Category Archives: Politik dan Kenegaraan

Guru Dan Desakralisasi Impeachment[1] Oleh Satriwan

Standar

Dalam sebuah kelas Kewarganegaraan seorang siswa kelas XI SMA bertanya kepada saya mengenai impeachment. “Pak, impeachment itu apa sih? emangnya Pak SBY dan Boediono bisa diimpeach? Sebagai seorang pendidik tentunya saya harus memberikan jawaban yang rasional berdasarkan legitimasi konstitusi Indonesia. Tapi sebelum saya memberikan jawaban sambil membuka lagi UUD 1945, lantas ada siswa lain yang melontarkan pertanyaan lagi. “Apa sih kaitannya antara Bank Century dengan impeachment itu, Pak?” Saya terkejut medengar pertanyaan para siswa saya ini. Mereka ternyata juga menyimak perkembangan dan dinamika politik yang akhir-akhir ini menunjukkan daya vibrasinya ke publik nasional dan internasional. Kasus Bank Century, evaluasi 100 hari kinerja SBY-Boediono dan kontrak ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA), sanggup menyita atensi publik disamping cerita-cerita klasik lainnya yang tak juga kunjung tuntas. Energi para elit politik dihabiskan untuk berlomba memberikan komentar, terhadap kasus Bank Century dan evaluasi 100 hari SBY-Boediono. Walaupun nurani rakyat mengatakan dengan jujur bahwa masyarakat tidak butuh komentar lagi sekarang, tetapi kerja nyata yang terbebas dari kepentingan sekelompok elit partai tertentu saja. Rasa keadilan masyarakat menjadi nukleus yang tidak hanya membuat pandangan negatif, ketika pemerintah memberikan mobil mewah seharga 1,3 miliar kepada para pejabat negara. Nurani publik secara ril sudah terkoyak-koyak saat ini, di saat disuguhi berita tentang adanya privatisasi sel mewah bagi terpidana kelas atas (koruptor, pejabat, pengusaha dan lainnya), kelompok pengusaha kecil dan menengah yang siap-siap terpinggirkan di jurang tanahnya sendiri (karena ACFTA) dan saling tuding serta fitnah yang menambah kredit poin para pejabat dan elit di negara ini.

Kembali ke pertanyaan siswa SMA tadi, untuk yang pertama saya tidaklah sukar untuk memberikan jawaban yang jelas dan rasional. Istilah impeachment merupakan domain ilmu politik dan hukum tata negara, jika diindonesiakan akan menjadi pemakzulan. Saya menjelaskan kepada para siswa di kelas tersebut, bahwa impeachment/pemakzulan adalah tindakan yang dilakukan oleh anggota legislatif untuk melengserkan presiden dan/atau wakil presiden jika terbukti melakukan pelanggaran hukum sesuai dengan konstitusi. Kualifikasi pelanggaran hukum dalam konteks impeachment ini yaitu penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagi presiden dan/atau wakil presiden. Penjelasan secara eksplisit mengenai mekanisme impeachment ini terdapat dalam UUD 1945 Pasal 7A dan 7B (ayat 1-7). Memang tidak sederhana, jika sebagian kecil anggota DPR bahkan beberapa pengamat saat ini sudah mewacanakan impeachment untuk SBY-Boediono. Tampak paradoksal dengan kekuatan ekstra perlemen yang bisa kita lihat akhir-akhir ini. Demonstrasi berbagai kalangan, kelompok dan elemen masyarakat, baik buruh, pedagang kecil, petani, pekerja, mahasiswa sampai kepada kalangan akademisi kampus, bekas pejabat negara dan purnawirawan, sekuat tenaga telah meneriakkan impeachment bagi kedua pemimpin negara tersebut.

Sejarah politik bangsa ini telah merasakan bagaimana kekuatan ekstra perlementer atau parlemen jalanan mampu memberikan pressure kepada rezim yang berkuasa. Betapa kuatnya wacana untuk memakzulkan almarhum Gus Dur ketika ada indikasi terkait kasus Brunaigate dan Buloggate walaupun secara hukum belum terbukti sampai sekarang. Sinergisitas antara kekuatan besar parlemen dan ekstra parlemen (rakyat) mampu memberikan daya tekan (secara politis). Banyak juga pengamat yang mengatakan jika wacana impeachment akan sia-sia, karena selain tidak akan terrealisasi dukungan dari parlemen (mayoritas Partai Demokrat), lagipula cost politicnya sangat besar. Implikasi sosial dan politik termasuk perekonomian nasional akan terganggu dengan tindakan ini. Ketika Gus Dur diwacanakan dan akhirnya memang diimpeach, konflik horizontal (para pendukung Gus Dur) nyaris terjadi, ditambah lagi dendam historis oleh pendukung Gus Dur sampai sekarang bagi rival politiknya (walaupun Gus Dur sendiri sudah memaafkan, tetapi tidak bisa melupakannya). Keadaan politik nasional berdampak kepada perekonomian ini sudah jelas akan terjadi. Begitu juga pada tahun 1997-1998 bagaimana perekonomian nasional hancur, yang salah satu pemicunya adalah dinamika politik yang terjadi. Ini yang dikhawatirkan oleh sebagian pengamat bahkan oleh ”yang akan diimpeach” itu sendiri.

Lantas apakah wacana impeachment harus distop begitu saja sebagai sebuah wacana politik hukum? Tentu tidak, sebab semestinya masyarakat jangan takut atau alergi dengan istilah impeacment/pemakzulan (walaupun bagi rakyat kecil istilah ”aneh/asing” itu tak berpengaruh bagi mereka yang sedang sibuk mencari sesuap nasi), apalagi bagi SBY-Boediono. Toh jika memang tidak bersalah dan dibuktikan sesuai hukum dan konstitusi, maka nurani publik bahkan kekuatan the silent mayority yang selama ini diam, akan habis-habisan membela pemimpinnya yang nyata-nyata dizhalimi, bukan ”merasa” dizhalimi. Jadi tidak ada kata takut bagi yang sedang berkuasa dengan istilah impeachment, karena istilah tersebut ”halal” dan sesuai konstitusi. Sepanjang mengedepankan prinsip transparansi dan keadilan di atas segalanya, maka apapun wacana (politis) yang dikemukakan, tidak akan menyita perhatian bahkan energi pemerintah (SBY-Boediono) untuk membuang waktu menanggapinya. Jangan terjebak kepada perangkap wacana-wacana (politis), yang hal itu akan menghambat kerja pemerintah. Jawaban inilah yang saya sampaikan kepada para siswa sebagai pendidik. Merekapun serius mendengarkan sambil mengerutkan dahinya (apakah mengerti atau tidak?).

