Begitu juga Wiranto, dua kali ikut Pemilu, ceritanya sama pula, kalah. Pak JK lain ceritanya. Usia yang melampaui Mega dan Wiranto, bahkan di deretan politisi usia JK sudah sangat tua, 69 tahun (2014 akan 71 tahun). Sama halnya dengan “Pak Brewok” yaitu Surya Paloh. Selain kendaraan politik berkaki duanya yang bernama Partai Nasdem dan Ormas Nasdem baru lahir kemarin sore, figur Surya Paloh agak sulit diterima oleh partai politik lainnya, apalagi bagi Golkar.

Terakhir, kelima adalah calon-calon pemimpin muda. Nama Anas Urbaningrum (AU) pasti langsung diingat jika bicara pemimpin muda. Tapi ekpektasi yang berlebihan terhadap sosok AU tak akan terjawab. Nama Anas sudah layu sebelum berkembang, sudah busuk sebelum berbuah. Inilah fakta yang terjadi saat ini. Kasus Nazaruddin membuka lebar mata masyarakat. Harapan pada Anas pupus sudah. Publik sudah kadung kecewa dengan ragam persoalan yang melilit Demokrat, khususnya nasib “Sang Ketua Besar” ini. Lalu nama siapa lagi? Mungkinkah Puan Maharani, puteri mahkota Megawati? Tanpa berpikir panjang orang-orang lantas berkata, jangan dulu, masih bau kencur! Betul adanya, Puan belum menorehkan kiprah politik, laiknya sang ibunda pada zaman Orde Baru. Belum ada catatan prestasi dari Puan. Jadi masih jauh panggang dari api bagi Mbak Puan.

Akhirul Kalam

Inilah sedikit elaborasi saya terhadap nama-nama figur yang dikenal publik dan ramai dibicarakan untuk menggantikan SBY. Memang masih ada nama seperti Djoko Suyanto, Pramono Edhie Wibowo, Hidayat Nur Wahid bahkan Ibu Ani Yudhoyono. Tapi saya meragukan nama-nama ini menjadi RI 1. Terlebih lagi Hidayat Nur Wahid (PKS). PKS belum punya tokoh dan belum punya nyali untuk berani merebut RI 1 atau 2 (pemilu 1999, 2004 dan 2009 adalah buktinya). Apalagi Bu Ani yang sudah “dihambat” oleh sang suami mejadi presiden 2014 nanti (Pidato SBY di Cikeas, Desember 2011). Saya percaya dengan pernyataan SBY ini.

Jadi silahkan republik yang akan memilihnya nanti. Apakah akan terus mempercayai nama-nama di atas untuk memimpin kita, ataukah akan belajar dari sejarah, dan berani berpikir beda. Dengan memilih figur yang tak pernah diperhitungkan selama ini, bahkan yang tak pernah diingat oleh media dan memori kita? Kitalah yang akan menjawabnya kelak.

 

 

 

 

Merdeka: Antara Otonomi Khusus Papua dan Aceh

Standar

Perjalanan dua daerah khusus ini memang penuh dinamika politik yang menghiasi perdebatan bahkan pertentangan. Saat Orde Baru, diberlakukan Daerah Operasi Militer (DOM) yang nyata-nyata menjadi tangan militer rezim untuk membungkam aspirasi rakyat Aceh. Bergulirnya reformasi disusul lahirnya UU tentang Otonomi Daerah memberikan sedikit angin segar bagi pemulihan dan rekonsolidasi masyarakat Aceh. Sebagai sebuah gerakan perjuangan dan politik, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) mendapat legitimasi sosial, politik bahkan ideologis dari masyarakat Aceh. Rentetan mediasi dengan pemerintah pusat makin intensif yang puncaknya adalah lahirnya MOU Helsinki pada 15 Agustus 2005 di Finlandia. Terjadi kesepakatan bulat antara GAM dengan pemerintah Indonesia untuk berdamai namun dengan prasyarat yang mesti dipenuhi keduabelah pihak. Pada tahun 2006 disusul dengan disahkannya UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Lahirnya regulasi yang menjadi penanda perubahan fundamental di Aceh. Sekaligus menjadi justifikasi bahwa Aceh memang “khusus” dalam perjalanan sejarah republik ini. Pernyataan ini terlihat secara eksplisit dalam konsideran UU Pemerintahan Aceh (UU PA) yaitu:

a.  Bahwa berdasarkan perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia, Aceh merupakan satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa terkait dengan salah satu karakter khas sejarah perjuangan masyarakat Aceh yang memiliki ketahanan dan daya juang tinggi;

b.  Bahwa ketahanan dan daya juang tinggi tersebut bersumber dari pandangan hidup yang berlandaskan syari’at Islam yang melahirkan budaya Islam yang kuat, sehingga Aceh menjadi daerah modal bagi perjuangan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia;

Implikasi politik dan yuridisnya adalah daerah Aceh memiliki kekhasan dan sistem yang berbeda dari daerah lain di Indonesia. Beberapa karakter kedaerahan yang lahir akibat UU ini dan cukup disorot oleh masyarakat (nasional dan internasional), seperti: berlakuknya syariat Islam (dalam Qonun-Peraturan Daerah) dengan segala perangkat hukum dan lembaganya dan diberikannya peluang bagi hadirnya Partai Lokal dalam Pemilu (termasuk Pilkada). Perjalanan keistimewaan Aceh ini sudah berjalan semenjak 2006 sampai sekarang. Di berbagai tingkatan sudah banyak lahir Qonun (Peraturan Daerah) dalam rangka memberlakukan syariat Islam, seperti kewajiban menutup aurat bagi perempuan, pelaksanaan hukum cambuk bagi pelanggar pidana Islam, kewajiban membaca Al-Qur’an dan sejenisnya. Dibuat kemudian “Polisi Syariah” dan “Mahkamah Syariah”. Di sisi lain keberadaan lembaga hukum nasional seperti Polri, Pamong Praja, Pengadilan Umum, Kehakiman tetap ada dan diakui. Tetapi tak sedikit kritikan dan penentangan yang terjadi terhadap wajah pelaksanaan UU PA ini. Bagi sebagian kalangan pemberlakukan syariat Islam versi Aceh cenderung mempersempit gerak perempuan dan peminggiran hak-hak perempuan.

Beranjak ke provinsi lain yang juga memiliki kekhususan yakni Papua, terlahir dari UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Dalam hal ini sebagai pengganti Provinsi Irian Jaya menjadi Provinsi Papua dan Papua Barat. Jauh berbeda dalam perjalanan sejarah dan politik antara Aceh dengan Papua. Jika di Aceh eksistensi GAM sangat kuat dan berpengaruh dalam peta politik nasional (dengan pemerintah pusat), ditambah sepak terjang tokoh-tokoh dan perwakilan GAM di luar negeri. Perjuangan fisik GAM di Aceh dipadukan dengan perjuangan diplomasi (politik) di luar negeri. Sinergi yang kuat antara dua komponen utama ini membuat posisi tawar bagi jalan konsensus semakin terbuka lebar. MOU Helsinki menjadi bukti dan keberhasilannya.

Namun beda sekali dengan Papua. Keberadaan Organisasi Papua Merdeka (OPM) setidaknya bagi pemerintah pusat tak sama kedudukannya dengan GAM. OPM dinilai lebih sebagai organisasi separatis ketimbang organisasi perjuangan politik masyarakat Papua. Hal ini cukup rasional, karena kita tahu bahwa OPM sebagai gerakan perjuangan (fisik) tak didukung secara holistik dan bulat oleh masyarakat Papua. Ditambah lagi dengan perpecahan di internalnya sehingga memunculkan faksi-faksi yang satu sama lain berbeda haluan politiknya. Termasuk faktor geografis Papua yang berbukit dan minim infrastruktur, berakibat pada rendahnya mobilitas gerakan OPM. Berbeda dengan GAM yang didukung secara utuh dan bulat oleh masyarakat Aceh. Namun faktor penentu yang menjadi modal ideologis bagi perjuangan GAM yakni agama Islam beserta otoritas tokoh-tokoh ulama.

Otonomi khusus Papua memang tak sama dengan Aceh. Jika keistimewaan Aceh lebih kepada pembangunan tatanan hukum, sosial dan politik, namun bagi Papua lebih kepada item-item sosio-kultural. Ini penting bagi Papua sebab sangat banyaknya suku dan sub-suku yang hidup, dengan adat-budaya dan kepentingan (politik) berbeda satu sama lain. Di satu kabupaten misalnya hidup puluhan suku dan didominasi oleh suku-suku tertentu. Maka perlu ada regulasi politik untuk mengatur mereka. Representasi sosial-kuktural inilah kemudian yang menghasilkan berdirinya Majelis Rakyat Papuat (MRP), yaitu “representasi kultural orang asli Papua, yang memiliki wewenang tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup beragama sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.” (UU Otsus Papua)

Karakter Otsus Papua berorientasi pada penguatan politik dan kultural masyarakat Papua, yang kemudian mengenalkan istilah “orang asli Papua”. Dalam UU ini juga dikenal istilah “masyarakat adat Papua”, sebagai masyarakat asli Papua yang hidup di daerah tertentu dengan hukum (adat) tertentu. Dalam konteks Aceh tidak ada penguatan primordial etnis seperti ini, karena secara etnis masyarakat Aceh cenderung tidak semajemuk Papua. Tak ada terminologi “orang asli Aceh”. Apalagi faktor agama Islam justru yang lebih menentukan. Penguatan primordial di Papua melahirkan pengaturan yakni hanya ras Melanesia yang bisa menjadi calon kepala daerah di Papua. Di luar etnis dan ras Papua-Melanesia tidak bisa menjadi kepala daerah. Hal ini oleh sebagian kalangan dinilai diskriminatif, karena berakibat terhadap saluran demokrasi yang terhambat. Kemudian dikenal istilah “sindrom putera daerah”.

