Monthly Archives: Januari 2012

Merdeka: Antara Otonomi Khusus Papua dan Aceh

Standar

Perjalanan dua daerah khusus ini memang penuh dinamika politik yang menghiasi perdebatan bahkan pertentangan. Saat Orde Baru, diberlakukan Daerah Operasi Militer (DOM) yang nyata-nyata menjadi tangan militer rezim untuk membungkam aspirasi rakyat Aceh. Bergulirnya reformasi disusul lahirnya UU tentang Otonomi Daerah memberikan sedikit angin segar bagi pemulihan dan rekonsolidasi masyarakat Aceh. Sebagai sebuah gerakan perjuangan dan politik, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) mendapat legitimasi sosial, politik bahkan ideologis dari masyarakat Aceh. Rentetan mediasi dengan pemerintah pusat makin intensif yang puncaknya adalah lahirnya MOU Helsinki pada 15 Agustus 2005 di Finlandia. Terjadi kesepakatan bulat antara GAM dengan pemerintah Indonesia untuk berdamai namun dengan prasyarat yang mesti dipenuhi keduabelah pihak. Pada tahun 2006 disusul dengan disahkannya UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Lahirnya regulasi yang menjadi penanda perubahan fundamental di Aceh. Sekaligus menjadi justifikasi bahwa Aceh memang “khusus” dalam perjalanan sejarah republik ini. Pernyataan ini terlihat secara eksplisit dalam konsideran UU Pemerintahan Aceh (UU PA) yaitu:

a.  Bahwa berdasarkan perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia, Aceh merupakan satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa terkait dengan salah satu karakter khas sejarah perjuangan masyarakat Aceh yang memiliki ketahanan dan daya juang tinggi;

b.  Bahwa ketahanan dan daya juang tinggi tersebut bersumber dari pandangan hidup yang berlandaskan syari’at Islam yang melahirkan budaya Islam yang kuat, sehingga Aceh menjadi daerah modal bagi perjuangan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia;

Implikasi politik dan yuridisnya adalah daerah Aceh memiliki kekhasan dan sistem yang berbeda dari daerah lain di Indonesia. Beberapa karakter kedaerahan yang lahir akibat UU ini dan cukup disorot oleh masyarakat (nasional dan internasional), seperti: berlakuknya syariat Islam (dalam Qonun-Peraturan Daerah) dengan segala perangkat hukum dan lembaganya dan diberikannya peluang bagi hadirnya Partai Lokal dalam Pemilu (termasuk Pilkada). Perjalanan keistimewaan Aceh ini sudah berjalan semenjak 2006 sampai sekarang. Di berbagai tingkatan sudah banyak lahir Qonun (Peraturan Daerah) dalam rangka memberlakukan syariat Islam, seperti kewajiban menutup aurat bagi perempuan, pelaksanaan hukum cambuk bagi pelanggar pidana Islam, kewajiban membaca Al-Qur’an dan sejenisnya. Dibuat kemudian “Polisi Syariah” dan “Mahkamah Syariah”. Di sisi lain keberadaan lembaga hukum nasional seperti Polri, Pamong Praja, Pengadilan Umum, Kehakiman tetap ada dan diakui. Tetapi tak sedikit kritikan dan penentangan yang terjadi terhadap wajah pelaksanaan UU PA ini. Bagi sebagian kalangan pemberlakukan syariat Islam versi Aceh cenderung mempersempit gerak perempuan dan peminggiran hak-hak perempuan.

Beranjak ke provinsi lain yang juga memiliki kekhususan yakni Papua, terlahir dari UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Dalam hal ini sebagai pengganti Provinsi Irian Jaya menjadi Provinsi Papua dan Papua Barat. Jauh berbeda dalam perjalanan sejarah dan politik antara Aceh dengan Papua. Jika di Aceh eksistensi GAM sangat kuat dan berpengaruh dalam peta politik nasional (dengan pemerintah pusat), ditambah sepak terjang tokoh-tokoh dan perwakilan GAM di luar negeri. Perjuangan fisik GAM di Aceh dipadukan dengan perjuangan diplomasi (politik) di luar negeri. Sinergi yang kuat antara dua komponen utama ini membuat posisi tawar bagi jalan konsensus semakin terbuka lebar. MOU Helsinki menjadi bukti dan keberhasilannya.