Untuk pertanyaan kedua, saya mencari kata-kata yang pas dan tidak cenderung emosional apalagi tendensius. Karena sekarang ini masyarakat Indonesia sangat mudah sekali untuk diprovokasi, menghilangkan rasionalitas dan kepala dingin dalam menanggapi isu-isu tertentu, apalagi ini terkait presiden/wapres. Terlihat jelas di saat sebagian (kecil) aksi demonstrasi yang sekarang (mulai) marak lagi di Jakarta dan daerah, jelas mempertontonkan aksi anarkisme bahkan brutal. Kadang-kadang ini juga yang mencoreng sebuah aksi moral yang bernama demonstrasi untuk dilabeling oleh pemerintah dan (sebagian) masyarakat. Sebelum menjelaskan secara sederhana tentu menggunakan bahasa dan psikologi siswa SMA, saya mencoba melakukan simplifikasi (walaupun saya sebenarnya tidak setuju dengan simplifikasi) karena saking kompleksnya jika berbicara kasus Bank Century. ”Tidak ada kaitan antara Bank Century dengan impeachment,” Lantas para siswapun kembali mengerutkan dahinya, mungkin di benak mereka terbesit pikiran bukannya media sekarang sedang in meliput perkembangan penyelidikan Kasus Bank Century. Kemudian saya melanjutkan bahwa kasus Bank Century adalah perkara hukum. Jikalau kebijakan pejabat-pejabat terkait pada waktu itu memberikan dana talangan (bailout) sebesar 6,7 triliyun jelas dan pasti melanggar hukum, maka wajib untuk dituntaskan (tentu) secara hukum. Nah, munculnya Pansus DPR untuk melakukan penyelidikan sendiri (di luar lembaga yudikatif) terhadap kebijakan pemerintah, hanya salah satu upaya politik yang dilegitimasi oleh undang-undang, disebut dengan hak angket. Hasil penyelidikan Pansus DPR ini kemudian menghasilkan rekomendasi dan sikap, apakah benar kebijakan tersebut melanggar undang-undang atau tidak.

Sebagai seorang pendidik, memang membutuhkan energi yang besar untuk menjadi ”media kultural” antara teori-teori yang siswa pelajari di buku dengan realita politik yang sepenuhnya tidak sederhana yang siswa pikirkan. Melanjutkan sedikit penjelasan sederhana tadi, jadi jika rekomendasi DPR itu menyangkut presiden dan/atau wapres ada indikasi (sesuai dengan fakta-fakta, bukti, saksi dan tentunya tanpa kepentingan politik tertentu), DPR melanjutkan usulan pemberhentian bagi presiden dan/atau wapres kepada MPR. Tapi dalam Pasal 7B ada prasyarat sebelum mengusulkan ke MPR, yakni terlebih dulu mengajukan permintaan kepada Makamah Konstitusi (MK) untuk memeriksa, mengadili dan memutus pendapat DPR bahwa (jika dianggap oleh DPR) presiden dan/atau wapres telah melakukan pelanggaran hukum (sesuai Pasal 7A). Pengajuan ke MK itupun harus disetujui minimal 2/3 anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna dan dihadiri minimal 2/3 dari jumlah anggota DPR. Jadi pendapat DPR (hasil Pansus) bukan merupakan keputusan final dalam (hal ini) hukum tata negara. Tak selesai di sini, MK wajib memberikan keputusan yang adil dan seadil-adilnya terhadap pendapat DPR tersebut. Jika isi putusan MK memperkuat pendapat DPR maka harus ditindaklanjuti oleh DPR dengan menggelar sidang paripurna untuk meneruskan usulan pemberhentian presiden dan/atau wapres kepada MPR. Barulah MPR menyelenggarakan sidang istimewa untuk memutuskan pemberhentian presiden dan/atau wapres. Keputusan tersebut diambil dalam sidang yang dihadiri minimal 3/4 jumlah anggota MPR dan disetujui minimal 2/3 jumlah anggota MPR yang hadir.

Selesai menjelaskan semua itu, para siswa makin mengerutkan dahinya. ”Kok ribet ya Pak?”. Ternyata sayapun tidak konsisten untuk memaparkan secara sederhana menggunakan bahasa dan psikologi mereka. Memang mengenai impeachment ini rakyat tidak diajak untuk menyederhanakan persoalan atau simplifikasi kasus. Karena mekanisme impeachmentpun sangat complicated untuk diuraikan, apalagi dilaksanakan secepat mungkin. Tapi jangan juga kita alergi dan merasa aneh bahkan takut dengan impeachment, karena presiden dan/atau wapres bukanlah malaikat dan konstitusi Indonesia memberikan ruang bagi dilakukannya impeachment. Akhirnya sejarah bangsa inipun akan membuktikan bahwa kebenaran itu memang tidak memihak, tapi berdiri independen di kedalaman hati dan pikiran kita. ”Terima kasih ya Pak atas penjelasannya, tapi politik itu memang tak pernah bisa diduga ya Pak,” Itulah ucapan siswa kelas XI SMA sebagai epilog pertemuan di kelas pada hari itu, sambil menduga-duga apa yang akan terjadi dalam politik Indonesia besok pagi.




[1] Tulisan ini dimuat di Majalah Pendidikan GOCARA, Edisi 15/III/Maret 2010

ANTI KORUPSI: SEBUAH NARASI USANG ?? Oleh SATRIWAN

Standar

Di penghujung tahun 2009 ini dinamika politik tanah air mengalami intensitas menanjak naik, di tengah pemerintah yang membereskan program 100 hari SBY-Boediono. Pekerjaan nasional pemerintah dengan program 100 hari tersebut diramaikan lagi oleh beragam cerita, baik menyangkut kasus hukum maupun cerita politik. Namun yang menjadi sorotan publik bahkan media internasional yaitu masalah skandal Bank Century, bermutasi menjadi bola panas untuk digelindingkan kemana saja, mencari target sasarannya. Dalam konteks kasus Bank Century sebagai sebuah kasus hukum yang mesti diusut secara tuntas, masyarakat luaspun sangat setuju terhadap upaya hukum untuk menuntaskannya. Berbicara Bank Century di penghujung tahun 2009 ini seolah-olah menjadi kado akhir tahun bagi penegak hukum di tanah air, juga menjadi goresan hitam narasi penegakkan hukum tanah air, yang akhir-akhir ini menorehkan cerita yang tak kunjung selesai. Angka 6,7 triliyun bukanlah nominal yang sedikit bagi rakyat Indonesia, karena bagi masyarakat kecil, jangankan melihat uang sejumlah itu untuk makan sehari-hari dan bersekolah saja sudah susah. Makanya kejahatan atas skandal Bank Century mesti diusut sampai ke akar-akarnya, agar prinsip keadilan dan kejujuran tetap hidup di tengah demokratisasi nasional Indonesia.