Berbagai perbedaan pelaksanaan otonomi khusus di Aceh dan Papua memberikan isyarat pada kita bahwa bangsa ini tidak terbentuk dengan mudah. Prinsip yang harus dijaga adalah kebhinekaan yang akhir-akhir ini sedang sakit. Jangan sampai negara (pemerintah pusat) memilah-milah warganya, sehingga yang terjadi adalah ruang yang lebih bagi satu kelompok, ras atau primordial. Tetapi “penyempitan” bahkan “penganaktirian” bagi yang lainnya. Apakah Aceh dan keberadaan GAM (dulu) berbeda dengan Papua dengan OPMnya? Hanya sejarah yang akan membuktikan. Perjalanan politik seperti ini menjadi bukti bahwa pemerintah belum berpihak pada kesejahteraan rakyatnya. Merdeka bukanlah kata “menakutkan” bagi pemerintah pusat dan NKRI. Hakikat merdeka yakni terbebas dari jerat kemiskinan, kebodohan, diskriminasi dan keterbelakangan. Merdeka!

Hamka dan Syafruddin Prawiranegara Bukan Pahlawan, Tapi Pemberontak!

Standar

            Akhirnya harapan selama berpuluh-puluh tahun bagi yang mengidolakan Buya Hamka dan Syafruddin Prawiranegara (Pak Syaf) terjawab. Negara melalui presiden memberikan tanda jasa gelar pahlawan nasional bagi kedua tokoh nasional ini. Penantian yang sangat panjang dan melelahkan. Mulai dari ikhtiar sosial-budaya sampai kepada usaha politik agar negara (pemerintah) menganugerahkan gelar pahlawan nasional pada dua tokoh ini. Hampir sama dengan M. Natsir dan Bung Tomo nasibnya. Mereka berdua juga merupakan orang-orang pembangkang terhadap rezim. Negara baru sadar jika mereka adalah pahlawan pada tahun 2008. Buya Hamka meninggal tahun 1981 sedangkan Pak Syaf menyusul 8 tahun kemudian, beliau meninggal pada tahun 1989. Gelar pahlawan memang diberikan secara yuridis-formal oleh negara kepada mereka yang punya kontribusi bagi bangsa dan negara, dijelaskan secara lengkap dalam UU No. 20 tahun 2009 tentang Pemberian Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan. Tapi syarat mutlaknya adalah tokoh tersebut harus “mati” dulu, untuk bisa diberikan gelar pahlawan.

Khusus bagi Buya dan Pak Syaf, gelar pahlawan didapatkan dalam proses yang berliku sekali. Alasan fundamentalnya adalah karena dimensi historis-politis yang berbicara. Sebab bangunan sejarah sosok Buya adalah narasi panjang seorang “pemberontak”. Tak berbeda jauh dengan Pak Syaf yang juga menjadi “pemberontak”. Narasi hidup yang “kotor” bagi negara pada zamannya. Buya pada mulanya pernah mendukung kedatangan “Saudara Tua” alias Jepang ke Indonesia. Tapi bukan ini persoalan mendasar dalam sejarah. Menjadi cacat secara sejarah ketika Buya dianggap mendukung “Pemberontakan PRRI”. Buya divonis melakukan konspirasi ingin membunuh Presiden Soekarno. Buya dijustifikasi sebagai tokoh pembangkang kebijakan negara (presiden), khususnya terkait Nasakom ala Soekarno. Klimaks vonis pembangkang kepada negara ini akhirnya diganjar dengan penjara. Buya dimasukkan ke penjara oleh rezim Soekarno karena dianggap kontra-revolusi. Begitu pula di era Soeharto, Buya tampil sebagai ulama pengkritik dan pembangkang. Ketika birokrat dan elit secara bersama ingin mengkoptasi independensi ulama, Buya tampil dengan mengatakan tidak pada intervensi negara terhadap kemerdekaan-ijtihad ulama untuk umat. Posisi Buya jauh berseberangan dengan penguasa Orde Baru.

Hampir serupa dengan Pak Syaf yang pernah menjadi Presiden PDRI (Pemerintahan Darurat Republi Indonesia) pada 1948-1949. Menjadi Presiden, Wakil Perdana Menteri, Menteri Keuangan, Menteri Kemakmuran dan Gubernur Bank Indonesia pernah dia emban. Tapi perjalanan hidupnya berliku bagaikan perjuangannya dalam mempertahankan republik. Pak Syaf divonis sebagai pembangkang kepada rezim penguasa. Pak Syaf dianggap sebagai pemberontak terhadap kekuasaan yang sah di negara ini. Pak Syaf bergabung dengan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) pada 1958. Bahkan beliau menjadi Perdana Menteri PRRI pada waktu itu. Ini jelas merupakan pemberontakan terhadap kekuasaan yang sah. Beliaupun dipenjarakan oleh Soekarno tanpa proses pengadilan. Ceritapun tak usai walaupun penguasanya berubah. Pada era Soeharto, dia dianggap pembangkang kepada penguasa. Tindakannya subversif, menentang pemerintah dan dicap ektrem kanan. Pak Syaf mengkritik pemerintah Orde Baru, dan pemikirannya “dipenjara” oleh penguasa.

Dua tokoh ini adalah prototype “pembangkang dan pemberontak” yang sukses mendapat penghargaan dari negara sebagai pahlawan. Sejarah memang mengalir begitu saja, tetapi sejarah acap kali hadir bagi mereka yang pro status quo. Sejarah acap kali lupa tentang mereka yang berani “menyeberang” dari penguasa. Tentu bagi pejuang sekelas Buya atau Pak Syaf, cita-cita ingin mendapatkan gelar jasa pahlawan bukan obsesi kejuangannya. Bagi mereka “pemberontakan” dan “pembangkangan” terhadap rezim penguasa adalah panggilan nurani. Walaupun divonis sebagai pemberontak, toh ini sekedar label politis, bukan substantif. Negara selalu hadir dalam sejarah dan sukses mengkoptasi sejarah itu. Hegemoni negara akan sejarah selalu terbukti. Jika Soekarno mengatakan Buya dan Pak Syaf adalah pemberontak, dan Soeharto mencap keduanya pembangkang, tentu alasan politislah yang menjadi jawabannya. Tetapi pada akhirnya negara memberikan keduanya gelar pahlawan nasional. Sebuah perjalanan politis yang kompleks dan berbelit. Kuncinya adalah kesadaran dan kejujuran sejarah. Inilah faktor penentu.

Gelar pemberontak/pembangkang atau gelar pahlawan sejatinya adalah sama. Sebab keduanya merupakan usaha sadar dan ideologis untuk membuka garis kebenaran akan pengekangan dan kelakukan penguasa terhadap rakyatnya. Jika pemberontak/pembangkang terlanjur dipeyorasikan menjadi sesuatu yang jahat, evil dan perusak, tentu bangsa dan negara ini tidak akan berbentuk sampai sekarang. Kita mesti jujur jika bangsa dan negara ini terlahir dari rahim para pembangkang dan pemberontak, yang menginterupsi pengekangan dan penzaliman. Para pembangkang kemapanan penjajah itu telah melakukan ikhtiar pembebasan, dari kolonialisme dan imperialisme akut yang mencengkeram erat bangsa Indonesia. Mereka berani bersikap anti-kemapanan imperialisme. Membangkang terhadap hegemoni kolonialisme yang merampas hak-hak dasar suatu bangsa.

Usaha mereka adalah kerja ideologis, bukan pragmatis seperti yang dipertontonkan oleh para politisi kotor di republik ini. Kerja ideologis ini menjadi tanda bahwa obsesi mereka bukanlah “yang duniawi”, tetapi lebih bernuansa transendental. Hubungannya vertikal dengan Sang Pencipta yang melahirkan manusia sebagai makhluk merdeka. Ketika kemerdekaan itu direnggut, maka mereka tampil mengikuti panggilan nurani rakyat. Bahwa berani mengatakan tidak kepada realita politik yang menjajah adalah sebuah kebenaran, walaupun nyawa taruhannya. Sejarah akan terbentuk karena pembangkangan dan pemberontakan. Lebih baik dihargai sebagai pemberontak, daripada diberi gelar pahlawan karena alasan politis belaka. Semoga republik ini terus melahirkan “pemberontak-pemberontak” seperti Hamka, Pak Syaf, Pak Natsir atau Tan Malaka.

Prabowo: Antara Ramalan Jayabaya dan Realita Politik

Standar

Nama Prabowo Subianto tak asing lagi di tengah masyarakat kita. Sempat mencuat secara politik nasional ketika dia berduet dengan Megawati Soekarno Putri, sebagai pasangan calon presiden dan wakil presiden. Pilihan politik Prabowo pada Pemilu 2009 lalu untuk memilih menjadi Cawapres Megawati adalah pilihan rasional, diingat kalau perolehan suara Gerindra (partainya Prabowo) di parlemen memang rendah, menempati urutan ke 8 (dari 9 partai di parlemen). Apalagi secara ideologis antara PDI-P dan Gerindra memiliki kemiripan. Secara simbolispun pencitraan politik yang dilakukan Prabowo lebih mengidentifikasikan diri layaknya Soekarno. Bahkan chemistry ideologis antara kedua partai tersebut lebih kuat karena Prabowo (sempat) dianggap sebagai Soekarno muda. Perawakan yang tegap, menggunakan peci hitam lengkap dengan baju yang mirip dengan Soekarno. Setidaknya bagi para pengagum Soekarno seperti Permadi (politisi PDI-P yang pindah ke Gerindra).

Berbicara mengenai kepemimpinan apalagi nasional tak semudah mencari seorang ketua kelas atau ketua RT. Secara teoritis kita tahu bahwa seorang pemimpin itu ada karena dua hal. Pertama, secara natural mereka memiliki bakat leadership, terlahir dengan potensi sebagai seorang pemimpin. Semenjak kecil atau remaja telah tampak goresan-goresan kepemimpinan dalam dirinya. Inilah yang dapat kita lihat dalam fase kehidupan Soekarno. Model historis Soekarno agaknya tak lagi kita jumpai sampai sekarang. Tapi betul juga bahwa semua itu tergantung momentum. Momentumlah yang sesungguhnya determinatif terhadap sebuah narasi sejarah. Kedua, seorang pemimpin terlahir karena dibentuk oleh keadaan. Seseorang yang terlahir, mungkin secara instan karena memperoleh peluang untuk menjadi presiden misalnya. Sebutlah mendiang Gus Dur yang diproduksi oleh beragam kepentingan politik pada masanya. Menjadi presiden karena berbagai kompromi politik yang mengangkatnya, kemudian diturunkan oleh kelompok yang sama. Biasanya usia kepemimpinan yang dibentuk seperti ini memang taklah panjang.

