Monthly Archives: Januari 2010

KONSEP NEGARA ISLAM DALAM PERSPEKTIF M.NATSIR Oleh Satriwan[1]

Standar

Latar Belakang

Diskusi tentang teori suatu Negara Islam di Indonesia adalah fenomena lama dan hampir seluruhnya dilakukan oleh penulis-penulis dan politisi modernis muslim. Tapi sekalipun kelompok modernis Islam pada periode pasca kemerdekaan, menurut para ahli, belum seorangpun di antara mereka yang telah berhasil menyusun suatu karya sistematis dan ilmiah, yang mampu mengartikulasikan hakikat dan corak suatu Negara Islam yang ingin mereka ciptakan di Indonesia.

Hampir tidak ada kesepakatan bulat di kalangan pemikir politik muslim modern tentang apa sesungguhnya yang terkandung dalam konsep Negara Islam. Kenyataan ini sangat mudah terlihat dengan begitu beragamnya sistem negara dan pemerintahan di dunia ini yang mengklaim dirinya sebagai Negara Islam. Namun begitu, secara teoritis, dewasa ini sudah ada berbagai upaya untuk mencoba merumuskan sebuah konsep formal mengenai apa yang dimaksud dengan Negara Islam. Paling tidak telah ada kesepakatan minimal bahwa suatu negara disebut sebagai Negara Islam jika memberlakukan hukum Islam. Dengan lain perkataan, pelaksanaan hukum Islam merupakan prasyarat formal dan utama bagi eksisnya suatu Negara Islam.

Islam merupakan agama wahyu yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW dan diturunkan di Jazirah Arabiya sebagai rahmatan lil’alamin. Al-Qur’an adalah sebagai petunjuk manusia untuk melakukan berbagai aktivitas mereka di muka bumi ini, dalam rangka beribadah pada Allah SWT. Dalam perkembangannya, Rasulullah mengembangkan dakwah pertama kali di Makkah yang kemudian melanjutkannya sampai ke Madinah. Setelah menetap di Madinah inilah umat Islam menciptakan sebuah Peradaban Islam (Islamic Civilitation).

Setelah beliau wafat maka timbullah perdebatan sengit di antara para sahabat beliau mengenai orang yang akan memimpin umat melanjutkan kepemimpinan beliau atas umat Islam. Maka secara berurutan terpilihlah para sahabat dekat beliau yang pada akhirnya dikenal dengan istlah Khulafaur Rasyiduun. Mereka secara periodik menggantikan kepemimpinan nabi atas umat Islam. Pada abad pertengahan, pasca wafatnya Khalifah terakhir yaitu Ali Bin Abi Thalib, kepemimpinan umat Islam berjalan penuh dengan intrik-intrik politik. Berdirinya dinasti-dinasti seperti Dinasti Abbasyiah dan Umayyah, merupakan cerminan pola kepemimpinan umat tidak lagi berprinsip demokratis (prinsip syura/musyawarah memilih pemimpin) tapi telah bermetamorfosis menjadi sistem monarki absolut, karena pemilihan pemimpin yang  berdasarkan keturunan. Pada abad pertengahan ini pula berkembang karya-karya ulama Islam mengenai konsep Negara Islam. Memang dari sejarahnya Islam tidak lepas dari politik kenegaraan, sebab umat Islam mempunyai seorang pemimpin yang dipilih berdasrkan mekanisme politik tertentu (yaitu syura).

Menurut teori-teori politik Islam klasik, konsep negara merupakan inti filsafat politik Islam. Istilah negara dalam literatur Islam yaitu Al-Qur’an, memang tidak ditemukan satu ayatpun. Kata Daulah merupakan istilah lain dari negara. Banyak di antara sarjana modern melukiskan Nabi Muhammad adalah “sebagai Nabi Penguasa atas komunitas Islam”, walaupun dalam kenyataannya nabi tidak pernah mengklaim dirinya sebagai penguasa.  Nama Hasan Al-Mawardi (meninggal 1058) cukup terkenal dalam sejarah Islam. Karyanya yang membicarakan secara luas mengenai pemerintahan dijadikan rujukan dalam zaman modern ini. Al-Ahkam Al-Sulthaniyah (Hukum Pemerintahan) merupakan karangan ilmiah pertama tentang ilmu politik dan admnistrasi negara dalam sejarah Islam.

Seorang pemikir Islam yang mula–mula dianggap paling komprehensif menggagas konsep Negara Islam adalah Jamaluddin Al-Asadabadi (1838-1897) atau yang kemudian dikenal dengan Jamaluddin Al-Afghani. Setidaknya ada dua hal menurutnya yang mendorong kehendak untuk melaksanakan Negara Islam ini, yaitu :

  1. Al-Afghani melihat betapa lemahnya umat Islam dan para penguasanya menghadapi imperialisme barat pada waktu itu, sehingga perlu dibangkitkan gerakan Pan-Islamisme untuk mempersatukan kekuatan politik Islam.
  2. Gerakan semacam ini tidak mungkin lahir tanpa umat Islam merumuskan kembali Islam sebagai ideologi, nilai peradaban dan identitas kebudayaannya sendiri menghadapi tantangan modernitas barat. Dalam konsep Negara Islam terpadu semua itu, kata Al-Afghani, janganlah hanya membicarakan Islam dari sudutnya sebagai agama ritual yang sempit, tetapi bagaimana melakukan elaborasi secara intelektual-religius agar bisa mendiskusikan hal-hal seperti berkaitan dengan soal hukum Islam, soal kelembagaan sosial Islam, dan soal-soal berhubungan dengan kekuasaan serta wilayah politik lainnya.

Gagasan Islam seperti itu yang kemudian sering dikatakan sebagai awal munculnya modernisme Islam. Memang selain menumbuhkan semangat menentang terhadap hegemoni barat, tetapi kalau diambil positifnya secara jujur bahwa sikap militansi yang tampak bercorak fundamentalistik ini sesungguhnya juga mengandung keterbukaan.  Ide dan konsep mengenai Negara Islam pada akhirnya sampai ke Indonesia dalam sejarah prakemerdekaan sampai pascakemerdekaan (juga di era reformasi ini.). Salah seorang pahlawan nasional, Muhammad Natsir sangat dikenal di Indonesia juga luar negeri sebagai seorang tokoh Islam yang gigih untuk membela Islam sebagai Dasar Negara. Ide dan pemikirannya telah membuat catatan sejarah baru bagi perkembangan umat Islam di Indonesia.