Seiring kasus tentang 2 pimpinan KPK yang sempat dijadikan tersangka oleh kepolisian, kemudian mengalami hari-hari yang panjang dan berliku, kasus Century inipun menyita energi publik secara transparan untuk memantaunya. Pada awal Desember 2009 kedua pimpinan KPK non aktif tersebut (Bibit dan Chandra) akhirnya menemukan titik klimaks cerita panjangnya, dengan aktif kembali sebagai pimpinan KPK. Masalah KPK ibarat sebuah tetralogi politik yang menyangkut semua lembaga penegak hukum nasional termasuk di dalamnya pemerintah. Walaupun belum terbukti secara yuridis-formal, adanya indikasi dari masyarakat luas terhadap upaya dari invisible power untuk melakukan pelemahan sistemik terhadap lembaga ini, namun tetap saja cerita KPK belum menandakan babak akhir. Cerita KPK sebenarnya masih meniggalkan misteri baik secara politik maupun hukum di Indonesia. Kisah misteri KPK mereda tetapi disambut oleh sebuah skandal keuangan yang juga sebenarnya sudah cukup lama menyita perhatian publik nasional. Bagaikan sebuah sinetron yang sarat dengan skenario dan penyutradaraan, berbagai peristiwa hukum tersebut mampu meningkatkan suhu jagad profanitas politik tanah air. Secara kasat mata tampak nyata bahwa baik kasus KPK maupun Bank Century adalah murni kasus hukum. Namun sebagian kalangan masyarakat melihat dan memaknai dengan sisi yang berbeda, ini bukanlah murni hukum tapi sarat dengan muatan politik.

Bahwa upaya pemberantasan korupsi merupakan ikhtiar kolektif nasional sebagai sebuah bangsa beradab, pasti semuanya setuju. Poin penting yang ingin diurai kemudian adalah apa sebenarnya yang terjadi dalam kisah pemberantasan korupsi di tanah air. Mata publik sekarang sudah mampu membaca secara utuh dan terang-benderang, skenario apa yang dibangun (sengaja dibuat), oleh orang/kelompok yang tak ingin melihat jihad kolektif nasional pemberantasan korupsi ini mengalami derajat peningkatan. Berbicara prestasi pemberantasan korupsi memang secara internasional Indeks Prestasi Korupsi tanah air mengalami kenaikan nilai, yang pada 2004 adalah 2,00 naik 0,8 poin menjadi 2,8 poin pada 2009 menurut Transparency International. Tapi ini sekedar angka-angka yang parameternyapun bisa dipertanyakan oleh masyarakat luas. Ini seakan-akan kontradiktif dengan realita empiriknya, untuk kasus skandal Bank Century saja sampai-sampai menyedot energi publik untuk memberikan tekanan politik pada pemerintah dan DPR (termasuk aparat penegak hukum), agar cepat diselesaikan secara adil dan transparan. Untuk menetapkan Anggodo menjadi tersangka saja sangat susah bagi kepolisian, bahkan terkesan ragu-ragu juga tampaknya istana untuk melaporkannya ke polisi, walaupun sudah memfitnah kepala negara. Menarik juga sebab akhir-akhir ini berita nasional diisi oleh headline beragam koran dan fokus dialog-dialog hanya untuk membahas skandal Bank Century atau peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia, 9 Desember 2009. Sampai-sampai sekelas kepala negara harus memberikan pidato kenegaraan untuk memberikan sikap dan pernyataan untuk peringatan hari anti korupsi. Sebelumnya isu-isu yang cenderung penudingan diarahkan kepada berbagai kelompok (skala nasional) berasal dari berbagai elemen masyarakat, yang kebetulan melaksanakan aksi damai pada tanggal tersebut. Tudingan tersebut seolah-olah memperlihatkan secara eksplisit jika kepala negarapun (mungkin) sangat cemas, khawatir dan takut kalau aksi ini penuh dengan muatan politis (menggoyang pemerintahan yang sah). Sebagai seorang pemimpin (penguasa) politik reaksi psikologis itu sangat wajar disampaikan, apalagi kalau menyangkut stabilitas di masyarakat.

Lucu sekali parodi yang dipertontonkan oleh masyarakat politik tanah air. Penulis mencoba merenung, untuk mencoba melakukan kontemplasi politik terhadap beragam fenomena politik saat ini. Pertama, isu-isu tentang pemberantasan korupsi dan good government and clean governance merupakan proyek reformasi yang sampai sekarang, masyarakat bisa membaca dan menelaah secara obyektif pencapaian-pencapaian nasional, apakah karena KPK, Kejaksaan atau Polri yang melakukannya. Secara normatif-regulatif pemerintah (eksekutif) juga memperlihatkan political will untuk mewujudkan pemerintahan yang baik dan bersih. Berbicara rezim memang harus ada pembanding agar lebih akurat melakukan penilaian. Harus jujur bahwa prestasi pada rezim sekarang cukup meningkat dalam hal pemberantasan korupsi dibanding masa lampau. Wacana tentang pemberantasan korupsi ini memang menjadi amanah reformasi yang mesti terus diperjuangkan tanpa melihat siapa yang berkuasa. Jadi bisa dikatakan adalah kewajiban rezim pemerintah yang berkuasa untuk menciptakan pemerintahan yang bersih, transparan dan tidak KKN.

Politik memang the art of possible untuk diterjemahkan ke dalam dunia praktis dengan mengawini teori momentum, akhirnya menemukan waktu yang tepat untuk kembali menggaungkan isu anti korupsi ke ranah politik nasional. Indikasi pelemahan KPK yang artinya dengan melakukan “kriminalisasi KPK” oleh invisible power maka diekpektasikan lembaga baru tersebut menjadi lemah dan ter(di)kebiri. Usaha-usaha sistemik dan terselubung ini terbukti dengan ragam skenario politik-hukum terhadap 2 orang pimpinan KPK. Jika KPK lemah maka peluang-peluang bagi “rampok terdidik” tersebut makin besar. Tentang kasus Century yang sebenarnya sudah lama sekitar tahun 2006 memperlihatkan gejala-gejala bank tersebut tidak beres. Namun pada 2008 pemerintah memberikan dana talangan (bailout) sebesar 6,7 triliyun untuk membantu menghidupkan bank kecil ini. Uang sebesar inilah yang kemudian dicurigai disalurkan kepada pihak-pihak yang tak bertanggung jawab. Inilah kemudian yang diangkat ke publik, walaupun masyarakat awam mungkin juga bertanya-tanya BLBI Jilid I sudah sampai mana penyelesaiannya? Tidak ada yang spesial sebenarnya dari kasus 6,7 triliyun ini jika dibanding dengan angka ratusan triliyun dari seniornya, yaitu BLBI. Menjadi spesial sekarang ini karena kasus Century diduga melibatkan orang-orang dekat kepala negara termasuk wakil presiden sekarang. Semua itu harus dibuktikan secara hukum di depan rakyat Indonesia yang haus akan keadilan.