Kembali pada realita politik Indonesia pada waktu sekarang. Sosok SBY setidaknya masih mendominasi secara figural dan objektif dalam cerita tentang kepemimpinan nasional. Alternatif figur nasional yang mampu menyaingi SBY tampaknya belum muncul. Nama-nama seperti Megawati, Wiranto, Jusuf Kalla atau Amien Rais bisa diklasifikasikan sebagai politisi tua atau The Older Politicion. Muncul sosok The Middle yang sekarang gencar mengkampanyekan dirinya di tengah masyarakat. Sebagai pelanjut senior-senior mereka tadi, bahkan namanya pernah diusulkan menjadi capres/cawapres dalam Pemilu yang lalu setidaknya, seperti Prabowo, Aburizal Bakrie, Surya Paloh, Sri Sultan HB X bahkan Hatta Rajasa dan Soetrisno Bachir (saat ini sedang menghilang dari kancah politik). Lalu melompat ke generasi muda yakni kelompok younger leader, walaupun secara usia masih muda namun telah menampati posisi struktural partai, birokrasi pemerintahan dan organisasi politik lainnya. Nama-nama seperti Anas Urbaningrum, Adhyaksa Dault, Muhaimin Iskandar bahkan Fadli Zon. Begitu juga nama-nama di kalangan nonpartai seperti Anis Baswedan. Semua nama di atas setidaknya menjadi fokus dan alternatif sosok/figur politik yang akan mengisi kepemimpinan nasional kelak.

Ketika menuliskan nama-nama di atas, saya lantas teringat ucapan-ucapan filosofis futuristik dari seorang Raja Kediri yang bernama Joyoboyo (Jayabaya). Seorang raja yang dikenal karena torehan-torehan mistik filosofisnya yang bernada futurologis layaknya Alvin Toffler, Francis Fukuyama dan Samuel P. Huntington. Kita telah mengenal Jangka Jayabaya sebagai hasil karya beliau yang kemudian dilanjutkan dan dipatenkan oleh Ronggowarsito. Selain memprediksi kepemimpinan nusantara, Jayabaya telah berhasil membuat postulat-postulat mengenai sejarah nusantara yang diungkapkan dengan bahasa-bahasa simbolik. Mulai dari kolonialisme Belanda dan Jepang, fase revolusi kemerdekaan, kejatuhan Soekarno, Soeharto sampai kepada reformasi. Bagi sebagian kita yang tak cocok dengan mitologi atau mistisisme apalagi mistisisme politik, tentu Jayabaya akan dikubur begitu saja dengan segala karyanya. Politisi abangan, inilah biasanya yang menjadi labeling bagi pecinta politik dan mistik. Tapi tak ada salahnya jika kita mengelaborasi secara reflektif apa yang oleh leluhur nusantara dikatakan.

Salah satu yang menarik dalam ungkapan Jayabaya adalah bahwa nusantara ini akan dipimpin oleh Notonogoro. Notonogoro bukanlah sebuah nama personal yang lekat pada seseorang. Lebih kepada simbolisasi penamaan bagi kepemimpinan nasional. Terminologi Notonogoro sempat ramai sekali diperbincangkan pascareformasi ’98. Sampai-sampai banyak buku termasuk buku politik yang membedah dan memakai Notonogoro dalam teori kepemimpinan nasional. Banyak interpretasi politik dan budaya atas istilah Notonogoro ini. Tapi salah satu interpretasi yang lebih banyak muncul adalah yang mengatakan jika Notonogoro adalah nama-nama pemimpin nasional (presiden) yang akan memimpin nusantara ini. Kata Notonogoro dipisahkan menjadi No-To-No-Go-Ro. “No“, yang pertama diawali oleh Soekarno. “To“, yang kedua adalah Soeharto. “No“, yang ketiga adalah Tresno yang merupakan bahasa Jawa. Jika dimasukkan dalam konteks bahasa Indonesia berarti “cinta”. Cinta dalam gramatikal bahasa Arab yaitu Hubbun. Setelah digunakan dalam kalimat-kalimat dialog, kata Hubbun bisa dimodifikasi menjadi kata Habibie (bermakna kekasihku). Ini merupakan masa pemerintahan Presiden Habibie.

Kemudian “Go“, yang keempat adalah Abdurrahman Wahid. Presiden Indonesia keempat ini lebih akrab dipanggil Gus Dur, panggilan kehormatan kepada anak seorang Kyai dalam konteks budaya Jawa Timur yakni Gus. Dalam ejaan lama bahasa Indonesia “u” ditulis dengan huruf “oe”. Jadi jika digabung menjadi Goes Dur. “Ro“, yang kelima berarti Megawati Soekarno Putri. Putri berarti anak, maka biasanya disebut “Putro” dalam bahasa Jawa (walau terkesan dipaksakan). Lima presiden inilah yang memimpin nusantara dalam prediksi futurologis Jayabaya. Lantas bagaimana dengan SBY dan pemimpin berikutnya? Ternyata interpretasi ini tak berhenti pada “Ro“, tetapi dilanjutkan kembali pada kata “No” di awal kata. “No” inilah yang kemudian ditafsirkan sebagai Susilo Bambang Yudhoyono. Presiden keenam Indonesia yang dua kali memerintah (sampai sekarang). Lalu jika demikian penafsirannya, siapakah pelanjut kepemimpinan nasional? Masih ada “To” yang akan memimpin nusantara. Jika berpedoman pada futurolog Jayabaya ini, maka bisa saja kita menafsirkan setiap nama-nama yang berakhiran seperti di atas.

Seperti yang ditulis di atas, ini merupakan interpretasi mistik-politik terhadap prediksi filosofis dari seorang Jayabaya. Menarik untuk ditelaah walaupun bagi sebagian kita mungkin tertawa kecil, sinis dan langsung berkata “takhayul” dengan analisis ini. Interpretasi mitologis, mistik politik dan penafsiran yang dipaksakan. Boleh saja seperti itu, karena namanya juga penafsiran yang berdimensi relativitas tentunya. Kadang dirasa penafsiran yang primordialistik, minim kenusantaraan karena akhiran penggalan kata di atas umumnya berasal dari bahasa Jawa. Terasa ada legitimasinya akan perdebatan klasik politik nasional kita, mengenai orang nonjawa tak akan menjadi presiden. Polemik presiden Jawa-Nonjawa yang secara sosial-antropologis dan politik tak ada kebenarannya. Tapi dikotomi primordial politik kepemimpinan nasional itu masih (tetap) ada setiap Pemilu.

Untuk menjawab pertanyaan, yakni siapakah “To” yang akan memimpin negara ke depan, yang akan terpilih dalam Pemilu 2014 nanti? Kita bisa menyebut Wiranto misalnya, sebab akhiran di namanya adalah “to”. Tapi menurut saya usia Wiranto sudah cukup sepuh, apalagi perjalanan politiknya yang sudah dua kali maju dalam kontes Pemilu pada 2004 dan 2009. Mungkin jualan figur Wiranto tak (akan) laku lagi di pasaran suara rakyat. Atau akan terjawab oleh nama Djoko Suyanto, seorang loyalis dan menteri SBY yang juga elit Partai Demokrat. Masih menjadi misteri memang sampai sekarang siapakah figur alternatif yang akan dicalonkan oleh Demokrat pada Pemilu 2014 nanti. Apakah Anas Urbaningrum, Djoko Suyanto atau bahkan Ani Susilo Bambang Yudhoyono. Jika memang Bu Ani dan terpilih, maka “No” masih menjadi fase kepemimpinan nasional. Lantas siapa lagi?

Untuk menjawabnya, “To” berikutnya saya mengatakan adalah Prabowo Subianto. Sekali lagi ini adalah prediksi politik. Jadi tentu tak sesederhana ini untuk memetakan realita politik nasional, apalagi masih tiga tahun lagi. Masih prematur jika kita memperdebatkan siapa calon presiden berikutnya, apalagi wacana itu dimunculkan oleh elit partai politik berkuasa. Prabowo Subianto memang tampak sebagai figur alternatif untuk saat ini sampai Pemilu nanti. Visi ideologis Prabowo lekat dengan dimensi kerakyatan. Visi tentang kemandirian nasional, ekonomi kerakyatan, ditambah pencitraan, sedikit meniru Soekarno menjadi modal utama. Apalagi jika dalam waktu tiga tahun ke depan Prabowo dan partai pengusungnya mampu mengambil hati rakyat, dengan tak melulu berpihak pada pragmatisme politik sesaat. Ditambah dengan banyaknya partai nonparlemen yang menggabungkan diri dengan Gerindra, tentu menjadi energi tambahan. Saya pikir Prabowo dan Gerindra telah belajar pada Pemilu sebelumnya.

Maka pilihan rasional antara ramalan Jayabaya dan realita politik sesungguhnya bergantung pada suara rakyat kelak (vox populi vox dei). Mesti belajar dari sejarah karena sejarah sebenarnya merupakan konstruksi cerita dari dunia politik dan orang-orang besar. Sejarah adalah kisah tentang penguasa dan orang-orang besar. Jika Prabowo cerdas belajar pada Sang Guru Kehidupan (historia magistra vitae), maka tak ayal ramalan Jayabaya pada kali ini benar (lagi) adanya dan memihak pada Prabowo. Sebuah dukungan mistik politik yang tak bisa diabaikan begitu saja. Kita sama-sama lihat dan buktikan kebenarannya kelak.

Catatan Seorang Guru Tentang Negaranya Oleh Satriwan

Standar

Guru Mencatat

Sebagai seorang pendidik tentu memiliki tanggung jawab sangat besar bagi tercapainya salah satu tujuan negara tercinta ini, mencerdaskan kehidupan bangsa. Sebuah proses yang sangat panjang, butuh perencanaan, kesabaran, dana besar bahkan perangkat perundang-undangan. Tugas seorang guru yaitu mendidik, suatu aktivitas moral yang bernilai tinggi dan tentu takkan ternilai secara nominal, walapun itu namanya tunjangan kerja, gaji ke-13, insentif bahkan sertifikasi. Mendidik itu pakai hati dan intuisi, bukan sekedar mentransmisi ilmu pengetahuan. Karena mendidik menggunakan perangkat yang bernama hati (qolbu), maka yang acap kali berbicara adalah suara moral, suara kebenaran, itulah kata-kata para filsuf, sufi dan nabi.