M. Natsir berpandangan bahwa Islam merupakan agama yang ajarannya komprehensif dan mengatur segala aspek kehidupan manusia di muka bumi ini. Usaha-usaha yang dilakukan oleh Natsir dalam mentransformasikan pemikirannya adalah melalui media politik. Natsir mengatakan kalau politik merupakan media dakwah yang sangat penting dalam Islam. Oleh karena itu Natsir menjadi seorang pendiri dan juga Ketua Umum Masyumi. Beliau juga pernah menjadi Perdana Menteri pada pemerintahan di Era Soekarno (era Demokrasi Parlementer). Politikus modern Islam ini dengan sangat gigih memperjuangkan Islam sebagai Dasar Negara dan memberikan konsep-konsep mengenai Negara Islam atau negara yang berdasarkan Islam (dalam konteksnya di Indonesia). Perdebatan mengenai konsep Negara Islam yang ingin mewujudkan Islam sebagai dasar negara di Indonesia telah dimualai ketika sidang BPUPKI. Perdebatan muncul saat membahas dasar negara Pancasila sila pertama, yang pada mulanya berbunyi, Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluknya. Pada akhirnya kompromi politik terjadi dalam bentuk Piagam Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945, yang merupakan hasil kerja sebuah Panitia Kecil dalam BPUPKI (terdiri dari sembilan orang). Pada 18 Agustus 1945 para pendiri negara tadi (khususnya yang berasal dari Kristen) tidak menyetujui tujuh kalimat dalam Pancasila, sila pertama (yang ada di Preambule), tapi pada akhirnya tujuh kata itu dihapuskan, peristiwa ini terjadi 18 Agustus.  Para pendiri negara berkeyakinan bahwa kalimat dalam sila pertama itu berpotensi untuk membuat Indonesia menjadi Negara Islam atau menjadikan Islam sebagai Dasar Negara.

Pada tahun 1960, Masyumi membubarkan dirinya karena alasan polemik dalam politik di pemerintahan yang dipimpin Soekarno (era Demokrasi Terpimpin). Cita-cita perjuangan politik Masyumi dan Natsir dalam perkembangan sejarah modern Indonesia kemudian dilanjutkan oleh Partai Bulan Bilatang. Partai Bulan Bintang merupakan reinkarnasi dari Masyumi dalam kenyataannya memang para tokoh Partai Bulan Bintang merupakan murid-murid politik dari M. Natsir. PBB dalam perjuangan para kadernya untuk mempertahankan Piagam Jakarta 22 Juni 1945, dengan kata lain meraka ingin mempertahankan tujuh kata dalam Pancasila dan Pembukaan UDD 1945. Oleh karena itu dapat dianalisa bahwa PBB dan para kadernya ingin membentuk sebuah format negara Islam di Indonesia.

Partai Bulan Bintang bertekad untuk tidak surut sedikit pun dari pendiriannya memperjuangkan Piagam Jakarta secara demokratis dan konstitusional untuk dimasukkan dalam Pasal 29 Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 sehingga bunyinya menjadi, “negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban melaksanakan syariat Islam bagi pemeluknya”. “Kita akan terus memperjuangkan agar Piagam Jakarta yang merupakan hasil dialog golongan nasionalis dan Islam masuk dalam UUD 1945 baik sekarang maupun masa yang akan datang. Namun, kita akan memperjuangkan hal itu melalui cara-cara demokratis, sah, dan konstitusional,” kata Yusril Ihza Mahendra. Menurutnya apa yang dilakukan PBB untuk memperjuangkan Piagam Jakarta sama sekali bukan merupakan gerakan bawah tanah. “Kita bergerak secara terbuka dengan cara-cara demokratis dan konstitusional tanpa kenal lelah. Sebagai sebuah cita-cita, niat ini tidak boleh padam untuk selama-lamanya,” papar Yusril.

Dalam sejarah peradaban Islam di dunia telah banyak melahirkan tokoh dan beragam pemikiran mereka mengenai Islam dan ajaran–ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad ini. Diskursus yang selalu mencuat dan tidak kehabisan waktu bagi semua kalangan baik akademisi maupun kalangan agamawan ialah diskursus tentang Negara Islam. Seorang pemikir Islam yang mula–mula dianggap paling komprehensif menggagas konsep Negara Islam adalah Jamaluddin Al-Asadabadi (1838-1897) atau yang kemudian dikenal dengan Jamaluddin Al-Afghani. Setidaknya ada dua hal yang mendorong kehendak untuk melaksanakan Negara Islam ini, yaitu :

  1. Al-Afghani melihat betapa lemahnya umat Islam dan para penguasanya menghadapi imperialisme barat pada waktu itu, sehingga perlu dibangkitkan gerakan Pan-Islamisme untuk mempersatukan kekuatan politik Islam.
  2. Gerakan semacam ini tidak mungkin lahir tanpa umat Islam merumuskan kembali Islam sebagai ideologi, nilai peradaban dan identitas kebudayaannya sendiri menghadapi tantangan modernitas barat. Dalam konsep Negara Islam terpadu semua itu, kata Al-Afghani, janganlah hanya membicarakan Islam dari sudutnya sebagai agama ritual yang sempit, tetapi bagaimana melakukan elaborasi secara intelektual-religius agar bisa mendiskusikan hal-hal seperti berkaitan dengan soal hukum Islam, soal kelembagaan sosial Islam, dan soal-soal berhubungan dengan kekuasaan serta wilayah politik lainnya.

Term Negara Islam sangat sering didengar, apalagi dalam perkembangan sejarah Indonesia, yaitu terjadinya pemberontkan S. M. Kartosuwiryo di Jawa Barat yang kemudian berkembang ke daerah Aceh, Jawa Tengah, Kaliantan Selatan, Sulawesi Selatan. Kartosuwiryo memproklamirkan Negara Islam Indonesia dengan dia sebagai amir (pemimpinnnya). Namun pergerakkan yang dianggap makar ini dapat juga pada akhirnya diberantas oleh pemerintah dengan sebuah operasi yang cukup dikenal yaitu Operasi Pagar Betis. Tapi di sini tidak akan dibahas megenai konsep Negara Islam Indonesia (NII) versi Kartosuwiryo. Dalam referensi Islam istilah Daulah diartikan sebagai negara, walaupun realitasnya dalam Al-Qur’an, kata Al-Daulah tidak ada sedikitpun dalam ayat-ayat Al-Qur’an. Kondisi inilah yang menjadikan diskursus panjang dalam sejarah umat Islam. Sebab tidak semua pemikir Islam sepakat dengan konsep negara Islam ini.

Teori Negara Islam

Istilah negara atau state pada masa modern berasal dari status yaitu perkataan Latin (stato dalam bahasa Itali, etat dalam bahasa Perancis dan state dalam bahasa Inggris). Menurut Webster’s Dictionary, Negara adalah sejumlah orang yang mendiami secara permanen suatu wilayah tertentu dan diorganisasikan secara politik di bawah suatu pemerintahan yang berdaulat yang hampir sepenuhnya bebas dari pengawasan luar serta memiliki kekuasaan pemaksa demi mempertahankan keteraturan dalam masyarakat. Sedangkan menurut Ziya Gokalp, negara berarti suatu otoritas publik yang mempunyai kekuasaan untuk memaksakan peraturan–peraturan hukumnya atas individu–individu yang keselamatannya di bawah naungan (negara itu). Oleh karena itu tujuan penciptaan suatu negara adalah untuk memelihara dan memaksakan hukum dan ketertiban dalam masyarakat demi kepentingan hidup kolektif manusia itu sendiri.