Kedua, ternyata kepala negarapun cukup terganggu secara psikologi politik terhadap isu-isu yang berkembang di tengah masyarakat (kelas menengah terdidik). Isu yang terdengar mengenai aksi-aksi yang dilakukan dalam rangka pemberantasan korupsi tanah air, rentan (sudah) disusupi oleh penumpang gelap yang menumpang pamor bahkan menggali keuntungan dari isu tersebut. Bahkan harus memberikan pernyataan akan orang/kelompok penumpang gelap yang mengambil keuntungan di tengah keadaan seperti ini, di beberapa momentum seperti ketika pidato puncak peringatan hari guru nasional, pada rapat kabinet dan saat Rapimnas Partai Demokrat. Puncaknya yaitu ketika malam sebelum 9 Desember 2009 yang iramanya sudah mulai jelas atau cenderung tidak (terlalu) khawatir seperti awalnya tadi. Menarik menjadi fokus pemberitaan karena yang mencurigai adanya penumpang gelap tersebut adalah seorang presiden, bukan seorang tukang becak atau pemulung sampah. Ini akan membuat psikologi masyarakat terganggu, kecemasan kolektif secara nasional mengenai aksi 9 Desember 2009 mencuat. Masyarakat cemas kalau sejarah 1998 akan terulang kembali di tanah air. Alangkah bijaknya jika kekhawatiran (secara psikologis atau politis) yang berlebihan dari seorang kepala negara tesebut tidak dipertontonkan langsung kepada masyarakat kecil. Demam sikap reaktif untuk pencitraan cukuplah dimainkan disaat kampanye politik kemarin saja, jangan terus bergerak sentrifugal ke ranah pasca politik sekarang. Lakukanlah tindakan nyata tidak sekedar pidato (apalagi klaim) di banyak forum, inilah satu-satunya instrumen politik yang efektif untuk menangkis berbagai kecurigaan, yang menjadi hal biasa dalam aktivitas politik tanah air. Toh sekarang rakyat sudah mampu membaca bahasa tubuh para pemimpinnya apalagi kebijakan-kebijakan yang sudah dibuat.

Ketiga, rakyat sudah lelah dengan ragam kisah drama politik yang terjadi. Drama tersebut dimainkan baik oleh DPR, pemerintah maupun berbagai kelompok yang mengatasnamakan berdiri di atas kepentingan rakyat. Perlu dipertanyakan khususnya untuk kelompok yang terakhir. Ada istilah ”aktivis kambuhan” yang sekarang sedang ”panen raya” karena isu-isu nasional ini sanggup menyita perhatian publik dan mereka sukses untuk diperhatikan. Selama ini kemana saja kawan? Inilah satu pertanyaan yang pantas diperdengarkan ke telinga mereka yang berjuang hanya untuk mengejar popularitas semata, bukan murni penyambung lidah rakyat. Idiom-idiom politik yang berkembang cukup santer saat ini seperti reformasi jilid II atau people power, terlalu prematur bahkan terkesan menakut-nakuti rakyat kecil yang masih trauma dengan peristiwa ’98. Apalagi bagi mereka yang menjadi korban ’98 dan sampai sekarang sudah kering air matanya karena tangisan anak dan keluarga yang menjadi korban. Sebagai gerakan moral rakyat yang haus akan keadilan, penulis yakin siapapun yang berhati nurani pasti akan mendukung setiap ikhtiar anak bangsa, dalam pemberantasan korupsi demi mewujudkan pemerintahan yang baik dan bersih. Jika landasan gerakannya adalah moral maka tidak ada satupun termasuk penguasa, yang mampu mencegah bahasa tubuh rakyat yang ter(di)tindas oleh pemimpinnya yang bersifat Leviathan atau monster pemangsa (meminjam istilah Thomas Hobbes).

Sebuah narasi besar kembali ditorehkan bagi mereka yang bergerak karena dorongan moral rakyat Indonesia. Perjuangan yang diteriakkan oleh suara-suara serak yang semakin kuat walaupun badannya lemah kepada rezim penguasa, siapapun yang menjadi pemimpin. Lantangnya bersuara bukan karena nama, bukan karena motif politik bahkan berlindung dibalik suara rakyat tadi. Begitu juga bagi mereka yang memimpin sekarang baik di legislatif maupun eksekutif. Masih teringat di memori kolektif masyarakat Indonesia, pengguliran angket BBM, angket beras dan beragam narasi fiksi yang dimainkan anggota parlemen kita. Hak angket penelusuran skandal Century sekarang harus diselesaikan secara moral dan bertanggung jawab. Dengan mengedepankan prinsip jujur, transparan, tidak ada motif politik-kekuasaan dan menelusuri sampai ke akar-akarnya. Jika itu tidak terlaksana tunggu saja klimaks narasi besar rakyat, yang kembali menjadi saksi sejarah karena bergerak memasuki rumah wakil mereka. Terakhir bagi lembaga eksekutif (presiden bersama kabinet) jangan lagi terjebak akan prestasi-prestasi yang dianggap tercapai selama ini. Dalam sebuah sistem bernegara tidak ada satu komponen lembaga yang bekerja jika tidak berkaitan dengan lembaga lain. Jangan juga sering melakukan klaim bahwa pencapaian-pencapaian dalam bertindak terhadap para koruptor dilakukan oleh eksekutif. Sejarah mencatat bahwa semenjak KPK hadir sebagai bagian dari aparat penegak hukum disamping Polri dan Kejaksaan, lembaga baru tersebut memiliki prestasi yang tinggi dalam upaya pemberantasan korupsi. Ingatlah kenapa KPK dibentuk, bukankah karena rakyat sudah mulai berkurang kepercayaannya kepada Polri dan Kejaksaan? Dengan akses informasi dan komunikasi publik yang mulai terbuka, masyarakat Indonesia sudah mampu melihat mana prestasi pemerintah dan mana yang memang kewajiban yang mesti dijalankan.

Selamat Memperingati Hari Anti Korupsi Sedunia.

Membaca Ulang People Power Oleh Satriwan

Standar

Istilah people power lebih dikenal oleh publik dunia ketika terjadi gerakan rakyat untuk menentang otoritarianisme Ferdinand Marcos, Presiden Philipina. Gerakan rakyat yang dilakukan secara terbuka dan massif itu dimotori Jose Rizal dan Corazon Aquino, untuk menumbangkan rezim despotik Ferdinand Marcos. People power yang terjadi di Philipina pada 1986 kemudian terulang pada 2001, di saat rezim korup Joseph Estrada diulingkan oleh gerakan rakyat yang bersatu. Jika ditelisik secara mendalam, hampir setiap negara berkembang (masih dalam transisi demokrasi), memang kekuatan rakyat dijadikan sebagai instrumen sosial-politik untuk melakukan penentangan terhadap suatu rezim yang berkuasa. Transisi menuju negara demokrasi membutuhkan korban yang sebenarnya bukan tujuan dari demokrasi itu sendiri. Namun realita sejarah membuktikan bahwa people power memang memakan korban nyawa, harta, cost politik, perekonomian yang tidak stabil yang berdampak pada stabilitas nasional secara keseluruhan. Tapi menjadi kekuatan yang efektif dan radikal untuk menumbangkan bentuk kesombongan politik, diktatorianisme, otoritarianisme dan despotisme.