Suara kebenaran itu sifatnya transenden dan profetik, karena Tuhan mencipta hati sebagai filter kehidupan. Maka jika seseorang melakukan suatu perbuatan tercela, pasti qolbu yang terdalam akan berteriak, minimal bersuara pelan, berbisik jika yang akan (sedang) dilakukan adalah perbuatan cela, jangan dikerjakan dan mesti dihindari. Karena yang bekerja adalah hati maka setiap realita kehidupan harus dibaca dengan hati, bukan sekedar rasionalisasi apalagi argumentasi. Apapun dimensi realita kehidupan tersebut, baik sosial, budaya, agama, ekonomi, hukum maupun politik. Seorang guru fardhu hukumnya untuk membawa segala realita kehidupan tersebut ke ruang kelas dalam tiap pembelajaran bersama para murid. Tentu haruslah pembacaan yang jujur dan apa adanya minus vested interest apalagi dendam politik tertentu, terhadap sebuah fenomena.

Ketika seorang guru membawa lalu membaca setiap realita tersebut bersama para murid, maka akan muncul sebuah interpretasi yang jujur pula tentunya. Penafsiran yang tak hanya diam atau bersemayam di dalam otak mereka. Penafsiran yang butuh untuk direfleksikan bersama-sama, apa sesungguhnya yang tengah terjadi dan bagaimana hal itu bisa terjadi. Sebuah kajian ontologi yang konsep dasarnya (tentu) sudah dipelajari para guru. Kemudian apa yang mesti kita lakukan menyikapi realita tersebut, bagaimana yang seharusnya dan setumpuk pertanyaan-pertanyaan aksiologi pastinya. Inilah refleksi kejujuran atas segala realita kehidupan bagi seorang guru bersama muridnya. Tanggung jawab moral untuk bersama-sama melakukan suatu aktivitas melihat, membaca dan memahami yang sedang terjadi.

Realita yang sedang terjadi saat ini adalah defisit kepercayaan rakyat terhadap negara. Padahal rakyat adalah elemen vital dan determinatif dalam sebuah negara. Tak ada sejarahnya ada sebuah negara tanpa ada rakyatnya, dengan kata lain manusia tanpa jasad. Inilah analogi yang pantas jika ingin menganggap bahwa rakyat adalah komponen utama negara. Masyarakat saat ini sudah sangat permisif, masyarakat yang informatif, terbuka akan berbagai informasi yang dibutuhkan untuk memenuhi keingintahuan mereka. Para murid sering bertanya kepada saya, “Apa sesungguhnya yang tengah terjadi saat ini?”. Semua media memberitakan kasus Gayus, kasus Century yang tak selesai, mafia hukum dan pengadilan, hukum dan keadilan yang bisa dibeli, harga sembako yang terus naik, pemerintah yang tak henti dikritik karena berbohong, korban lumpur Lapindo yang tak letih mencari keadilan, demonstrasi guru menuntut keadilan dan kesejahteraan, cerita TKI yang tak lagi dilindungi hak-haknya,  anggota DPR yang lupa konstituennya, elit partai politik dengan segala tingkahnya, para pengemplang pajak sampai kepada calon presiden 2014 nanti.

Politik Absurd

Untuk menjawab setumpuk persoalan negara itu, saya berpikir panjang, menahan emosi, meminggirkan ambisi dan menjawabnya dengan hati. Masyarakat merasakan sekarang negara kita sedang lemah (jikalau tak mau dibilang gagal). Lemah karena rakyat sudah mulai merasa ditinggalkan, tidak lagi dilibatkan, dipinggirkan bahkan dilupakan. Defisit kepercayaan rakyat bukan lagi diukur oleh Pemilu dengan segala perangkatnya. Tetapi yang berkata adalah nurani terdalam, karena memang itulah yang dirasakan. Bagaimana bisa, negara sebesar ini ditelanjangi hukum dan sistem peradilannya oleh para koruptor (seperti Gayus), dipermalukan oleh para pengemplang pajak dan dikotori oleh para elit partai yang hanya berorientasi pada kekuasaan belaka. Para elit yang otaknya penuh dengan tradisi politik yang bernilai ekonomis-transaksional. Politik direduksi menjadi kegiatan transaksi, siapa mendapatkan apa dan bagaimana caranya, politik yang minus moralitas, politik yang destruktif bahkan politik yang berani menjual ayat/pasal sebuah undang-undang demi kepentingan kapital belaka. Inilah realita “politik absurd yang tengah terjadi di negeri ini.

Realita politik absurd sedang menggurita di tengah dinamika kebangsaan dan kenegaraan kita. Politik absurd tersebut dibuktikan nyata dengan kebohongan, kemunafikan dengan segala variannya. Tak usahlah kita mendebatkan secara semantik tentang “kebohongan” atau “kemunafikan”, karena (memang) sudah tak ada lagi diksi yang pas dan pantas untuk menggambarkannya. Setelah dipikir-pikir, usaha rasional seorang Montesquieu merumuskan dan menciptakan Trias Politica untuk saat ini tidak lagi berlaku di Indonesia. Kekuasaan yang dipegang oleh lembaga-lembaga negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) sudah jatuh beralih kepada tangan-tangan bandit politik, bandit hukum dan bandit kapital. Tiga komponen kekuasaan sebagai konversi bahkan variasi baru atas Trias Politica untuk Indonesia. Bandit politik karena orientasi kekuasaan an sich dengan pendekatan ekonomis-transaksional. Bandit hukum karena telah mempermalukan hukum dan keadilan yang katanya Lex Rex. Hukum dan keadilan tak lagi menjadi raja, tapi hamba bagi para bandit-bandit. Bandit kapital karena berlomba-lomba menumpuk harta, walaupun dengan mengemplang pajak negara. Sebuah entitas kolaboratif three in one di tengah-tengah kita.

Politik absurd para bandit ini perlu putar haluan menjadi “politik profetik” bagi para elit dan penguasa. Aktivitas politik yang harus minus motif-motif materialistik. Berpolitik bukan sekedar aktivitas tentang kekuasaan, tapi jauh melampaui kekuasaan itu. Sebenarnya “politik kenabian” ini telah dicontohkan oleh founding fathers kita. Lihatlah ikhtiar politik kebangsaan seorang Tan Malaka, Soekarno, Hatta, Natsir, Syahrir dan J. Leimena. Walaupun antar mereka berbeda cara pandang dan bersikap, tetapi tiap ikhtiar politiknya selalu berorientasi pada rakyat dan bangsa Indonesia. Tan Malaka sebagai bapak revolusi yang teguh berprinsip untuk Indonesia merdeka. Soekarno keluar masuk penjara sebagai penyambung lidah rakyat. Hatta walaupun lembut namun tegas bersikap untuk bangsa. Natsir memperjuangkan integrasi Indonesia walaupun disudutkan penguasa. Syahrir berbadan kecil tapi bernyali besar bagi republik. J. Leimena yang tak lelah berjuang di tengah perbedaan keyakinan. Beberapa nama itu seharusnya cukup menjadi acuan perjuangan para elit dan penguasa sekarang dalam bersikap untuk bangsa dan negara.

Defisit kepercayaan rakyat tersebut mesti dipikirkan oleh para penguasa, elit dan partai politik. Telunjuk kita ini tidak hanya diarahkan kepada pemerintah (presiden-bupati), tetapi juga para anggota parlemen, penegak hukum dan para elit. Empat kelompok ini yang harus bertangungjawab secara moral untuk membenahi republik yang sedang sakit. Suara para guru hanya mengingatkan, suara para tokoh agama sekedar cambuk dari surga dan suara rakyat adalah hukum yang sebenarnya (vox populi vox dei). Sebagai seorang guru saya tak lelah untuk berusaha agar para murid kelak nanti tidak menjadi Rahwana, menjadi koruptor muda atau bahkan penjual negara. Jika mereka ditakdirkan memimpin bangsa ini ke depan, dengar dan ingatlah suara gurumu hari ini! Suara kenabian yang walaupun sudah mulai serak, tetapi akan membuatmu tidak lupa bahwa republik ini bukan hanya milikmu, tetapi milik rakyat. Maka dengarkanlah selalu suara mereka, itulah sejatinya suara Tuhan.

Republik Gayusnesia

Standar

Tahun 2010 adalah titik awal negeri ini berbenah dalam hal pemberantasan korupsi, mafia hukum, mafia kasus dan mafia pajak. 2010 ditandai dengan banyaknya kasus atau perkara hukum, baik pada tataran nasional maupun lokal terkait dengan korupsi para pejabat dan elit negara/lokal. Kasus korupsi dengan berbagai variasinya itu kemudian tertutupi oleh Kasus Bank Century, pelemahan KPK oleh Anggodo dan terakhir Kasus Gayus. Untuk yang pertama ternyata berakhir anti klimaks, ketika DPR memilih opsi C yang menandakan kasus tersebut memang wajib diselesaikan secara hukum (memunculkan sederetan nama-nama sekelas Boediono, Sri Mulyani dan lainnya). Tapi setelah itu, semuanya mati suri sebab faktor kesengajaan untuk membuatnya mati suri. Namanya juga mati suri, sifatnya hanya sementara karena suatu saat jika momennya tepat dan dibutuhkan bisa di-hidup-kan kembali. Buktinya sekarang pasca pembatalan Pasal 184 UU MD3 oleh MK, suara-suara gagah itu muncul lagi. Suara yang terdengar yaitu pemakzulan terhadap Boediono yang jadi wakil presiden, mulai semarak lagi. Di samping kasus Century yang mati suri (tapi rohnya coba dipanggil kembali), kasus ketiga yakni Gayus tetap berselancar di pemberitaan-pemberitaan masional (lokal). Tak ada kata lelah untuk tidak memberitakan Gayus. Memang kasus yang sangat melelahkan di tengah harga kebutuhan pokok makin melambung dan para Pertapa Suci (tokoh agama), turun dari kahyangan bahkan mengeluarkan fatwa bahwa republik ini dipimpin oleh para pembohong. Itu kalimat kasarnya yang keluar. Jika dibuat halus yaitu pemerintah tidak menjalankan janji-janjinya di saat kampanye. Bahasa hadistnya yaitu tak sesuai perkataan dengan perbuatan atau munafik.