Dalam pandangan Marxis sebagaimana yang dirumuskan Lenin sebaliknya mengatakan bahwa negara adalah buah dari manifestasi dari antagonisme kelas yang tidak dapat didamaikan. Kemudian Lenin mengatakan menurut Marx, negara adalah suatu organ penguasaan kelas, suatu organ pemerasan satu terhadap yang lain, tujuannya ialah penciptaan ketertiban yang membenarkan secara hukum dan melangsungkan pemerasan ini dengan cara melunakkan tantangan antar kelas–kelas itu. Teori ini menginginkan penghapusan negara dan bertujuan menciptakan suatu masyarakat tanpa negara sebagai tingkat akhir dari revolusi komunis. Bila dilihat dari sudut pandang seorang muslim tentang tujuan penciptaan suatu negara, maka akan diperoleh gambaran, yaitu bahwa suatu Negara Islam adalah untuk memelihara keamanan dan integritas negara, menjaga hukum dan ketertiban, dan untuk memajukan negeri hingga setiap individu dalam negeri itu dapat merealisasikan seluruh potensinya sambil memberikan sumbangan bagi kesejahteraan semua. Berbeda dengan pandangan Marxis, dalam sebuah Negara Islam yang sebenarnya, teori antagonisme kelas, dominasi kelas, dan teori tentang eksploitasi satu kelompok oleh kelompok yang lain. Sama sekali tidak dapat dibayangkan karena hal itu akan menghancurkan prinsip–prinsip dan perintah–perintah moral Al-Qur’an mengenai suatu tata tertib sosial dinamis yang etis. Segala bentuk dominasi dan eksploitasi tidak dapat dibenarkan secara etis tetapi harus dikutuk secara keras dan dikikis habis dengan radikal, karena semua itu berlawanan dengan prinsip kemuliaan manusia.

Setelah disandingkan dengan Islam yaitu menjadi Negara Islam, kedua kata ini sangat populis dan membuat interpretasi–interpretasi tersendiri oleh para ahli. Baik oleh pemikir Islam besar dunia seperti Abu ‘Ala Al-Maududi, Muhammad Assad, Jamaluddin Al-Afghani, Ayatullah Khomeini, dan lainnya. Dalam konteks perkembangan sejarah Indonesia, mulai dari prakemerdekaan sampai pasca kemerdekaan istilah Negara Islam muncul dan bahkan menjadi perdebatan sengit diantara para Founding Father dalam merumuskan dasar negara Indonesia. Ada banyak tokoh intelektual Islam yang vokal menawarkan sebuah konsep Negara Islam dalam perpolitikan di tanah air (dengan cara konstitusional). Diantaranya ada M. Natsir, seorang tokoh Islam yang juga mantan Perdana Menteri di era Soekarno dan seorang pendiri Masyumi, kedua ada Zainal Abidin Achmad yang juga tokoh-tokoh sentral dalam Masyumi. Definisi Negara Islam menurut para tokoh nasional dan internasional Islam, diantaranya :

  1. Surjopranoto, seorang pemimpin Sarekat Islam (SI) membuat pengertian sederhana tentang konsep Negara Islam yaitu suatu pemerintahan Islam.
  2. Dr. Sukiman Wirjosanjoyo, seorang mantan Perdana Menteri di era Soekarno dan juga tokoh Sarekat Islam (SI) mendefinisikan Negara Islam adalah suatu kekuasaan Islam di bawah benderanya sendiri. Untuk menciptakan suatu kekuasaan Islam di Indonesia, menurut Sukiman merupakan tujuan kemerdekaan.
  3. Zainal Abidin Achmad, seorang tokoh Masyumi juga memberikan konsep Negara Islam, menurutnya dalam suatu Negara Islam, rakyat mempunyai dua hak konstitusional, yaitu : a. Hak untuk membuat konstitusi, b. Hak untuk memilih kepala negara. Jadi menurut Achmad, kedaulatan tertinggi dalam suatu Negara Islam adalah sepenuhnya berada di tangan rakyat. Achmad tidak membela Teori Kedaulatan Tuhan seperti Ayatullah Khomeiny di Iran
  4. M. Natsir, merupakan tokoh pendiri Masyumi yang sangat gigih dan vocal untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara. Dalam pidatonya berjudul Islam sebagai Dasar Negara, di depan sidang Majelis Konstituante tahun 1957, Natsir mengatakan (berdalil) untuk dasar negara Indonesia hanya punya dua pilihan yaitu sekularisme (la-diniyah) dan paham agama (dini). Untuk lebih jelas mengenai tokoh ini dan pemikirannya mengenai Negara Islam akan di bahas pada bagian selanjutnya, sebab pemikiran Natsir akan menjadi tema dan fokus dalam penelitian ini.
  5. Muhammad Asad, teori Muhammad Asad mengenai Negara Islam banyak persamaannya dengan tokoh Islam modernis Indonesia. Asad mengambil Pakistan sebagai basis empiris bagi perumusan teori politiknya. Bagi Asad, yang sebelum memeluk Islam bernama, Leopold Weiss, suatu negara dapat menjadi benar-benar islami hanyalah dengan keharusan pelaksanaan yang sadar dari ajaran Islam terhadap kehidupan bangsa dan dengan jalan menyatukan ajaran-ajaran itu ke dalam undang-undang. Menurut kerangka berpikirnya suatu negara yang dihuni oleh mayoritas Islam seperti halnya Indonesia tidak otomatis menjadi suatu negara Islam kecuali bila ajaran Islam tentang sosiopolitik dilaksanakan dalam kehidupn rakyat berdasarkan konstitusi. Inilah tema sentral dari Teori Politik Asad. Dalam penolakannya terhadap bentuk negara sekuler Asad berdalil, dalam suatu negara sekuler modern, tidak ada norma yang tetap yang dapat dipakai untuk menimbang yang baik dan buruk dan antara betul dengan yang salah. Satu-satunya kriteria yang mungkin ialah kepentingan bangsa. Dalam suatu Negara Islam menurut Asad nilai-nilai moral tidak berubah dari satu kasus ke kasus lain atau dari waktu ke waktu, tetapi validitasnya tetap bertahan buat seluruh waktu dan kondisi. Fungsi suatu Negara Islam hanyalah sebagai sarana untuk memaksakan nilai-nilai moral Islam dalam kehidupan sosiopolitik umat. Pendapatnya tidak berbeda dengan Ibnu Taymiyah, Fazlur Rahman dan M. Natsir. Mengenai kedaulatan negara, Asad menempuh jalan tengah antara kubu Maududi-Khomeini dan golongan modernis. Pada satu pihak ia membela dan mempertahankan hak-hak rakyat untuk memerintah namun pada sisi lain. Negara Islam menurut Asad yang eksistensinya bergantung pada kemauan rakyat dan ia berhak dikontrol olehnya, mendapatkan kedaulatan pada akhirnya dari Tuhan. Tetapi sebenarnya apa yang dimaksudkannya dengan kedaulatan Tuhan itu tidak lain dari kedaulatan syariah atas seluruh warga negara suatu Negara Islam.
  6. Suha Taji-Farouki (1996) dalam artikelnya yang berjudul “Islamic State Theories and Contemporary Realities” menyebutkan bahwa ada dua jenis teori tentang Negara Islam. Walaupun kedua teori itu tidak satu kata dalam hal apakah negara merupakan bagian penting dan integral dari syariat atau hanya sekedar merupakan alat merealisasikan syariat. Dua-duanya sama-sama menekankan signifikansi posisi syariat dalam negara. Sebab bagi kedua teori tersebut, penerapan syariat merupakan komponen primer Negara Islam.
  7. Rashid Rida, seorang ulama terkemuka di awal abad ke-20, yang dianggap paling bertanggung jawab dalam merumuskan konsep Negara Islam modern, menyatakan bahwa premis pokok dari konsep Negara Islam adalah bahwa syariat merupakan sumber hukum tertinggi. Dalam pandangannya, syariat mesti membutuhkan bantuan kekuasaan untuk tujuan implementasinya, dan adalah mustahil untuk menerapkan hukum Islam tanpa kehadiran Negara Islam. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penerapan hukum Islam merupakan satu-satunya kriteria utama yang amat menentukan (the single most decisive criterion) untuk membedakan antara suatu negara Islam dengan negara non-Islam.