Patut untuk dibaca kembali bagaimana sejarah politik kenegaraan di republik Indonesia ini, yang belum berusia matang pasca gejolak reformasi berkobar. Tahun 1998 menjadi momentum politis-historis untuk dibuktikannya kembali bahwa kekuatan rakyat mampu dan efektif untuk menghentikan pemerintahan yang otoriter. People power menjadi sebuah gerakan massa yang sangat besar, barasal dari lintas profesi, agama, suku, golongan, gender, usia bahkan afiliasi ideologi. Rezim despotik Soeharto yang dalam bahasa sejarah dan politik disebut Orde Baru, harus berhenti dan diam pada titik klimaks demonstrasi yang meminta Soeharto mundur. Titik klimaks politik yang menentukan dengan mundurnya Soeharto, yang sebenarnya tak berhenti pada turunnya Soeharto saja.       Menjadi lebih menarik untuk dipahami adalah fase-fase sejarah yang dilalui oleh rakyat, lebih khususnya komponen-komponen masyarakat yang terlibat langsung dalam penentangan rezim dengan berbagai artikulasi politiknya. Mesti untuk dielaborasi, yaitu karakteristik sejati dari people power tersebut. Apakah sama karakteristik gerakan rakyat untuk menentang rezim di Philipina, Indonesia dan negara lain? Untuk menjawab ini dibutuhkan kajian sosiologis, politik bahkan ekonomi agar terbangun jawaban ilimiah dan benar-benar menyejarah.

Gelombang menuju puncak people power bukanlah given begitu saja atau dengan bahasa lain terjadi begitu saja (by condition). Fase-fase awal sebagai pendahulu gerakan kekuatan rakyat adalah sesuatu yang harus ada. 1998 hanya menjadi puncak kristal yang sebelumnya telah mengalami proses kristalisasi keadaan yang didorong oleh berbagai faktor, mulai dari keadaan ekonomi, realita sosial, politik, pertahanan keamanan bahkan luar negeri. Empat faktor tersebut sangat determinatif terhadap terjadinya akumulasi kekuatan rakyat. Diawali dari krisis ekonomi 1997, terjadinya inflasi ekonomi, merosotnya harga rupiah terhadap dollar, mencuatnya utang negara kepada luar negeri (termasuk lembaga keuangan dunia, seperti IMF), stabilitas politik yang menghadapi gejolak bahkan gerakan-gerakan yang secara politik ingin segera menurunkan Soeharto. Namun yang menjadi benang merahnya yaitu kekuatan rakyat tersebut diartikulasikan dalam bentuk gerakan kolektif menasional yang bertujuan sama, tanpa memandang garis ideologi seseorang, agama, suku dan afiliasi gerakan, yaitu menurunkan rezim yang berkuasa

Saat ini masyarakat Indonesia sedang disuguhkan oleh berita tentang ditangkapnya 2 pimpinan KPK non-aktif, yang menjadi headline di berbagai media. Presiden diminta oleh berbagai tokoh lintas profesi dan berbagai kalangan untuk ikut memberikan kepastian kepada masyarakat, kemudian hal itu diterjemahkan ke dalam kebijakan dengan membentuk Tim Investigasi atau Tim Pencari Fakta (TPF) seperti yang terjadi untuk kasus Tragedi Trisakti Mei ’98 dan kasus Munir. Tuntutan tersebut diterima presiden lalu terbentuklah sebuah tim untuk mencari dan menganalisis apa yang sebenarnya terjadi antar lembaga kepolisian dengan KPK, dengan ditangkapnnya 2 orang pimpinan KPK tersebut. Masyarakat Indonesia hampir tiap hari disuguhi drama kontroversi penangkapan tersebut, sampai-sampai cerita Bank Century, Kasus Penganiayaan TKI di Malaysia, Indonesian Summit 2009, Kasus BLBI, Kasus Aliran Dana BI bahkan evaluasi terhadap kinerja anggota legislatif dan Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II menjadi terlupakan bahkan (sengaja) dilupakan, tapi sekali lagi di sini berbicara strategi media juga. Patut dicermati dari narasi berliku KPK sekarang ini adalah kontroversi ditangkapnya 2 pimpinan KPK tersebut yang menyulut emosi masyarakat Indonesia, yang membaca langsung dari media maupun sekedar ikut-ikutan saja, untuk memberikan dukungan moral (kontra penangkapan) terhadap pimpinan KPK. Dukungan tersebut kemudian diterjemahkan ke dalam berbagai aksi dan gerakan secara nasional untuk mengungkap yang terjadi sebenarnya di balik penangkapan itu.

Pada Senin 2 November 2009 menjadi titik awal diberikannya dukungan (dengan demonstrasi dan menggunakan baju atau pita hitam) terhadap mereka. Para pengamat, akademisi dan banyak kalangan menilai bahwa dukungan rakyat tersebut tidak main-main. Hal ini bisa berpotensi menjadi people power, inilah yang diungkapkan oleh Hikmahanto Juwana (Guru Besar FH UI) yang sekarang menjadi salah satu anggota tim investigasi. Membaca dukungan secara nasional terhadap pimpinan KPK ini memang tak hanya secara personal, tapi lebih kepada dukungan terhadap eksistensi lembaga negara yang bernama KPK dengan tugas dan fungsinya. Sebagian besar komponen masyarakat mengkhawatirkan adanya semacam ”gerakan halus atau bawah tanah” yang dilakukan oleh invisible move untuk melemahkan KPK. Dalam konteks ini KPK diupayakan untuk dikebiri, dilemahkan bahkan ditiadakan. Hal itu sudah disinyalir oleh banyak kalangan, baik aktivis LSM, akademisi maupun masyarakat pada umumnya. Semua itu terbukti dengan ragam ”rekayasa” yang dibaca oleh publik dan menjadi pendulum bagi semangat untuk membela agar KPK tetap eksis. People power yang dikhawatirkan oleh banyak kalangan tadi memang bukanlah satu kekhawatiran kolektif yang emosional bahkan terkesan menakut-nakuti saja. Tapi sebagai artikulasi sikap yang terpendam selama ini dengan berbagai indikasi yang mengarah ke sana (pelemahan KPK). Rakyat secara emosional memang tidak mau negara tercinta ini menjadi sarang bagi koruptor. Jangan sampai, jika asumsi publik tadi benar maka tunggulah sebuah gerakan massif yang di sana berhimpun kekuatan rakyat omni potent akan menjadi nyata. Inilah kekhawatiran mendasar yang dikemukakan oleh banyak tokoh. Kekuatan rakyat yang terkristal karena dipicu oleh ”penzholiman” terhadap KPK, baik secara personal maupun kelembagaan.

Namun penulis menilai bahwa secara nasional, drama KPK ini informasinya belum secara utuh didapatkan dan diterima oleh masyarakat. Walaupun sudah menjadi isu dan cerita nasional, tapi cukup rumit dan complicated untuk menjelaskan sejak awal terjadi (testimoni Antasari Azhar) sampai ditangkapnya 2 pimpinan KPK lainnya. Harus dibaca ulang kembali, jika karakteristik sebuah gerakan rakyat yang bermutasi menjadi people power, selalu dimulai dari kompleksitas keadaan negara dilihat dari berbagai faktor tadi. Adanya yang pro terhadap sikap kepolisian menangkap personil KPK, memang jangan dijadikan acuan bahwa tidak semua komponen masyarakat ternyata yang menyalahkan sikap kepolisian. Tapi jangan lupa melihat narasi berliku KPK ini dari kacamata sistem hukum. Apa yang ada dalam UU KPK No. 30 Tahun 2002 dan KUHAP di negara kita. Kekuatan rakyat memang bukanlah kekuatan massa belaka yang ditentukan oleh berapa banyak kuantitas masyarakat yang menginginkan agar KPK tidak dizholimi, tetapi lebih kepada kekuatan moral profetis untuk mampu membaca keadaan sosial masyarakat yang jauh dari prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, transparansi, good government, kebebasan pers, berkeadaban dan menjunjung tinggi HAM. Jika prinsip-prinsip fundamental negara demokrasi tersebut dilumpuhkan (walaupun satu), maka people power akan memasuki jilid II dalam merekonstruksi republik ini.