Sebagai negara besar yang dikenal secara resmi Indonesia, nama ini menjadi sungguh berat jika keluar dari mulut para politisi, elit, anggota parlemen, pemerintah dan birokrat. Karena Indonesia suatu atribut historis yang transenden dan sakral. Mulut para politisi, elit dan pemerintah sangat gampang mengucapkan Indonesia atau frase “rakyat Indonesia”, apalagi di saat kampanye. Rakyat Indonesia yang dimaksud sejatinya adalah semua warga negara Indonesia, termasuk Anggodo, Sri Mulyani, Gayus Tambunan, Ariel, Boediono, Prita, Nenek Minah, Antasari Azhar, Ayin dan Cyrus Sinaga. Mereka juga bagian dari sebutan yang bernama rakyat Indonesia. Tapi kebetulan yang saya tulis di atas itu adalah nama-nama orang yang berseliweran di media-media cetak dan elektronik. Kebetulan lagi mereka semua pernah terkait kasus hukum sesuai profesinya masing-masing atau minimal disebut-sebut walaupun sedang berjalan proses hukumnya, bahkan baru disebut tapi belum diproses secara hukum. Di samping itu banyak nama yang kita tidak kenal, bahkan KTP juga tidak punya, atau rumahpun tidak punya, atau pekerjaanpun tidak punya tapi mereka masih punya negara yang bernama Indonesia. Mungkin hanya status sebagai warga negara Indonesia saja yang menjadi harta kekayaannya. Dalam statistik atau dunia ekonomi dan politik, kita mengenalnya dengan “masyarakat miskin”. Kelompok yang namanya sering dicatut, diperjualbelikan bahkan dijadikan alat kompromi politik di negara Indonesia. Makanya untuk kuantitatif angka orang miskin saja kita berdebat. Pada 2010 jumlah mereka versi BPS 31 juta, versi Bank Dunia hampir 76 juta dan beragam versi lain.

Kalau di buku-buku atau tulisan-tulisan kritis kita sering membaca, “orang miskin dilarang sekolah”, tapi sebenarnya ada hal penting dari itu. Penting dan menjadi keharusan adalah, “orang miskin harus ada di negara Indonesia”. Karena UUD 1945 juga telah mengamanahkan bahwa orang miskin (dengan segala variasi bentuk kemiskinan dan sebutannya) adalah wajib dipelihara. Wajib dipelihara berarti eksistensi mereka itu ada secara ril. Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara (Pasal 34 ayat 1 UUD 1945). Jadi yang namanya dipelihara maknanya bisa jadi memang “dibutuhkan untuk diperbanyak”. Kalau tak diperbanyak minimal mereka harus ada secara kuantitatif. Makanya pemerintah telah suskses menjalankan amanah konstitusi pasal tersebut, buktinya fakir miskin sangat berkembang di negara Indonesia. Jika perdebatan statistik dan angka-angka muncul tentang jumlah orang miskin, bahkan pemerintah mengklaim angka kemiskinan berkurang pada 2010 yakni hanya 31 juta penduduk miskin di negara Indonesia. Angka yang dicatat Kompas, menurut Badan Pusat Statistik per September 2010 tercatat 13,3 persen atau 31,02 juta jiwa. Jika mengacu World Bank angka kemiskinan negara Indonesia sekitar 76,4 juta jiwa. Manakah yang valid? Perdebatan ini seharusnya tidak muncul karena berapapun angka kemiskinan rakyat Indonesia, toh mereka yang namanya sering disebut itu juga tetaplah miskin, tak bisa makan dan bergizi buruk. Bekerja jujur dan dengarkan aspirasi rakyat, inilah poin utamanya bagi negara (pemerintah). Jika pemerintah mengklaim angka kemiskinan berkurang, bisa jadi berkurang karena rakyat yang miskin tersebut keburu meninggal karena tiap hari makan nasi tiwul bahkan tidak bisa makan. Makanya jumlah mereka berkurang. Inikah yang namanya prestasi mengurangi angka kemisikinan?

Kembali ke Gayus yang atribut orang miskin pasti tidak menempel di dirinya. Gayus bukanlah orang miskin tetapi Gayus adalah orang paling berpengaruh di negara Indonesia ini. Gayus mencatat banyak rekor yakni:

  1. Sebagai narapidana yang paling bebas, karena bebas menyuap petugas dan bebas berkeliaran ke mana-mana (termasuk luar negeri).
  2. Gayus mencatat rekor mengalahkan Edy Tansil, karena Edy Tansil kabur dari penjara hanya sekali tetapi Gayus berkali-kali. Gayus mencatat rekor narapidana yang paling jujur, karena Gayus pergi/keluar dari penjara walaupun berkali-kali tetapi Gayus tetap balik lagi ke penjara, tidak seperti Edy Tansil yang pasca keluar/kabur dari penjara, dia tidak kembali/balik lagi ke penjara.
  3. Gayus juga berhasil mengalahkan para artis karena pemberitaannya tiap hari di berbagai media.
  4. Fokus Satgas Pemberantasan Mafia Hukum juga hanya kepada Gayus, sehingga mafia-mafia lain dilupakan. Gayus mencatat rekor sebagai penghipnotis ulung, mengalahkan Romy Rafael karena sukses mensugesti Satgas, pemerintah, media massa, DPR bahkan masyarakat. Termasuk masyarakat miskin yang walaupun belum bisa makan, mereka kenal dan membicarakan Gayus sambil berpikir mencari makan hari ini. Itulah segudang prestasi Gayus yang layak mendapatkan rekor MURI bahkan masuk Guinness Book of World Records. Selamat untuk Gayus dan segala atribut kesuksesannya!

Oleh karena itu bisakah realita sosial ini kita sebut Gayusnesia? Atau lebih lengkapnya Republik Gayusnesia? Kitalah yang menentukan dan kitalah yang merasakannya. Termasuk bagi yang miskin yang namanya sering dicatut. Mau Gayusnesia atau Anggodonesia sebutannya, tetap saja yang miskin tetap diperdebatkan dan yang miskin tetap lapar karena belum makan, itulah Indonesia kita.

Republik Bubar: Pertarungan Tak Berakhir

Standar

Dalam sebuah kolom catatan sebuah koran nasional, pernah dimuat ulasan sederhana namun menyentuh tentang republik ini. Indonesia sebagai negara modern saat ini tengah berada dalam fase ketiga, pasca runtuhnya negara Sriwijaya dan Majapahit. Cakupan kekuasaan Sriwijaya, yang lebih dulu berdiri dan juga bubar, sampai ke Kamboja dan pengaruhnya bahkan sampai ke Benua Afrika. Begitu pula penerusnya, sebuah kekuatan politik nusantara yang terbangun dari tradisi perebutan kuasa atas nama harta dan kuasa. Akhirnya negara kedua Majapahit pun runtuh akibat penyakit yang sama yaitu perebutan kuasa. Tak bisa dilupakan begitu saja adalah, kenapa tradisi perebutan kuasa itu menjadi karakteristik dari kerajaan-kerajaan nusantara. Mungkin karena domain pembicaraan ini adalah politik, maka sangat halal untuk memasukkan kuasa dan perebutannya. Sebab politik dan kuasa adalah dua kata yang maknanya sama. Walaupun tinggal cerita dan sejarah lama nusantara, perkara perebutan kuasa, dengan berbagai cara, seperti yang dicontohkan oleh Ken Arok seolah-olah menjadi yurisprudensi bagi penerusnya dan masyarakat sampai sekarang.

Fase Indonesia sebagai negara modern saat ini, telah melampaui garis-garis sejarah kerajaan nusantara lama. Namun berbagai tradisi kuasa yang dibangun sampai detik ini tetap dipraktikkan oleh yang berkuasa dan yang dikuasai. Mental-mental inlander, kata-kata Soekarno itu menjadi ingatan kolektif masyarakat Indonesia. Agar jangan sampai penduduk nusantara ini tetap konsisten untuk merasa inferior dan terjajah. Filsafat kuasa memang menarik untuk dibaca dan diobrolkan bersama. Karena republik ini berdiri juga karena kuasa. Bayangkan jika tidak ada kekuatan, yang punya kuasa dan yang dikuasai, maka janganlah disebut republik objek tersebut. Bermilyar-milyar uang dikeluarkan hanya untuk sebuah kuasa. Belum lagi cara-cara yang ditempuh. Semangat Ken Arok dan beragam tradisi ilmu kuasa yang diwariskan oleh para pendahulu, tetap dijaga bahkan dimodifikasi sesuai konteks zaman. Tetap ujungnya adalah semua berebut untuk menjadi yang berkuasa. Desentralisasi atau lebih ngetrend disebut otonomi daerah, sampai detik ini belum memberikan kontribusi yang berarti dan substantif bagi yang dikuasai. Pemekaran daerah akhirnya hanya selimut, untuk berlomba-lomba menjadi yang berkuasa dan momentum untuk mengekplorasi yang dikuasai. Apakah memang takdir jika yang dikuasai itu pasti selalu lemah? inilah pertanyaan teologisnya.

Jika ditambah momentum Pemilu baik untuk presiden maupun legislatif, hal ini akan lebih mencengangkan lagi. Tetap konsisten untuk berburu agar menjadi yang kuasa dengan tradisi yang ditinggalkan para leluhur nusantara. Bagaimana setelah berkuasa? Ini yang lebih naïf lagi untuk diobrolkan. Kadang-kadang timbul pertanyaan sederhana, apakah memang setiap yang punya kuasa itu hanya bekerja untuk dirinya, bukan untuk yang dikuasai? Lagi-lagi pertanyaan ontologis ini harus dijawab segera. Jika dipandang sekeliling bumi nusantara, memang titik konvergensi antara demokrasi dan kesejahteraan tak bertemu. Demokrasi direduksi menjadi perebutan kuasa dengan beragam cara dan modifikasinya. Sedangkan kesejahteraan hanya tinggal perdebatan kuantitatif yang baku dan mati di kertas-kertas kantor. Obrolannya memang melangit mungkin, demokrasi dan kesejahteraan, apalagi jika dikatakan kesejahteraan rakyat. Tapi yang punya kuasa tentu dengan kuasanya pasti sangat mudah untuk melontarkan kata sakti kesejahteraan tadi. Karena kesejahteraan adalah bagian dari strategi perebutan kuasa yang sudah dimodifikasi.