Konsep Negara Islam Menurut Muhammad Natsir

Muhammad Natsir adalah seorang tokoh Islam yang lahir di Alahan Panjang, Solok, Sumatera Barat, pada tanggal 17 Juli 1908. Sebagai lkai-laki Minangkabau dia bergelar Datuk Sinaro Panjang. Beliau adalah seorang ulama, politikus dan cendekiawan muslim yang terkenal di zamannya. M. Natsir pernah dipercaya oleh Presiden Soekarno untuk memimpin kabinet, beliau merupakan Ketua Umum Masyumi (Partai Islam). Natsir telah berjasa menyatukan Negara Republik Indonesia dari RIS menjadi NKRI. Atas peran dan jasanya itu, Natsir menjadi Perdana Menteri pertama dalam sistem Demokrasi Parlementer.

Bagaimana pandangan Natsir tentang agama dan Negara? Natsir di dalam berbagai karya seperti bukunya yang berjudul Agama dan Negara, Natsir telah mencoba membahas masalah penting ini. Kemudian dalam sidang Majelis Konstituante pada tahun 1957, Natsir mempertegas kembali dan menjelaskan lebih lanjut pendiriannya tentang hubungan Islam dan negara di Indonesia dimana umat Islam merupakan pemeluk mayoritas. Dalam pidatonya berjudul Islam sebagai dasar Negara, Natsir berdalil bahwa untuk dasar negara, Indonesia hanya mempunyai dua pilihan, yaitu sekularisme (la diniyyah) dan paham agama (dini). Pancasila menurut pendapatnya bercorak la diniyyah karena itu ia sekuler tidak mau mengakui wahyu sebagai sumbernya. Pancasila sebagai hasil penggalian masyarakat. Mengenai Negara sebagai institusi, Natsir hanyalah mengikuti pendapat–pendapat tentang persyaratan negara modern. Jadi negara harus memiliki :

  1. Wilayah
  2. Rakyat
  3. Pemerintah
  4. Kedaulatan
  5. Konstitusi atau sumber hukum dan kekuasaan lain yang tak tertulis.

Bila masyarakat dibandingkan negara, Natsir mengikuti Ibnu Khaldun yaitu bahwa di antara keduanya seperti hubungan antara benda dan bentuknya, yang satu pada yang lain. Oleh karena itu , kata Natsir negara itu harus mempunyai akar yang langsung tertanam dalam masyarakat. Sesuai dengan garis argumen yang diajukannya, Natsir mengajak orang untuk melihat bahwa Islam sebagai agama anutan mayoritas rakyat Indonesia cukup punya akar dalam masyarakat dan karena itu punya alasan yang kuat untuk dijadikan dasar negara. Alasan lain mengapa partai-partai Islam, mengusulkan Islam sebagai dasar negara menurut Natsir ialah bahwa ajaran Islam mempunyai sifat–sifat sempurna bagi kehidupan negara dan masyarakat dan dapat menjamin keragaman hidup antar berbagai golongan dalam negara dengan penuh toleransi. Ini punya implikasi bahwa kelompok agama minoritas tidak punya alasan untuk takut pada Islam sebagai dasar negara.

Mengupas masalah hubungan Islam dan negara, Natsir mendasarkan uraiannya kepada ayat AL –Qur’an : “Dan kami tidak jadikan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah Aku (Al-Hujurat 56). Dari ayat ini Natsir mengembangkan teorinya dengan mengatakan : “Seorang Islam hidup di atas dunia ini dengan cita-cita kehidupan supaya menjadi hamba Allah dengan artian yang sepenuhnya, yakni hamba Allah yang mencapai kejayaan di dunia dan kemenangan di akhirat”. Dunia dan akhirat ini sama sekali bagi kaum Muslim tidak mungkin dipisahkan dari ideologi mereka. Selanjutkan didalilkan bahwa negara sebagai kekuatan dunia merupakan suatu yang mutlak bagi Al-Qur’an, sebab hanya dengan itulah aturan-aturan dan ajaran-ajarannya dapat dilaksanakan dalam kehidupan nyata. Bagi pemimpin modernis ini. Negara adalah alat bagi Islam untuk melaksanakan hukum-hukum Allah demi keselamatn dan kesentosaan manusia. Sebagi alat adanya negar bersifat mutlak, karena natsir membela prinsip persatuan agama dan negara. Inilah alasan Natsir untuk membuat sebuah konsep Negara Islam.

Kemudian mengenai gelar kepala negara, apakah harus memakai nama khalifah sebagaimana yang diwajibkan oleh teori klasik dalam literatur Islam? Dalam hal ini Natsir melampaui seorang Rasyid Ridha (ulama klasik Islam) yang masih mewajibkan keturunan Quraisy untuk menjadi khalifah. Mengenai gelar seorang kepala negara bagi Natsir, Khalifah, Amirul Mukminin atau Presiden tidak menjadi persoalan. Semua gelar bias saja dipakai asalkan sifat-sifat, hak dan kewajibannya adalah sebagaimana yang telah diatur dan dikehendaki Islam. Dalam menangani dan mengatur masalah-masalah sosial politik umat, diantara prinsip penting ysng harus diikuti dan dihormati menurut Natsir adalah prinsip syura. Tentang bagaimana mengembangkan  dan menyesuaikan mekanisme syura, semuanya tergantung pada ijtihad umat Islam, karena Islam tidak menetapkannya secara kaku dan pasti. Natsir adalah seorang demkrat yang gigih sekalipun tidak selalu senang dengan praktek-praktek sistem demokrasi barat. Menurut Natsir demokrasi bagus, akan tetapi sistem kenegaraan Islam tidak menggantungkan semua urusan kepada kerahiman instelling-instelling demokrasi kata Natsir. Beliau berdalil bahwa Islam tampaknya adalah sintesa antara demokrasi dan otokrasi atau sistem politik diktatorial.