BELAJAR KEPADA JK Oleh SATRIWAN

Standar

Tepat pada hari Selasa, 20 Oktober 2009 sejarah perjalanan bangsa Indonesia telah menorehkan suatu narasi panjang sebuah bangsa beradab. Pada hari itu masyarakat Indonesia memiliki presiden dan wakil presiden baru, pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Boediono. Seremonial ketatanegaraan secara yuridis-formal menetapkan SBY-Boediono sebagai presiden dan wakil presiden Indonesia periode 2009-2014. Acara pelantikan yang diselenggarakan di hadapan seluruh anggota legislatif (MPR), para pemimpin negara sahabat, duta besar, para tokoh nasional dan tentunya di hadapan seluruh komponen masyarakat Indonesia berlangsung khidmat. Seakan-akan energi yang sudah terkuras di saat kampanye sampai pasca pemilu sekarang, hilang terobati oleh kemenagan SBY-Boediono. Hiruk pikuk pembagian kekuasaan (power sharing) kursi kabinet SBY Jilid II, terhenti sejenak untuk sama-sama mendengarkan pidato kenegaraan pelantikan SBY-Boediono. Namun satu hal yang menarik dari acara pelantikan SBY-Boediono ini adalah, kehadiran Jusuf Kalla (JK) yang nota bene mantan wakil presiden dan kompetitor SBY ketika masa kampanye kemarin.

Sebagai pribadi yang berlatar belakang pengusaha, JK memang lebih menjiwai filosofi pedagang dalam kesehariannya. Karakter yang mudah bergaul dengan orang lain lintas profesi, tidak mau bertele-tele, sigap, gesit dan berani. Karakter ini mungkin yang bagi banyak kalangan politikus dan masyarakat umumnya menjadi karakterisitik khas seorang JK. Senyuman lebar yang senantiasa keluar dari bibir JK mengisyaratkan bahwa apa yang dia ucapkan seiring dengan kata hatinya. Tidak tampak sedikitpun rasa penyesalan, kekecewaan, menganggap SBY sebagai rival dan ribuan virus mentalitas lemah dari diri JK. Kegesitan dan kecepatan dalam bertindak atau membuat keputusan bagi JK merupakan suatu hal wajib dimiliki oleh seorang leader, apalagi menyangkut kesejahteraan masyarakat Indonesia. JK mampu memperjuangkan filosofi kehidupan yang dinamis dan terbuka namun tetap berada pada jalur yang lurus. Latar belakang seorang yang berdarah Bugis mengalir dalam tubuhnya dan termanifestasikan ke dalam berbagai keputusan yang dia buat. Pasangan SBY-JK pada pemilu 2004 tadinya bukanlah pasangan ideal yang diharapkan bahkan diekpetasikan oleh beragam kalangan sebagai pemimpin nasional. Namun seiring waktu berjalan ternyata konstruksi dua kepribadian antara SBY dan JK yang jelas berbeda, mampu mendinamiskan kapal Indonesia yang berlayar di samudera luas. Saling melengkapi dan mengisi, itulah ungkapan yang tepat terhadap penilaian karakter kepemimpinan SBY-JK.

Tanggal 20 Oktober 2009 menjadi momentum historis-politis bagi JK khususnya, untuk mengevaluasi dan merefleksikan dirinya selama lima tahun terakhir. Publik mampu membaca wajah JK yang ekspresif dan terbuka, bahwa regenerasi kepemimpinan politik dalam sebuah negara demokrasi menjadi hal yang absolut. Bagi JK taklah jadi masalah siapapun pemimpin nasional ke depan, terpenting dia harus mampu mengartikulasikan kehendak rakyat sebagai perwujudan vox populi vox dei. Kehadiran JK bersama SBY-Boediono dalam acara pelantikan presiden-wapres periode 2009-2014, menandakan jika dia ingin mengajarkan tentang sportifitas, tak pendendam dan tak ada yang tak akan selesai. JK ingin menyampaikan pesan secara tersirat kepada publik, termasuk kepada para pendukungnya, akan betapa pentingnya “jiwa yang lepas”, dalam artian narasi politik seorang JK pun bisa mengalami titik klimaks, namun dimuat dalam epilog berbingkai husnul khatimah (akhir yang baik). Sebagai orang awam tentang psikologi kepribadian, pesan-pesan JK yang disampaikan melalui media bahasa tubuhnya (body language), mengandung banyak makna dan nilai filosofis kehidupan praktis bagi rakyat Indonesia. Tak berlebihan jika penulis mengatakan, karena kepiawaian JK dalam mentransmisikan pesan-pesan hati yang lurus, menjadikan JK tokoh nasional yang populer layaknya M. Hatta.

Seorang negarawan bukanlah seorang pribadi yang hampa makna, yaitu konstruksi kepribadian yang mampu menjadi sumber inspirasi bagi penyelesaian kompleksitas masalah bangsa. Narasi berliku kenegarawanan JK sebenarnya tak berhenti di titik 20 Oktober 2009, namun terus mengalir menuju samudera pengabdian profetis demi kesejahteraan bangsa. Selama lima tahun mengabdi bersama SBY tentu tak sedikit gejolak, dinamika dan konflik yang sejatinya hanya mereka berdua yang tahu. Kualitas kepemimpinan tidak diukur dari berapa lama dia mejabat dan dipercaya rakyat, namun sejauh manakah tinta emas sejarah mencatat seorang pemimpin itu dalam relung hati rakyat. Kampanye yang penuh rivalitas, kompetitif dan menghabiskan energi telah berlalu, jangan sampai resonansi keadaan seperti kampanye kemarin tetap terasa aromanya ke depan. Para politikus, pemimpin nasional dan kita semua patut belajar kepada JK, karena daya transmisi kata hati yang terekspresikan dari sikap politik JK, yang tidak mencari musuh dan selalu berpikir solutif. Memang dalam kondisi-kondisi tertentu seorang leader harus cepat tanggap terhadap kehendak rakyat, negarawan yang bijak mesti memahami bahasa rakyat. Bahasa yang tidak dipenuhi kebohongan dan image belaka, tapi ditunjukkan oleh keputusan-keputusan yang pro rakyat. Sekarang mungkin bukan waktunya lagi untuk memperdebatkan, apakah segala kebijakan pemerintah yang lalu, seperti program BLT, PNPM mandiri, konversi minyak tanah dan lainnya, berasal dari JK atau SBY, cukuplah sejarah yang mencatat. Terpenting ke depan pemerintahan yang dikomandoi SBY-Boediono, mesti mampu membawa bahtera Indonesia yang lebih dinamis dan berkemajuan. Memahami kehendak rakyat, menterjemahkan bahasa rakyat ke dalam berbagai kebijakan yang pro rakyat.