Magnet kuat kuasa akan menarik setiap yang haus kuasa, karena memang secara psikologis, manusia mempunyai insting untuk punya kuasa. Jangankan untuk mempengaruhi yang lain, setidaknya manusia punya kuasa untuk mempertahankan dirinya. Jadi kuasa itu memang berlian yang menggiurkan bagi yang melihatnya. Setiap yang punya kuasa pasti secara psikologis ingin mempertahankan kuasanya, bahkan melanjutkan. Obrolan tentang yang punya kuasa ini seharusnya berhenti, ketika kata-kata sederhana dan sering diucapkan yaitu amanah menjadi pijakan moral. Amanah secara semantik mempunyai akar yang sama dengan iman dan aman, begitulah yang dikatakan Komarudin Hidayat. Jika yang punya kuasa merasakan bahwa kuasanya itu karena amanah, dijalankan dengan iman maka akan tercapai aman. Secara vertikal, yang dikuasai telah iman kepada yang punya kuasa. Yang punya kuasa juga menjalankan amanah dengan penuh iman, tercapailah aman. Ini penjelasan sederhana mungkin, namun sayang jika dibuang begitu saja, dan masih jauh untuk saat ini.

Jika yang punya kuasa sudah berprinsip kuasanya itu amanah, maka tidak aka ada lagi perebutan kuasa dengan segala modifikasinya, yang semua itu tetap tak berpengaruh bagi yang dikuasai, karena tetap saja lemah dan dipinggirkan. Masalah republik sejak zaman Sriwijaya dan Majapahit tak lepas dari perebutan dan pertarungan. Tidaklah aneh, jika penerus republik ini sekarang dengan bangga berebut lahan dan bertarung di tengah kota untuk mendapat kuasa. Tak memikirkan nyawa, harta bahkan dosa. Tapi untuk yang terkahir itu, tak usah diobrolkan lebih dalam, karena dosa hanya obrolan-obrolan eskatologis yang berhenti ketika di mushola atau gereja. Sekali lagi tradisi perebutan akan kuasa menjadi trend dalam narasi sejarah nusantara. Lalu kemana cerita klasik yang dikuasai tadi, yang bahasa verbal politisnya sering disebut rakyat? Jangan-jangan hanya tinggal cerita atau legitimasi untuk perebutan kuasa. Ini bukan insinuasi bagi yang berkuasa, tapi sebuah refleksi kontemplatif bagi yang punya kuasa dan yang dikuasai.

Obrolan tentang kuasa di republik ini memang terlalu melangit bagi yang dikuasai, karena jauh sekali bagi mereka jarak dengan yang berkuasa. Sebenarnya jika diamati dengan hati yang lapang dan pikiran jernih, rakyat tidaklah usil atau selalu buruk sangka atau banyak maunya kepada yang punya kuasa. Tetapi cukuplah yang berkuasa bekerja buat mereka dengan tak mengenyampingkan yang namanya amanah. Tapi, untuk sementara ini masih menjadi pemandangan di pagi hari jika banyak anak kecil mengeluh, karena tak bisa sekolah dan mendapatkan sekedar makan pagi.

Republik Bingung

Standar

Reformasi 98 telah membuat narasi sejarah baru di republik tercinta ini. Wacana demokrasi, penegakkan HAM, kebebasan pers dan supremasi hukum menjadi tema utama diskusi-diskusi masyarakat, mulai dari kelas warung remang-remang sampai kepada kelas hotel bintang lima. Muncul berbagai hasil penelitian tentang Indonesia dengan fase transisi demokrasinya, yang kemudian smpai sekarang sedang kita nikmati hidangan demokrasi itu. Sekedar mengetuk kembali memori publik ketika Orde Baru berkuasa, term-term asing yang bernama demokrasi, penegakkan HAM dan sejenisnya menjadi barang mahal dan tentunya sulit diperoleh. Ketika mengusung penegakkan HAM, maka segelintir orang akan dilabeli sebagai ekstrim kiri, karena menuntut ditegakkannya HAM. Ketika sekelompok orang berkumpul di mushola-mushola kampung atau pengajian kecil, maka dengan serampangan akan dicap ektrim kanan, bahkan difatwa sebagai tindakan makar atau subversif. Dua kata terakhir ini pada zamannya (Orde Baru) menjadi kalam sakti untuk menghukum para pencari kebebasan dan keadilan. Bagaimana dengan kebebasan pers, inilah barang haram yang tetap dihukumi haram oleh rezim penguasa, karena kebebasan pers akan menjadi lubang kecil yang nantinya membesar, untuk menelanjangi setiap kebijakan penguasa. Begitu juga supremasi hukum, jangan terlalu berharap karena hukum sangat alergi terhadap istana, pejabat dan konglomerat. Cerita tersebut untuk sekarang, tinggal narasi yang melegenda di buku-buku pelajaran sejarah dan pendidikan kewarganegaraan, baik di sekolah maupun perguruan tinggi.

Reformasi seolah-olah lebih ampuh ketimbang makna pembebasan dalam teologinnya Asghar Ali Engineer. Atau setumpuk doktrin pembebasan yang dibawa pada zamannya Kristus, Muhammad sampai kepada Mahatma Gandhi dan Nelson Mandela. Walaupun secara inhern, reformasi dan pembebasan sama-sama berakar kepada sebuah kondisi psikologi, sosial, politik, kebudayaan dan ekonomi yang otonom. Tidak lagi terkungkung di dalam rantai otoritarianisme sistem rezim despotik. Reformasi memang berhasil memproduksi kran demokrasi dan term-term sosial yang semakna tadi, sampai sekarang. Reformasi berhasil menebang pohon rindang yang telah kokoh berdiri dan menhujamkan akarnya melampaui batas-batas kemanusiaan. Walaupun lebih dari 30 tahun, ternyata bagi sebuah gerakan massa, reformasi memiliki kekuatan ampuh. Kran demokrasi terbuka lebar, tentu dengan semangat dan hingar-bingar pesta republik. Produk-produk hukum diproduksi secara massif dan terbuka. Semangat demokrasi, kebebasan pers, supremasi hukum atau penegakkan HAM mengisi ruang-ruang kosong harian ibukota. Tapi itulah sebuah semangat yang secara pskologis memang hanya muncul ketika kolektivitas rakyat, berhasil bebas dari segala bentuk keterbelengguan. Rakyat tetap menjadi fokus sentral dari fase refomasi tersebut, karena jihad reformasi tak akan bermakna ketika rakyat tak mencicipinya.

Tapi yang menjadi tanda tanya adalah apakah rakyat memang menikmati fase pasca reformasi saat ini secara substantif dan psikologis? Bisa saja secara legal-normatif, dikatakan lahirnya berbagai produk regulasi perundangan, telah melahirkan partisipasi untuk masyarakat. Aspirasi masyarakat terkristal dalam momentum Pemilu dan Pemilukada. Akses terhadap informasi dan keterbukaan sekarang telah dinikmati secara bebas oleh masyarakat. Namun, tak akan berguna kita mengobrolkan reformasi, demokrasi, HAM dan supremasi hukum jika rakyat (yang sering dibajak kata-kata tersebut) merasa tetap jauh dari keadilan dan kesejahteraan. Secara verbal dua kata ini memang sangat mudah diucapkan bahkan dibajak untuk kepentingan penguasa. Begitulah pembajakan massal yang selalu terlindungi di bawah logo demi kepentingan rakyat. Demokrasi yang didesain sejatinya, terdistorsi menjadi demokrasi admisnistratif dan artifisial belaka, bukan substansial demokrasi yang diharapkan.

Tulisan sederhana ini hanya sekedar kontemplasi sesaat, untuk menjadi evaluasi bagi yang punya kuasa dan yang dikuasai. Rakyat (termasuk penulis) sekarang ini tidak jauh dari kata bingung sebenarnya. Jika dalam legenda Abbasyiah terkenal sosok Abu Nawas yang memang sering dilanda kebingungan, tetapi tetap cerdas dalam memberi nasihat kepada Harun Al-Rasyid sebagai seorang pemimipin. Begitu juga tokoh cerdas Nasruddin Hoja atau secara lokal kita mengenal Kabayan. Semuanya itu sederetan figur-figur yang bingung. Dalam konteks Indonesia, yang dikuasai dengan titel rakyat tak habis pikir. Elit politik baik skala lokal maupun nasional, termsuk isu-isu yang diwacanakan tak pernah lelah untuk membuat rakyat bingung. Kemudian yang punya kuasa juga membuat bingung, karena setumpuk kebijakan yang dibuat di bawah pembajakan atas nama rakyat, sedikit yang memang dikerjakan untuk mereka. Tingkah polah yang punya kuasa (di eksekutif, parlemen atau yudikatif), secara jujur mempertontonkan otoritas mereka yang ekstra. Rakyat lagi-lagi berpikir serba salah, ketika di harian ibu kota, koran-koran lokal, media internet dan televisi ramai-ramai membicarakan penggulingan presiden saat ini. Istana merespon dengan nada paranoid juga sepertinya. Nah, kenapa serba salah? Rakyat jelas-jelas bingung, yang namanya sejahtera masih jauh, kemanan dan kenyamanan belum singgah di rumah-rumah rakyat. Muncul sebagai tersangka tunggalnya adalah presiden, bukan lagi anggota DPR atau penegak hukum yang akhir-akhir ini mulai lemah otot bahkan teramputansi. Kita berpikir, kalau begitu mana pilihan yang bagus, presiden digulingkan (dengan semangat romantisme reformasi 98), atau tetap bertahan dengan kondisi seperti ini?