Teori Natsir tentang sintesa di atas berasal dari interpretasinya tentang konsep kedaulatan politik suatu negara. Pendapatnya hampir sejalan dengan seorang tokoh Islam yang nempunyai konsep Negara Islam juga yaitu Abu A’la Al-Maududi dalam Konsep Kedaulatan Tuhan (The Soveregnity of God). Dalam pidatonya di depan Majelis Konstiuante dengan tegas Natsir mengemukakan adapun state philosophy atau dasar negara yang akan dirumuskan apabila tidak berpusat dan mendapat nuckleus di dalam Kedaulatan Tuhan yang Mutlak, perumusan itu akan merupakan rangkaian butir-butir pasir yang kering yang tidak mengandung kekuatan apapun juga. Namun Natsir tidak pernah berpendapat bahwa demokrasi modern adalah sesuatu yang bersifat syirik, sebagimana diteorikan Al-Maududi pada 1940. Mengenai hubungan demokrasi dengan umat Islam, Natsir pernah mengatakan sejauh menyangkut umat Islam, demokrasi adalah hal yang pertama sebab Islam hanyalah mungkin berhasil dalam suatu sistem demokratis.

Konsep sebuah Negara Islam bagi M. Natsir adalah suatu cita-sita, “something yet to be achieved and still very far removed from the reality of the present”. Tidak saja di Indonesia tapi juga di seluruh negeri Islam. Pemikiran Mohammad Natsir tentang Negara Islam menjadi kontroversial karena hasil interaksi Mohammad Natsir dengan lingkungan sosio-historis yang melingkupi kehidupannya. Sementara itu dalam konsep Negara Islam, Natsir berpendapat bahwa suatu negara akan bersifat Islam bukan karena secara formal disebut Negara Islam ataupun berdasarkan Islam, tapi negara disusun sesuai dengan ajaran-ajaran Islam baik dalam teori maupun praktiknya sehingga bagi Natsir negara berfungsi sebagai alat atau perkakas bagi berlakunya hukum Islam.

Dengan demikian Islam menjadi tujuan dan negara adalah alat untuk mewujudkan ajaran Islam. Namun pandangan Natsir ini ternyata sangat kontradiktif dengan sikap Natsir yang bersikeras menjadikan Islam sebagai dasar negara. Natsir berkeyakinan, negara sebagai kekuatan eksekutif mempunyai kekuatan dan kekuasaan untuk menjalankan hukum-hukum dan menjamin terbentuknya masyarakat yang adil dan makmur sesuai dengan yang dicita-citakan Islam. Di sini negara berfungsi sebagai alat untuk menerapkan hukum-hukum yang telah ada. Tanpa adanya negara sulit diharapkan adanya ketaatan pada hukum-hukum itu. Dengan demikian pendekatan Natsir terhadap pelaksanaan syariat atau hukum-hukum Islam dalam masyarakat menekankan pada pendekatan legal formal. Artinya ia menganggap perlu adanya kekuasaan pemaksa yang sah dan diakui keberadaannya yang diperlukan untuk, dalam batas-batas tertentu, memaksa individu untuk patuh dan taat pada hukum-hukum yang telah ditetapkan.

DAFTAR PUSTAKA

Effendy, Bahtiar, Repolitisasi Islam, Pernahkah Islam Berhenti Berpolitik?, Bandung : Mizan, 2000

Harjono. Dkk, Anwar, Pemikiran dan  Perjuangan Mohamad Natsir, Jakarta : Pustaka Firdaus, 2001

Kaelan,  Pendidikan Pancasila,Yogyakarta : ParadigmaYogyakrta,  edisi Reformasi 2004

Maarif, A. Syafii, Islam  dan Pancasila Sebagai Dasar Negara, Studi tentang Perdebatan  dalam Konstituante, Jakarta : LP3ES, 2006

Suhelmi, Ahmad, Polemik Negara Islam, Soekarno vs M. Natsir, Jakarta :Teraju (PT. Mizan Publik), 2005

Thaha, Idris, Demokrasi Religius, Pemikiran Politik Nurcholish Madjid dan M. Amien Rais, Jakarta : Teraju (PT. Mizan  Publik), 2005

Tidak Ada  Negara Islam, Surat-surat Politik Nurcholish Madjid-Mohamad Roem, Jakarta : Djambatan, 1997

Soehino, Ilmu Negara, Yogyakarta : Liberty Yogyakarta, 2001

Sumber-sumber lainnya :

www.irm.or.id

www.marxist.com

www.pbb-online.org

www.wikipedia.org


[1] Penulis adalah Guru SMA Labschool Jakarta dan Aktif di Pusat Kajian dan Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial (PKPIS) UNJ.

Membaca Teks Gus Dur[1] Oleh Satriwan[2]

Standar

Narasi tahun 2009 berakhir klimaks di saat wafatnya Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang mengejutkan segenap komponen bangsa dan dunia internasional. Sebagai salah seorang mantan presiden, kepergian Gus Dur dijadikan sebagai hari bekabung nasional oleh pemerintah, sebagai bentuk penghormatan terhadap jasa-jasanya untuk bangsa dan negara. Tak berhenti pada berkabung selama tujuh hari saja, tetapi kepergian Gus Dur meninggalkan banyak cerita baik yang terkait dengan sikap politik beliau, kisah humor, kegaiban di seputar Gus Dur –meminjam istilah Mahfud MD-, pemikiran keislaman dan pluralismenya yang terangkum dalam istilah berebut wasiat Gus Dur. Personalitas Gus Dur sebagai objek telaah yang bisa diambil dari multidimensi, mengakibatkan banyak juga interpretasi terhadap personal Gus Dur itu sendiri sebagai objek telaah. Menjadi lebih menarik untuk diperbincangkan karena individu yang satu ini menjadi tokoh kontroversial yang terbaca dari pemikiran, perspektif dan sikap selama hidup sampai akhir hayatnya. Bahkan telaah yang bersifat biografis almarhum ini dituangkan oleh Greg Berton. Magnet seorang Gus Dur mampu menarik subjek material-material tertentu untuk kembali membacanya, dalam rangka pemenuhan keingintahuan tentang objek telaah tersebut (personal Gus Dur).