Membaca JK seperti membaca lembaran-lembaran buku yang penuh tulisan dan apa adanya. Filosofi kehidupan yang JK coba sampaikan kepada rakyat Indonesia menjadi sesuatu yang berharga ketimbang memperdebatkan siapa calon menteri yang pas, siapa yang membuat program pro rakyat dan sederet pertanyaan politis lainnya. Berani namun tak mencari musuh, sigap namun penuh perhitungan, mencoba namun mengukur terlebih dulu dan senyuman yang lepas namun tak terpaksa, inilah bahasa hidup JK.

Menggugat Politik yang Paradoks Oleh Satriwan

Standar

Pemilu 2009 menjadi titik klimaks bagi stakeholder politik dan rakyat Indonesia untuk merencanakan & memutuskan nasib bangsa Indonesia lima tahun ke depan. Energi partai politik dan publik umumnya tercurahkan untuk fokus kepada pembagian kursi cabinet dan pembagian kekuasaan (power sharing). Masa antiklimaks itu terjadi setelah hasil Pemilu 2009 telah menghasilan nama-nama yang diharapkan terpilih, baik legislatif maupun eksekutif. Rakyat Indonesia membuat keputusan untuk kembali memberikan kepercayaan kepada Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan wakil presidennya Boediono. Namun hasil pemilu baik legislatif maupun eksekutif tak serta merta mendatangkan stabilitas politik dan nuansa keberterimaan yang tinggi. Muncul kemudian gerakan untuk menolak hasil pemilu, pelaksanaan pemilu dinilai tidak demokratis dan tercoreng (cacat) karena banyak terjadi penggelembungan suara, intimidasi, KPU yang selalu konsisten dengan inkonsistensinya, kebijakan KPU yang menyulut protes dan reaksi, black campaign, karut-marut administrasi, masalah DPT yang tak kunjung selesai sampai kepada penetapan jumlah kursi partai-partai di parlemen.

Proses Pemilu 2009 kemarin seakan-akan mengajak bangsa Indonesia untuk menjadi bangsa pemarah, intoleran, ingin menang sendiri dan tak pernah memaafkan. Nilai-nilai yang mampu dibaca oleh rakyat kecil semenjak persiapan pemilu, pelaksanaan sampai setelah pemilu hanya nilai-nilai emosional belaka. Begitulah suasana dan realita politik bangsa dalam menghadapi pemilu 2009. Setelah jarum jam menunjukkan pergantian, hari dan bulan berubah sedikit demi sedikit “aroma keras dan busuk” pemilu mulai menghilang seiring partai-partai sudah mengetahui pasti nasibnya. Partai yang tidak lulus parliamentary threshold (PT) sudah mulai ancang-ancang untuk merapat kemana atau melakukan apa. Sedangkan partai yang masuk parlemen mulai melakukan lobi-lobi untuk mendapatkan jatah menteri dan pembagian komisi-komisi di DPR. Tentu harapan untuk memperoleh kursi menteri yang pas dan menjanjikan itu, dilakukan setelah berkoalisi dengan calon presiden/wapres terpilih. Sekarang tinggal menagih janji, bagi-bagi kursi dan distribusi “jatah” karena partai maupun personal-personal tadi telah berkeringat selama masa kampanye. Harapan selama lima tahun itu terjawab sudah ketika SBY menelepon para kandidat menteri untuk menduduki pos kementerian tertentu. Belum lagi jatah yang sifatnya perseorangan, setidaknya yang telah berkeringat selama kampanye (tentu elit) minimal dapat pos-pos tertentu di lembaga-lembaga lainnya (komisaris BUMN, Kepala Lembaga Negara Non Departemen, bahkan kemudahan-kemudahan proyeknya). Semuanya menjadi fenomena normal politik pasca pemilu.

Itulah dinamika realitas politik di Indonesia dan umumnya di setiap negara-negara demokratis di dunia. Politik memang alat/cara untuk mendapatkan kekuasaan bahkan politik juga merupakan manajemen seni (politic is the art of possible). Sebagai cabang ilmu sosial yang tertua di dunia, politik mampu menggiring hati dan pikiran manusia untuk bergerak, dinamis, selalu berpacu dengan waktu dan penuh resiko. Politik tak melulu diasosiasikan dengan kekuasaan (power) di pemerintahan, partai-partai dan konflik. Sebagai entitas profan politik memang tak lepas dari “aroma keras dan busuk” tadi. Jadi tidaklah heran jika ada orang yang antipati dalam politik, tak suka politik bahkan apolitik. Tapi sesungguhnya sikap itu merupakan reaksi atas ketidakpahaman individu terhadap politik. Seorang Aristoteles sudah dari dulu mendeteksi bahwa manusia merupakan zoon politicon, makhluk yang senantiasa berkumpul demi tujuan-tujuan tertentu (politik). Perlu pengendali jitu agar dinamika politik yang telah dimainkan oleh para aktor-aktor tadi menjadi lebih beradab dan ada rule of game. Pengendali jitu inilah yang dikenal sebagai moral dan etika. Profanitas politik yang menggoda aktor-aktor politik untuk melakukan tindakan “keras dan busuk” tadi mesti diluruskan, dipupuk dengan nilai moral yang transenden. Jadi tidak lucu dan aneh jika keputusan seorang individu untuk terjun dalam politik praktis yaitu untuk membela kepentingan rakyat, berbakti kepada nusa dan bangsa bahkan sebagai arena dakwah. Ini terdengar basi dan normatif yang kemudian mendapatkan reaksi berupa tertawaan dan cibiran masyarakat.

Politik yang santun, beretika dan beradab tentu menjadi wajah ideal dalam setiap dinamika politik kebangsaan. Hal itu diterjemahkan ke dalam sikap dan perilaku politik baik partai politik dan stakeholder politik lainnya maupun masyarakat. Sekarang yang terlihat adalah kondisi anomali dalam menghidupkan moral dan etika politik itu. Politik menjadi instrumen yang paradoksal ketika diterjemahkan ke dalam dinamika ketatanegaraan. Menjadi paradoks ketika Golkar dengan tiket gratis mampu meluluhkan hati SBY agar diberi kursi menteri di cabinet jilid II. Jika ditotalkan partai pemerintah yang duduk di perlemen mencapai angka 72 %. Kondisi inilah nantinya yang akan membuat DPR menjadi lembaga mandul dan tukang stempel. Di era Orde Baru keadaan yang sama juga telah dialami oleh Golkar yaitu menjadi single majority (mayoritas tunggal) di DPR. Inila yang dikhawatirkan bagi masyarakat yang “melek politik” terhadap kran demokrasi di Indonesia ke depan. Bukankah ini sebuah entropi politik yang melanda politik kebangsaan di Indonesia?