Namun beda sekali dengan Papua. Keberadaan Organisasi Papua Merdeka (OPM) setidaknya bagi pemerintah pusat tak sama kedudukannya dengan GAM. OPM dinilai lebih sebagai organisasi separatis ketimbang organisasi perjuangan politik masyarakat Papua. Hal ini cukup rasional, karena kita tahu bahwa OPM sebagai gerakan perjuangan (fisik) tak didukung secara holistik dan bulat oleh masyarakat Papua. Ditambah lagi dengan perpecahan di internalnya sehingga memunculkan faksi-faksi yang satu sama lain berbeda haluan politiknya. Termasuk faktor geografis Papua yang berbukit dan minim infrastruktur, berakibat pada rendahnya mobilitas gerakan OPM. Berbeda dengan GAM yang didukung secara utuh dan bulat oleh masyarakat Aceh. Namun faktor penentu yang menjadi modal ideologis bagi perjuangan GAM yakni agama Islam beserta otoritas tokoh-tokoh ulama.

Otonomi khusus Papua memang tak sama dengan Aceh. Jika keistimewaan Aceh lebih kepada pembangunan tatanan hukum, sosial dan politik, namun bagi Papua lebih kepada item-item sosio-kultural. Ini penting bagi Papua sebab sangat banyaknya suku dan sub-suku yang hidup, dengan adat-budaya dan kepentingan (politik) berbeda satu sama lain. Di satu kabupaten misalnya hidup puluhan suku dan didominasi oleh suku-suku tertentu. Maka perlu ada regulasi politik untuk mengatur mereka. Representasi sosial-kuktural inilah kemudian yang menghasilkan berdirinya Majelis Rakyat Papuat (MRP), yaitu “representasi kultural orang asli Papua, yang memiliki wewenang tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup beragama sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.” (UU Otsus Papua)

Karakter Otsus Papua berorientasi pada penguatan politik dan kultural masyarakat Papua, yang kemudian mengenalkan istilah “orang asli Papua”. Dalam UU ini juga dikenal istilah “masyarakat adat Papua”, sebagai masyarakat asli Papua yang hidup di daerah tertentu dengan hukum (adat) tertentu. Dalam konteks Aceh tidak ada penguatan primordial etnis seperti ini, karena secara etnis masyarakat Aceh cenderung tidak semajemuk Papua. Tak ada terminologi “orang asli Aceh”. Apalagi faktor agama Islam justru yang lebih menentukan. Penguatan primordial di Papua melahirkan pengaturan yakni hanya ras Melanesia yang bisa menjadi calon kepala daerah di Papua. Di luar etnis dan ras Papua-Melanesia tidak bisa menjadi kepala daerah. Hal ini oleh sebagian kalangan dinilai diskriminatif, karena berakibat terhadap saluran demokrasi yang terhambat. Kemudian dikenal istilah “sindrom putera daerah”.

Berbagai perbedaan pelaksanaan otonomi khusus di Aceh dan Papua memberikan isyarat pada kita bahwa bangsa ini tidak terbentuk dengan mudah. Prinsip yang harus dijaga adalah kebhinekaan yang akhir-akhir ini sedang sakit. Jangan sampai negara (pemerintah pusat) memilah-milah warganya, sehingga yang terjadi adalah ruang yang lebih bagi satu kelompok, ras atau primordial. Tetapi “penyempitan” bahkan “penganaktirian” bagi yang lainnya. Apakah Aceh dan keberadaan GAM (dulu) berbeda dengan Papua dengan OPMnya? Hanya sejarah yang akan membuktikan. Perjalanan politik seperti ini menjadi bukti bahwa pemerintah belum berpihak pada kesejahteraan rakyatnya. Merdeka bukanlah kata “menakutkan” bagi pemerintah pusat dan NKRI. Hakikat merdeka yakni terbebas dari jerat kemiskinan, kebodohan, diskriminasi dan keterbelakangan. Merdeka!