Meminjam istilah Ulil Abshar Abdalla, salah seorang murid Gus Dur bahwa Gus Dur seperti teks yang terbuka. Ketika dicoba untuk dielaborasi lebih kompleks mengenai Gus Dur (teks yang terbuka) tentu akan memiliki konsekuensi logis. Karena sebuah teks memang benar akan berdiri sendiri sebagai sebuah teks. Tetapi teks tersebut akan hidup dan mempunyai daya resonansi keluar jika ada upaya penelaahan (interpretasi) terhadap teks tersebut. Sebagai sebuah teks terbuka menjadi sangat mungkin penelaah yang mencoba melakukan interpretasi juga berasal dari ragam latar belakang. Tak dibatasi oleh primordial tertentu, lintas kalangan, golongan, agama bahkan internasional. Karena prakondisinya adalah Gus Dur sebagai teks terbuka. Maka akan terbuka juga telaah atau interpretasi, lebih mudahnya disebut saja dengan membaca teks Gus Dur. Upaya personal bahkan kolektif mengerahkan daya intelektualitas untuk membaca Gus Dur sebagai teks membutuhkan kompleksitas pengetahuan, sebab teks yang sekarang dibaca adalah bukan monoteks yang abstrak. Monoteks di sini yaitu teks tersebut tidak bersifat monoton, pasif, tak bersinggungan dengan realitas sosial historis yang majemuk, terlepas dari dimensi-dimensi yang menyertainya atau teks yang diam. Gus Dur merupakan sebuah rangkaian teks hidup yang bergerak seiring perjalanan waktu dan senantiasa bersentuhan dengan realita sosia historis yang majemuk. Narasi biografis beliau yang melintasi berbagai realita, pergulatan intelektual, otoritarianisme rezim, kultur Jawa, tradisionalis Islam, era globalisasi, sebagai penguasa, aktivis demokrasi termasuk keturunan darah biru. Kompleksitas seorang Gus Dur tidak berdiri sendiri dan konstan bergerak pada titik yang sama. Latar belakang atau kondisi sosial yang mempengaruhi pemikiran, perspektif dan sikap Gus Dur tersebut mutlak dipahami agar mampu membaca teks Gus Dur secar utuh.

Uraian lebih jauh dalam membaca Gus Dur bagi penafsir-penafsir teks Gus Dur mesti bertemu dalam satu titik konvergensi yang bisa diterima oleh semua. Oleh karena itu sebagai bentuk interpretasi maka pembacaan terhadap Gus Dur memang tak lepas dari relativitas pembaca yang juga memiliki banyak pendekatan terhadap objek telaahnya. Sebagai teks dia tidak dimiliki atau didominasi oleh satu atau beberapa kelompok/orang penafsir saja. Tidak ada penafsir tunggal terhadap teks Gus Dur yang terbuka, walaupun penafsir tersebut mempunyai persinggungan ideologis, sebagai murid/santri bahkan keterkaitan biologispun tidak determinatif terhadap pembacaan teks Gus Dur. Pembacaan Gus Dur bukan monopoli satu atau beberapa kelompok, karena sebagai teks yang hidup justru akan menjadi lebih kerdil jika menafsirkan pemikiran Gus Dur hanya dari satu dimensi apalagi dengan pendekatan yang parsial. Meminjam istilah Syaiful Arif berbicara pemikiran Gus Dur, mengatakan bahwa para pembaca Gus Dur “berebut teks Gus Dur” sebagai bentuk pembacaan dari berbagai sisi. Ini semua adalah upaya intelektualitas dialogis dan tentunya berfaedah bagi pengembangan ide-ide Gus Dur, untuk kemudian diterjemahkan ke dalam praktik sosial masyarakat.

Titik konvergensi yang dimaksudkan yakni penterjemahan semua pemikiran dan perspektif Gus Dur sebagai seorang intelektual Islam, aktivis pro demokrasi, menghargai HAM dan pluralisme ke dalam suatu tindakan sosial yang terbuka. Akan menjadi lebih hidup dan bersinggungan dengan realita empiris jika penterjemahan itu bersifat kontekstual. Kontekstualitas menjadi prasyarat utama agar bahasa pemikiran tidak hanya berkutak-atik dalam kekuatan dunia ide seperti kata filsuf Plato. Maka pemikiran Gus Dur pun mesti dikontekstualisasikan, karena sebagai entitas relatif seorang Gus Dur pun tak lepas dari bahasa zaman yang bersentuhan dengannya. Dibutuhkan energi yang besar sepertinya untuk membaca kemudian menterjemahkan teks Gus Dur ke dalam ranah bahas zaman yang selalu berkembang. Para pembaca teks Gus Dur tentu akan berhadapan vis a vis dengan dialektika zaman itu sendiri. Tanpa mengurangi ta’zhim akan originalitas ide dan pemikiran Gus Dur tersebut yang sesuai dengan bahasa zamannya. Walaupun kendala yang banyak ditemukan adalah teks Gus Dur yang kadang-kadang “dianggap” tidak konsisten dalam berpikir dan bersikap. Namun bagi pembaca Gus Dur yang literal akan habis-habisan membantah jika sikap Gus Dur seperti itu bukan karena inkonsistensinya sebagai intelektual, tetapi karena para pembaca Gus Dur yang belum mampu membaca pemikirannya secara utuh dan holistik. Ini bentuk pembelaan konvensional bagi pembaca Gus Dur yang literal tersebut.

Jika kembali membaca sejarah setiap tokoh dari berbagai lintas komunitas, kepergian tokoh tersebut selalu diiringi oleh kontroversi apakah karena kematiannya atau wasiat peninggalan yang ditinggalkan. Beda hal mungkin bagi Gus Dur, jangankan kontroversi apa wasiatnya sebelum pergi, (untuk anak, saudara, partai, kawan seideologis, para murid dan pengagum), dikala beliau masih hiduppun seorang Gus Dur menjadi tokoh yang kontroversial. Perbedaan interpretasi tentang wasiat Gus Dur bagi PKB sebagai rumah ideologis-politis almarhum tetap saja terjadi antara anak dan keponakan. Namun inilah pembacaan politik, bukan pembacaan yang bersifat kultural yang sarat makna transenden dan filosofis. Pembacaan politik tetap saja dinilai sebagai upaya kekuasaan yang sarat mutan profanitasnya. Semua itu memang tidak ada kata berhenti untuk membaca dan menterjemahkan teks Gus Dur secara kontekstual. Tapi sekali lagi itulah teks Gus Dur yang sejatinya hanya Gus Dur dan Tuhanlah yang tahu dan memahami apa hakikat teks Gus Dur tersebut. Wallahu’alam Bisshowab


[1] Sebuah ikhtiar sederhana untuk membaca seorang Abdurrahman Wahid (Allahyarham).

[2] Penulis adalah Peneliti di Pusat Kajian dan Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial (PKPIS) UNJ.