Pertanyaan Kabayan jilid II ini layak untuk direfleksikan baik oleh yang punya kuasa maupun para elit. Bagaimana mungkin mitologi buah simalakama berlaku untuk sistem modern bahkan era postmodernisme seperti sekarang? Jika benar-benar mau digulingkan, apakah sudah jaminan penggantinya akan lebih bagus atau sejarah kembali terulang. Jika tidak mau digulingkan (karena alasan ini inkonstitusional), apakah ada jaminan akan membuat republik ini tidak lagi serba salah dan bingung. Atau tetap saja serba salah dan dilanda psikologi bingung yang akut seperti sekarang. Ini harus segera dijawab, jika benar-benar merasa 60% lebih dipilih oleh rakyat. Jika tidak maka kebingungan massal akan menghampiri kita, yang berkuasa dan yang dikuasai akan sepakat untuk bingung bersama. Selamat bingung!

Siswa SMA: SBY Presiden Seumur Hidup

Standar

Sehari setelah HUT Proklamasi 17 Agustus 2010 berbagai media cetak dan elektronik cukup ramai memberitakan mengenai pernyataan Ruhut Sitompul (RS). Apa gerangan yang diucapkan oleh salah seorang pengurus DPP Partai Demokrat (DPP PD) itu. RS mewacanakan  penambahan masa jabatan presiden menjadi tiga periode. Jadi jabatan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai presiden republik ini otomatis ditambah tak hanya sampai 2014, tetapi sampai 2019. Tentu apa yang diucapkan oleh RP ini menjadi perdebatan, karena konstitusi Indonesia telah membatasi jabatan presiden maksimal dua periode. Jadi jabatan SBY dibatasi secara konstitusional sampai 2014. Mengutip UUD 1945 Pasal 7, Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan. Secara eksplisit konstitusi telah mengatakan bahwa jabatan presiden dan wakil presiden maksimal hanya 2 periode. Sekali lagi (sebagai afirmasi) bahwa jabatan presiden dan wakil presiden hanya 2 periode. Ini menarik menjadi diskursus (terlepas dari apa motivasi RS mewacanakan itu), karena secara yuridis-formal konstitusi alias UUD 1945 itu adalah halal untuk diamandemen. Teringat ketika menjelaskan pelajaran di kelas untuk para murid SMA penulis, bahwa sifat konstitusi secara umum terbagi dua, yakni konstitusi rigid (kaku) dan fleksibel (luwes). Secara konseptual konstitusi Indonesia bisa dikategorikan sebagai konstitusi yang rigid, karena mekanisme atau prosedural kelembagaan untuk melakukan amandemen terhadap UUD 1945 adalah susah. Sulit dalam artian proses amandemen UUD 1945 secara eksplisit diatur dalam Pasal 37 UUD 1945 hasil amandemen, dengan prasyarat yang banyak.

Ada dua pendekatan jika ingin menelaah lebih dalam mengenai kategorisasi UUD 1945, apakah rigid atau fleksibel. Pertama, secara kelembagaan yaitu UUD 1945 sebelum amandemen menjelaskan bahwa amandemen konstitusi sangat susah untuk dilakukan. Apalagi adanya Tap MPR No. IV/MPR/1983 yang akhirnya melahirkan UU No. 5 Tahun 1985. Secara garis besar kedua peraturan itu mengatakan jika MPR ingin mengubah UUD 1945 maka terlebih dulu harus meminta pendapat rakyat melalui referendum. Bahkan lebih rigidnya lagi Tap MPR itu sebenarnya lebih bernuansa (politis) tidak memiliki keinginan untuk mengubah UUD 1945. Sebenarnya yang menentukan untuk mengubah konstitusi pada waktu itu adalah keputusan referendum oleh rakyat, bukan oleh lembaga MPR. Tapi kalau sekarang keputusan untuk mengamandemen konstitusi terletak pada lembaga MPR, bukan oleh rakyat. Jadi bisa dikatakan bersifat fleksibel secara kelembagaan. Kedua, secara mekanisme-prosedural atau teknis. UUD 1945 pasca amandemen, walaupun bukan ditentukan oleh rakyat tetapi proses perubahannya cukup berat (prasyaratnya). Dalam pasal 37 itu jelaskan mengenai prasyarat yuridis-politis untuk bisa mengubah konstitusi.

Nah, kembali ke konteks jabatan presiden maksimal hanya dua periode tadi, jelas bahwa UUD 1945 boleh-boleh saja untuk diamandemen (termasuk pasal tentang masa jabatan presiden). Walaupun mekanisme prosedural pengubahannya sangat susah dengan prasyarat yang begitu berat (secara yuridis-politis). Tapi ada juga sebagian masyarakat yang menilai bahwa konstitusi kita masuk kategori yang fleksibel, seperti dijelaskan di atas. Justru karena Pasal 37 tadi yang membolehkan untuk mengamandemennya. Kemudian yang menganggapnya fleksibel berdalil, bahwa dibandingkan era Orde Baru, konstitusi Indonesia menjadi sesuatu yang sangat sakral, seolah-olah jauh dari kehidupan nyata manusia Indonesia atau dikatakan “konstistusi yang mati”. Berbeda dengan kondisi saat ini persepsi masyarakat dan termasuk anggota MPR terhadap konstitusi Indonesia adalah “living constitution” atau konstitusi yang hidup berkembang sesuai dengan bahsa zamannya. Jika secara prosedural sudah terpenuhi maka tinggal ketok palu saja untuk mengubah UUD 1945.

Di sekolah tempat penulis mengajar para murid juga banyak berdiskusi, termasuk beberapa guru. Seputar masa jabatan presiden SBY dan aturan tertulis dalam konstitusi Indonesia. Apakah Pak SBY bisa dipilih lagi untuk periode ketiga (2014-2019). Sebagai pengajar pelajaran Kewarganegaraan (Civics) SMA, penulis berpikir secara lebih holistik. Maksudnya dengan mengemukakan dua perspektif, yakni secara yuridis-formal dan politis. Secara yuridis-formal konstitusi Indonesia telah membatasai masa jabatan presiden itu hanya dua periode. Tetapi secara politik bisa saja para anggota MPR (anggota DPR & DPD) memiliki political will atau kemauan politik untuk mengamandemen UUD 1945 yang ke-lima, kita tidak tahu. Karena fenomena anggota parlemen kita sekarang ini lebih aneh ketimbang anak TK. Karena mereka bisa saja mencari-cari alasan untuk menipu rakyat agar kepentingannya tercapai, termasuk menginginkan SBY satu periode lagi. Dalam hal mencari-cari alasan, ini memang jagonya para anggota dewan, sebutlah wacana dana aspirasi (akhirnya banyak diprotes) walaupun diendapkan untuk sementara. Tanpa malu-malu kembali anggota dewan kita mewacanakan rumah aspirasi. Mungkin saja suatu saat nanti, ketika rakyat lupa, mereka mengusulkan mobil aspirasi, baju aspirasi, topi aspirasi, pulpen aspirasi, sekretaris pribadi aspirasi bahkan istri aspirasi. Wah, kenapa jadi membahas anggota dewan ya? Tapi inilah realita politik kata para pakar, politic is the art of possible.

Mendengar penjelasan sederhana itu para siswa terheran-heran. Lho, kok politik itu bisa menginjak-injak hukum ya Pak? Tanya para siswa kepada saya. Saya hanya tersenyum mendengar pertanyaan para siswa yang selalu kritis dalam pelajaran ini. Sepertinya mereka juga kecewa terhadap tingkah-polah para pemimpin bangsa sekarang. Tetapi begitulah kenyataannya, karena jika anggota dewan menginginkan (secara mayoritas) SBY dipilih lagi (dengan terlebih dulu mengamandemen konstitusi), itu akan menjadi kenyataan bukan lagi mitos. Penulis juga tak paham apa motivasi orang yang mewacanakan SBY untuk satu periode lagi. Walaupun melalui Anas Urbaningrum, dikatakan bahwa SBY patuh kepada UUD 1945 yang mengamanahkan jabatan presiden maksimal dua periode. SBY juga tidak akan menginginkan jabatan presiden untuk masa berikutnya. Terjadi ambiguitas sikap di internal partai besar itu. Namun wacana ini bisa berimplikasi kepada citra SBY yang selama ini beliau utamakan. Sebab di satu sisi rakyat akan menilai, jika itu terjadi maka Orde Baru Jilid II akan segera singgah di rumah kita dengan pemeran utama yang berbeda. Menjadi batu sandungan tentunya bagi SBY dan partainya. Di sisi lain kesejahteraan rakyat secara merata masih menjadi angan-angan, nun jauh di sana. Diskusi dengan para siswa tadi sangat dialogis, jujur dan terbuka. Karena saya teringat ucapan seorang siswa kepada saya. Kalau begitu keadaannya Pak, ya sudah saja Pak SBY dijadikan sebagai presiden seumur hidup, tanggung Pak kalau hanya tiga periode! Mendengar ucapan tersebut, saya tersenyum dan murid dalam kelas tersebut tertawa lepas. Wah, saya kagum mendengar kata-kata tajam dan kritis walaupun beraroma sindiran pedas mereka. Memang itulah anak didik saya.

Mendamaikan Politik dan Hukum (Dalam Wacana Negara Demokrasi) Oleh Satriwan, S.Pd[1]

Standar

Sebagai sebuah negara demokrasi terbesar ketiga di dunia (menurut Freedom House), Indonesia menjadi sorotan dunia internasional. Transisi demokrasi yang hadir secara insight pasca reformasi ’98 sampai sekarang dijadikan argumentasi teoritis dalam mempertahankan sebuah instrumen yang dijadikan konsensus nasional, yaitu demokrasi. Demokrasi menjadi term yang hidup di negara-negara yang sudah/sedang mengalami tindakan represif rezim pemerintah yang sedang berkuasa. Sebutlah Indonesia yang mengalami masa 32 tahun dikungkung oleh rezim despotik, yang menggunakan pendekatan militeristik dalam menjaga kekuasaanya. Demokrasi menjadi common platform rakyat untuk membebaskan diri dari despotisme rezim. Demokrasi kemudian diterjemahkan ke berbagai artikulasi kehidupan sosial dan politik masyarakat. Demonstrasi menuntut hak-hak masyarakat, kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat, termasuk kebebasan pers yang semuanya itu bersandar di bawah pohon rindang yang bernama HAM. Akhirnya demokrasi dan HAM memberikan ruang dan tempat yang besar bagi komponen civil society untuk menggapai tujuan negara demokrasi. Indonesia menjadi negara yang demokratis pasca reformasi (walapun ada yang tidak setuju dengan pendapat ini), bukanlah sesuatu cita-cita terakhir sebagai sebuah nation-state tetapi baru menjadi instrumen politik kenegaraan yang ada bolong-bolongnya. Tambal sulam bolong-bolong demokrasi inilah kemudian yang berproses terus-menerus mencari titik kesempurnaannya dalam praktik kenegaraan. Inilah yang dikenal para mahasiswa dan akademisi sebagai transisi demokrasi.