QUO VADIS LPTK (SEBUAH BAHASA KRITIK UNTUK PROGRAM PPG)[1] Oleh Satriwan[2]

Standar

Lahirnya Permendiknas No. 8 Tahun 2009 tentang Program Pendidikan Guru Pra Jabatan (PPG) menorehkan narasi baru dalam dunia pendidikan nasional. Sebagai terjemahan legal-formal dari UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UU GD), regulasi baru ini diusahakan mampu mengimplementasikan kehendak hukum dari UU GD lebih khususnya tentang  guru. Profesi guru menjadi profesi yang menjanjikan secara ekonomi bagi masyarakat pendidikan Indonesia. Penilaian rendah terhadap profesi guru (menjadi guru), sebelum ada usaha pemerintah melalui UU GD, berubah drastis ketika profesi guru dijanjikan lebih baik dan dihargai. Apalagi pemerintah telah melaksanakan amanah konstitusi tentang hak pendidikan warga negara. Anggaran pendidikan yang wajib dialokasikan pemerintah baik pusat maupun daerah sebanyak 20% dari APBN dan APBD, menjadi titik terang untuk perbaikan pendidikan (khususnya bagi guru) ke depan. Realisasi anggaran pendidikan lebih lagi alokasi teruntuk guru melalui program tunjangan, gaji pokok, insentif dan lainnya diupayakan mampu meningkatkan kesejahteraannya. Bahkan ada beberapa daerah tingkat provinsi seperti DKI Jakarta atau kota yang memberikan anggaran lebih dari 20% untuk dunia pendidikan di daerahnya. Ini sebuah wajah optimis bagi pengembangan dunia pendidikan nasional. Guru menjadi tenaga pendidik yang profesional yang bertugas mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik. Kemudian persepsi awam masyarakat yang selama ini terbangun, didekonstruksi secara yuridis-kultural dengan lahirnya UU GD, PP No. 74 Tahun 2008 Tentang Guru dan Permendiknas No. 8 Tahun 2009 Tentang PPG. Konstruksi pandangan masyarakat berubah secara sosial-kultural, saat ini guru diberikan berbagai tunjangan (bahkan guru PNS), lebih diperhatikan pemerintah dan bahasa harapan lainnya. Dulu menjadi guru merupakan pekerjaan yang tak banyak diharapkan oleh para orang tua, bahkan dinilai rendah, tidak punya masa depan, penuh tantangan namun minim apresiasi pemerintah. Seperti dideskripsikan dalam lirik “Guru Umar Bakri, Iwan Fals”. Sekarang menjadi seorang guru merupakan pekerjaan yang tak dipandang sebelah mata, sedikit terangkat secara sosial.

Tapi bahasa normatif berbagai regulasi formal yang dikeluarkan pemerintah tentang guru tersebut, tidak berhenti pada bahasa legal saja. Wajib untuk diinterpretasikan oleh masyarakat pendidikan Indonesia, bagaimana sesungguhnya wajah asli pendidikan nasional khususnya berbagai kebijakan tentang guru. Jika dikatakan bahwa peningkatan kualitas guru menjadi harga mati, penulis sangat setuju. Sebab suatu profesi akan memiliki daya guna sosial yang utuh dan bermartabat jika ada prasyarat profesional. Profesionalisme menjadi harga mahal dan diupayakan untuk mencapai titik profesionalisme, jika ingin diberikan apresiasi oleh pemerintah termasuk masyarakat. Bahasa teks suatu peraturan perundang-undangan taklah diam saja dan akan menjadi lebih hidup jika diinterpretasikan oleh masyarakat secara terbuka dan heterogen. Terbuka bagi kritikan yang konstruktif, perdebatan sebagai evaluasi secara integral demi tujuan perbaikan-perbaikan dalam tahap implementasi. Syarat menjadi guru pofesional jelas secara eksplisit dalam PP No. 74 Tahun 2008 yaitu wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi akademik dan sertifikat pendidik. Untuk yang pertama masyarakat sudah paham, maksudnya calon guru pasti berasal dari universitas yang dulunya disebut IKIP dan FKIP. IKIP dan FKIP merupakan Lembaga Pendidik dan Tenaga Kependidikan (LPTK) yang pada awal 2009 mengkonversi dirinya menjadi universitas. Nama-nama kampus seperti UNJ, UNY, UNP, UPI, UNM, UM, Unimed merupakan beberapa contoh kampus yang menkonversikan dirinya menjadi universitas, sejajar dengan kampus lainnya yang sudah menjadi universitas, seperti UI, Unand, ITB, UGM, Unhas. Perubahan tersebut membawa dampak sosial kultural bahkan manajemen bagi masyarakat kampus LPTK dalam menjalani visi kependidikan. Banyak lahir jurusan-jurusan murni dan non-kependidikan di kampus LPTK, disamping keberadaan jurusan pendidikan sebagai karakter utama LPTK. Calon mahasiswa disuguhkan pilihan untuk memilih jurusan murni atau pendidikan di satu kampus LPTK. Memang menjadi lebih opsional dan menarik dalam konteks seleksi masuk perguruan tinggi.

PP No. 74/2008 tersebut kemudian melahirkan berbagai kebijakan teknis bagi guru seperti program sertifikasi dalam jabatan (PP No. 10 Tahun 2009). Program ini tidak lantas membuat para guru profesional, bahkan dalam praktiknya tidak sedikit terjadi penyelewengan dalam pelaksanaan program sertifikasi dalam jabatan ini. Guru-guru harus memenuhi uji kompetensi untuk mendapatkan sertifikat pendidik. Uji kompetensi tersebut dilakukan dengan format penilaian portofolio (pasal 12 ayat 3 PP tentang Guru). Terdapat 10 kriteria penilaian yang mesti dipenuhi oleh guru kemudian dinilai secara tertutup oleh asesor (terdiri dari dosen LPTK). Beberapa hal yang juga patut dicermati dari program ini adalah, pertama secara psikologis seorang guru dihadapkan kepada berbagai persyaratan teknis, seperti mengumpulkan sertifikat yang dinilai dengan bobot tertentu bahkan banyak yang berusaha berlomba-lomba mencari sertifikat atau membuat sertifikat palsu. Kedua dari sisi LPTK bagi para asesor mereka seakan-akan mendapatkan proyek baru yaitu satu berkas portofolio yang dinilai sejumlah uang. Bahkan di antara asesor dan guru terjadi trnasaksi tersendiri agar mereka diluluskan. Ketika para guru tersebut tidak lulus sertifikasi, mereka mesti mengikuti program pelatihan yang penyelenggaraannyapun terkesan formalitas belaka. Satu hal yang sangat pelik adalah orientasi para guru yang berpersepsi bahwa jika lulus sertifikasi maka akan mendapatkan tunjangan yang lebih. Iming-iming nominal inilah yang lagi-lagi membuat orientasi pendidikan kita menjadi lebih materialis.

Sertifikasi dalam jabatan belum selesai diperdebatkan baik dalam tataran konseptual maupun praktis, pemerintah mengeluarkan Permendiknas No. 8 Tahun 2009 tentang Program Pendidikan Pofesi Guru Pra Jabatan (PPG). Menarik untuk dielaborasi lebih jauh yaitu program ini menjadi batu kerikil baru ditengah kontroversial seritikasi dan eksistensi LPTK. Bebarapa poin penting yang vital dan mesti dibahas dalam konteks ini adalah, pertama PPG merupakan program yang memberikan pintu lebar dengan bangunan logika kesetaraan. Maksudnya adalah seorang guru harus mengikuti PPG selama 1 tahun jika ingin menjadi guru. Latar belakang pendidikan formalnya tidak dipedulikan apakah berlatar kampus LPTK atau kampus non-LPTK. Gelar akademik sarjana pendidikan berposisi sejajar dengan gelar sarjana murni lain (sarjana hukum, ilmu politik, ekonomi, matematika murni dan lainnya). Jika sebelumnya kampus LPTK mempunyai out put calon guru bahkan otomatis menjadi guru, tapi pasca regulasi baru ini gelar sarjana non kependidikan bisa menjadi guru dengan hanya mengikuti kuliah satu tahun (sama dengan sarjana pendidikan yang ingin jadi guru), dengan bobot 36-40 SKS. Menjadi persoalan mendasar adalah bagaimana proses pembelajaran di kampus LPTK selama empat tahun lebih dan memperoleh gelar sarjana pendidikan. Menjadi percuma jika proses sosial-pedagogis selama itu kemudian disetarakan dengan kampus murni/gelar sarjana murni. Baik out put LPTK maupun kampus murni sama-sama dibebankan bobot SKS dan beberapa pendalaman materi. Pertama adalah matrikulasi yaitu sejumlah mata kuliah yang wajib diikuti peserta PPG yang dinyatakan lulus seleksi untuk memenuhi kompetensi akademik sebelum mengikuti PPG. Kedua adalah subject enrichment yaitu mata kuliah pemantapan bidang studi. Jika latar belakangnya adalah sarjana ilmu politik dan ingin menjadi guru pendidikan kewarganegaraan (PKn), maka diberikan pemantapan materi PKn, dst. Ketiga yaitu subject specific pedagogy adalah mata kuliah pengemasan materi bidang studi menjadi perangkat pembelajaran yang komprehensif. Secara praktis mata kuliah dasar kependidikan, perncanaan pembelajaran, interaksi belajar-mengajar, evaluasi diberikan pada program ini, tidak lagi diberikan pada waktu menempuh gelar kesarjanaan S1. Keempat yaitu praktek pendidikan lapangan (PPL) nantipun akan dilaksanakan ketika kuliah PPG, tidak lagi pada semester 7 (minimal telah memenuhi 120 SKS). Jadi baik sarjana kependidikan maupun non kependidikan dituntut bobot pembelajaran yang sama (equal). Jangan harap bagi gelar S.Pd secara terbuka bisa menjadi notaris, pengacara, akuntan walaupun masing-masing profesi tersebut juga memiliki program keahlian yang mesti diikuti, layaknya PPG. Namun tetap saja tertutup bagi S.Pd dan terbuka bagi gelar non kependidikan untuk menjadi guru. Di sinlah letak ketidakadilan sistemik yang dibuat oleh pemerintah khsusnya bagi LPTK itu sendiri.

Kedua adalah PPG ini menjadi cambukan bahkan sebagai bukti ketidakpercayaan (distrust) dari pemerintah terhadap kampus LPTK. Terjadi paradoksal sikap maksudnya adalah di satu sisi LPTK dianggap sebagai kampus yang basis sosial-pedagogisnya kuat, dengan out put sarjana pendidikan (S.Pd). Di lain hal pemerintah tidak percaya lagi, bahwa tidak serta merta gelar S.Pd akan menjadi guru, karena harus terlebih dahulu mengikuti PPG selama satu tahun. Ini bentuk pelecehan terhadap kampus LPTK. Bagaimana eksistensi LPTK jika out putnya juga harus bersaing secara terbuka dengan kampus murni, tapi sama-sama ingin menjadi tenaga guru. Ini merupakan pembunuhan secara perlahan terhadap eksistensi kampus LPTK, secara ekstrim penulis mengatakan bahwa pada prinsipnya kampus LPTK telah dikebiri oleh pemerintah. Boleh saja pendapat ini dilontarkan sebagai refleksi diri secara internal bagi stakehorlders LPTK. Bagaimana evaluasi komprehensif terhadap kualitas out put LPTK? Yang menjadi alasan pemerintah tentu selama ini LPTK telah mengeluarkan jutaan guru yang menentukan kualitas pendidikan nasional, tapi bagaimana realita dunia pendidikan sekarang? Inilah yang perlu dikaji ulang bahkan jadi kontemplasi pedagogis masyarakat LPTK. Masyarakat LPTK mesti mengevaluasi total terhadap manajemen internal, kualitas pembelajarn, kualitas sumber daya manusia, infrastruktur sampai kepada kualitas S.Pd yang dikeluarkan. Semuanya itu dipetakan secara nasional dan menjadi bahan kajian bersama untuk memperbaiki kualitas LPTK agar tetap ada dan hidup.

PPG ini telah menggoreskan narasi baru para guru dalam memproses dirinya menjadi tenaga profesional sesuai undang-undang. Seiring regulasi ini menjadi sebuah pijakan hukum tetap, maka kampus-kampus LPTK pun berbondong-bondong untuk mengajukan pembukaan program PPG di setiap program studinya masing-masing. Dengan alasan kemanusiaan, yang menjadi prioritas untuk mengikuti PPG ini adalah lulusan program studi tersebut. Sudah jelas ini bentuk ketidakpercayaan pemerintah kepada LPTK, tetapi LPTK juga diminta (bahkan mengajukan diri) untuk menjalankan program ini di kampusnya masing-masing.

Memang tidaklah bijak jika menyalahkan pemerintah tanpa bukti yang jelas mengenai pelaksanaan pendidikan nasional. Tapi semua itu terbantahkan oleh keputusan Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi. MA berpendapat bahwa pemerinah (Mendiknas) masih lalai dalam pemenuhan hak-hak pendidikan anak, kualitas guru, infrastruktur pendidikan yang masih dinilai minim dan belum terpenuhinya akses informasi pendidikan. Keputusan MA ini menjadi kuat bahkan tetap untuk menjadi evaluasi fundamental dan holistik terhadap kualitas pendidikan, khususnya berbagai kualitas regulasi tentang guru. Menjadi catatan korektif bagi msyarakat LPTK untuk melakukan pembenahan struktural dan kultural, baik secara internal maupun eksternal. Tak kalah penting juga pemerintah mesti mempunyai politik pendidikan yang mampu membaca realita sosial dan adil terhadap berbagai instansi pelaksana. Perlu adanya grand design perencanaan khususnya bagi para guru agar kualitas dan profesionalismenya meningkat, namun tidak mengurangi rasa keadilan, berbasis process oriented dan tetap dalam bingkai filosofis-pedagogis pendidikan. Pemerintah sepertinya harus membaca ulang filosofisme pendidikan dan hakikat guru. Tulisan sederhana ini menjadi koreksi bersama masyarakat LPTK, guru dan pemerintah untuk melakukan telaah ktitis, terhadap setiap regulasi yang telah menyimpang dari filosofisme pendidikan nasional.


[1] Tulisan Ini Dimuat Di Majalah Pendidikan GOCARA Edisi Desember 2009.

[2] Penulis adalah Guru SMA Labschool Jakarta dan Peneliti di Pusat Kajian

dan Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial (PKPIS) UNJ.