Diskursus demokrasi tak akan berhenti begitu saja sepanjang masyarakat secara individual dan sosial berpegangan kepada nilai-nilai fundamental Hak Asasi Manusia (HAM). Begitu juga bagi pemerintah, penguatan basis civil society dengan instrumen demokrasi dan HAM menjadi harga mati. Sampai sekarang kita masih mencari-cari format negara demokrasi yang secara empiris diartikulasikan dalam praktik politik kenegaraan. Hal ini yang menjadi catatan kritis untuk kemudian terus mengalami dialektika sosial. Pemilu yang menjadi salah satu parameter negara demokrasi sudah berlangsung tiga kali pasca reformasi. Pelaksanaan pemilu secara langsung telah dimulai tahun 2004 dan ini mencetak sejarah dalam perkembangan sejarah modern Indonesia. Begitu juga Pemilu 2009 kemarin yang terselenggara dengan demokratis. Namun di sisi lain, tak kunjung bertemu dalam satu titik konvergensi bagaimana Pemilu menjadi perangkat politik yang mampu menghasilkan out put (baik anggota legislatif maupun Presiden/wapres) yang berkualitas dan pro rakyat. Para anggota legislatif yang merupakan pilihan rakyat dengan baju besarnya yaitu ”wakil rakyat” belum mampu menerjemahkan suasana kebatinan rakyat yang katanya mereka wakili tersebut. Ini mudah terlihat ketika anggota DPR (misalnya) selalu mengatasnamakan rakyat dalam berucap. Masyarakat akhir-akhir ini disuguhi oleh dinamika politik nasional yang menguras tenaga, pikiran dan materi (uang negara). Kasus Bank Century menjadi fokus diskusi-diskusi mulai di warung-warung kopi sampai di hotel berbintang. Menjadi topik yang menarik karena melibatkan penguasa nomor dua di negeri ini termasuk menterinya. Ditambah lagi para pejabat negara yang terlibat dan diindikasikan melanggar hukum. Ini semua menjadi tontotan yang menarik, apalagi ketika berbicara partai yang berkoalisi, hasil rekomendasi A dan C atau menggabungkan AC dan lainnya.

Pertanyaan mendasar dari publik sebenarnya, apakah Century ini hanya wacana elit yang akhirnya berdampak konflik sistemsik di kalangan elit itu sendiri. Tapi kita khawatir (karena sudah paham) jika konflik elit pasti memiliki daya resonansi yang berimbas kepada masyarakat umum nantinya. Semua itu terbukti sekarang ini, di saat berbagai komponen masyarakat yang melakukan demonstasi baik yang menginginkan kasus Bank Cenutry segera diselesaikan secara hukum, mapun yang mati-matian melakukan pembelaan kepada pembenaran kebijakan bailout Bank Century. Semuanya berlindung atas nama rakyat dan berdiri di bawah bendera demokrasi dan HAM. Keduanya sama-sama anak ibu pertiwi yang ingin bangsa dan negaranya maju. Demonstrasi massa yang dilakukan oleh mahasiswa dan LSM akhir-akhir ini sangat marak dalam menyikapi proses politik di DPR, terkait penyelidikan oleh Pansus Hak Angket DPR. Narasi hak angket DPR tersebut klimaks di parlemen pada 2 maret 2010, ketika DPR secara resmi (setelah proses yang berliku) memutuskan bahwa kebijakan terkait bailout Bank Century adalah salah, baik secara kebijakan mapun secara pelaksanaan. Kemudian pihak-pihak yang terkait dan disebutkan dalam rekomendasi Pansus harus diusut dan diselidiki secara hukum. Berbagai komentar di media baik oleh pengamat maupun anggota DPR yang mengatakan bahwa, keputusan DPR ini merupakan hasil dari sebuah proses politik. Ini perlu ditelaah lagi, karena jangan sampai masyarakat punya persepsi kalau yang namanya proses politik itu (selalu) kotor dan power oriented. Proses politik merupakan suatu dialektika dalam berdemokrasi yang jelas-jelas dijalankan oleh lembaga politik yang sah dan legitimate di negeri ini. Sebagai lembaga negara yang equal dengan presiden, MK dan lainnya, keputusan resmi DPR ini mesti dihargai sebagai oleh masyarakat. Agar lembaga-lembaga negara tetap memiliki martabat di mata rakyat. Begitu juga hasil audit dari BPK, sebagai satu-satunya lembaga tinggi negata yang bertugas mengaudit keuangan negara, maka hasil audit BPK harus dihargai sebagai lembaga negara yang legitimate.

DPR sebagai lembaga legislatif yang mempunyai fungsi kontrol tentu akan dikatakan salah jika tidak melaksanakan salah satu fungsinya itu secara konsisten. Untuk apa ada lembaga legislatif jika hanya menjadi lembaga ompong dan selalu manut terhadap kebijakan pemerintah (eksekutif). Di sinilah letak check and balances dalam negara demokrasi modern. Karena penyelidikan sendiri oleh DPR sebagai lembaga pengontrol terhadap setiap kebijakan pemerintah adalah legal dan sesuai undang-undang. Jadi proses politik di DPR tetap pijakannya (legal standing) adalah undang-undang dan dalam rangka menjalankan amanah undang-undang. Kemudian ketika ada yang membenturkan (proses politik) dengan praktik politik yang dinilai sarat kepentingan dan (mungkin) kotor, ini harus diclearkan juga sebagai pendidikan politik kepada publik. Berbicara kepentingan (intrest) adalah boleh dan halal dalam politik, sepanjang kepentingannya adalah sesuai konstitusi maka tidak ada yang salah. Tetapi ketika kepentingan partai-partai politik di DPR adalah untuk power an sich maka patut untuk dikritisi oleh civil society. Oleh karena itu tidak ada yang perlu ditakutkan dalam sebuah proses politik, karena rakyat sekarang cerdas menilai beragam aktivitas elit politik di parlemen. Hasil keputusan paripurna DPR untuk menyerahkan rekomendasi pansus kepada lembaga penegak hukum (KPK, Polri dan Kejagung), harus dipahami sebagai keputusan lembaga negara yang menjalankan fungsi konstitusinya. Jangan sampai ada pretensi bahkan prejudice terhadap keputusan lembaga negara tersebut.

Sekarang tinggal proses hukum (pro justisia) yang akan menentukan apakah rekomendasi dari keputusan DPR tersebut terbukti atau tidak. Proses hukum merupakan satu-satunya instrumen negara yang harus terbebas dari segala macam kepentingan dan berdiri sendiri. Prinsip equality before the law dan rasa keadilan harus di atas segalnya. Jadi ketika presiden menyampaikan pidato politiknya dalam menyikapi hasil paripurna DPR tentang bailout Bank Century, ini sebatas pendapat sebagai seorang presiden (yang sejajar dengan DPR). Menjadi menarik karena presiden justru tidak setuju dengan hasil paripurna DPR. Sekarang tinggal penegak hukum yang melakukan proses ke depan, tanpa terpengaruh oleh apapun dan siapapun (walaupun pidato presiden). Hasil audit BPK dan keputusan paripurna DPR memiliki landasan yang kuat, karena menjalankan fungsi konstitusionalnya (bukan pembelaan semata). Di sinilah letak dialektika demokrasi Indonesia sesungguhnya. Bagaimana prinsip rule of law mampu diimplementasikan dalam kehidupan bernegara, tak terlepas dari political side (yang sebagian orang menganggapnya kotor). Dialektika berdemokrasi ini jangan sampai juga mengorbankan rasa keadilan masyarakat yang sejatinya pemilik sah republik ini.

Lagi-lagi politik dan hukum bertemu dalam konteks negara demokrasi modern seperti Indonesia. Agak aneh kalau kita mendikotomikan antara politik dan hukum secara parsial. Di pekuliahanpun (jurusan hukum dan politik) pasti diajarkan teori politik hukum yang meletakkan keduanya sebagai instrumen sah dalam negara demokrasi. Memang keputusan paripurna DPR tentang bailout Bank Century bukanlah produk hukum tetap untuk menentukan bersalah atau tidak. Tetapi secara moral politik nama-nama yang diindikasikan dalam keputusan penyelidikan pansus tersebut, sudah tercoreng di depan parlemen. Inilah realita politik dan hukum yang kadang-kadang susah untuk dicerna namun mesti ada dan hidup dalam negara demokrasi. Dalam rentang waktu yang sama, keputusan DPR tentang bailout Bank Century paradoksal dengan isi pidato presiden dalam menanggapinya. Hal ini menjadi dinamika tersendiri karena keduanya, baik DPR maupun presiden adalah lembaga negara yang menjalankan fungsinya sesuai konstitusi. Namun di luar itu semua, dalam hati masyarakat Indonesia menginginkan agar kasus Bank Century cepat selesai secara hukum. Tentulah tujuannya bukan ingin mendiskreditkan dan menyudutkan seseorang (figur), tapi sebagai bentuk penegakkan prinsip rule of law dan equality before the law, dalam konteks negara demokrasi. Baik proses politik (yang dijalankan lembaga politik) maupun proses hukum (lembaga penegak hukum), keduanya sama-sama bertujuan mencari jawaban yang pasti untuk menegakkan rasa keadilan masyarakat. Tidak ada yang perlu dibela, apakah DPR atau presiden, yang harus dibela sesungguhnya adalah kepentingan dan prinsip keadilan masyarakat tanpa berlindung di dalam baju kekuasaannya.

[1] Penulis adalah peneliti di Pusat Kajian dan Pengembangan Ilmu-ilmu

Sosial  (PKPIS) UNJ dan Guru di SMA Labschool Jakarta