Ambivalensi sikap dalam konteks ketatanegaraan juga diperlihatkan oleh lembaga-lembaga negara. Sangat lucu dan aneh ketika DPD menjadi unwanted child bagi kakak pertamanya (DPR) untuk melakukan amandemen UUD 1945 khususnya mengenai fungsi dan kedudukan DPD. Sampai detik ini DPD sebagai representasi lokal masyarakat Indonesia tak ubahnya seperti lembaga swadaya masyarakat (LSM). Amandemen UUD 1945 tentang DPD tidak akan tercapai jika tidak ada political will DPR untuk melakukannya. Fenomena terbaru yaitu bisanya seorang anggota DPD terpilih menjadi wakil ketua MPR, sedangkan namanya tak diusulkan oleh lembaga asalnya (DPD). Belum lagi permasalahan di daerah-daerah yang muncul akibat otonomi daerah, seakan-akan pemekaran daerah menjadi jawaban tunggal atas kemiskinan di daerah. Satu dasawarsa pelaksanaan otonomi daerah ternyata belum mampu menjawab permasalahan ril masyarakat Indonesia. Fenomena politik yang muncul hanya perebutan kekuasaan di tingkat lokal dan pergeseran geografis atas sumber-sumber kepentingan tadi. Wajah lebam politik kebangsaan inilah yang menjadi tugas kolektif pemerintahan baru SBY selama lima tahun ke depan. Agar segala macam paradoksal politik itu tidak bergerak maju menuju entropi sosial (politik), di saat keadaan sosial politik di Indonesia berjalan teratur menuju ketidakstabilan dan kehancuran.

Memotret Perilaku Kebangsaan Kita Oleh Satriwan[1]

Standar

Setiap 1 Juni bangsa Indonesia memperingati hari lahirnya Pancasila. Sebagai sebuah konsensus nasional bahkan dijadikan ideologi negara Indonesia, posisi sentral Pancasila tak bisa begitu saja dikesampingkan dari kehidupan berbangsa dan bernegara. Meminjam definisi Destut D.Traccy, bahwa ideologi sebagai system of thought, pantas kiranya jika disandingkan dengan kata Pancasila yang menjadi ideologi di negara ini. Lahirnya Pancasila sebagai konsensus nasional secara historis taklah mudah untuk bisa diterima oleh masyarakat. Secara sosio-historis Bung Karno mengatakan bahwa Pancasila sudah hidup ratusan tahun yang silam dalam masyarakat nusantara. Lahirnya Pancasila ini tidaklah taken for granted begitu saja. Ataupun given dari langit turun ke bumi secara bertahap untuk menjadi pedoman bangsa. Proses dialektika sosio-historislah yang sebenarnya telah memproduksi Pancasila sebagai produk kebudayaan. Itulah kata kuncinya, Pancasila sebagai sebuah produk kebudayaan yang selalu mengalami dinamisasi karena dia hidup di masyarakat.

Patut menjadi perbincangan bersama untuk kembali melakukan kontemplasi kebudayaan terhadap ideologi bersama bangsa Indonesia ini. Sejarah tidak pernah bohong, ketika Pancasila bergulat secara formal-struktural dengan setiap rezim yang pernah berkuasa. Jika Asvi Warman Adam membagi kepada empat gelombang periode Pancasila, penulis memperiodisasikan menurut rezim pemerintahan, akan muncul tiga rezim atau mungkin lebih pantas disebut masa. Orde Lama, Orde Baru dan Orde Reformasi, tiga masa inilah yang telah membuktikan bagaimana system of thought yang bernama Pancasila bergulat dengan masanya. Menyinggung suatu rezim pastilah berbicara politik. Ini yang kemudian hari menjadi diskursus bersama bangsa Indonesia, di saat Pancasila juga dikatakan sebagai produk politik. Bagi mereka yang alergi dengan kata politik, tentunya akan bergumam, jika Pancasila sebagai produk politik berarti hadirnya Pancasila juga karena demi kepentingan politik. Itu semua terbukti secara historis, bahwa setiap masa (rezim pemerintahan) tadi, ternyata melakukan interpretasi secara rigid dan tertutup tehadap Pancasila. Terjadi desakralisasi terhadap Pancasila, karena telah bersetubuh dengan kepentingan politik rezim penguasa.

Dua Masa

Orde Lama dengan gaung pidato Bung Karno membangkitkan semangat nasionalisme dan patriotisme setiap orang yang mendengarnya. Sampai tahun 1968 Soekarno menjadi simbol seseorang yang mempersonifikasikan Pancasila. Tapi sejarah juga mencatat Soekarno tidak lepas dari beragam kritik atas interpretasinya terhadap Pancasila itu. Interpretasi-interpretasi yang nuansanya politis itupun diterjemahkan dalam kebijakan-kebijakan politik ketatanegaraan. Sebutlah idenya tentang nasakom (nasionalis agama komunis), dipakainya sistem parlementer dalam pemerintahan dan yang ekstrim adalah pengakuan Soekarno sebagai presiden seumur hidup. Pidato-pidato beliau yang berapi-api akhirnya menjadi klimaks atas segala kebijakan politiknya. Toh masyarakat tetap saja miskin, perekonomian mengalami resesi, karena inflasi ekonomi mencapai 1000% ditambah pemberontakan di mana-mana. Pidato-pidatonya tidak mengubah keadaan masyarakat yang tetap miskin dan dilanda krisis. Lain lagi cerita ketika rezim Orde Baru, muncul ke permukaan dengan jargon kembali ke Pancasila dan UUD 1945 secara seutuh, ternyata paradoksal dengan sikapnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Harapan jatuh kepada Soeharto sebagai simbol nasional dan juga personifikasi Pancasila. Pancasila benar-benar menjadi alat politik penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya di pemerintahan. Simbol-simbol lain yang kontraproduktif dengan Pancasila dianggap makar dan subversif. Satu sisi ingin kembali kepada Pancasila dan UUD 1945 seutuhnya, tapi di sisi lain secara soft rezim Orde Baru melakukan pembodohan kepada masyarakat secara struktural dan kultural. Tetap saja dengan dibukanya kontrak karya pertama sekitar akhir 60-an sampai eksploitasi sumber daya alam secara massif dilakukan di tanah air tercinta. Hak Azasi Manusia menjadi kata-kata yang asing terdengar di telinga masyarakat, bahkan menjadi harga yng mahal ketika memperjuangkan HAM itu. Hegemoni kekuasaan secara oligarkis hanya dipegang oleh aktor-aktor yang sama. Pancasila hanya sebagai tameng untuk memperkokoh kekuasaan. BP-7 dan P-4 menjadi bukti sejarah bagaimana rezim ingin melakukan interpretasi tunggal dan tertutup bagi ideologi negara. Disusul penetapan Pancasila sebgai azas tunggal yang menyulut kontroversi di masyarakat. Republik telah terkonversi menjadi dinasti atau monarki tradisional yang meletakkan Soeharto sebagai figur tak tersentuh noda apapun. Kurang lebih 32 tahun, kuku-kuku hegemoninya menancap di tanah republik yang haus akan demokrasi dan kebebasan politik. Klimaks kerajaan Soeharto berakhir secara tragis ketika harus dipaksa mundur oleh gerakan rakyat semesta yang dimotori mahasiswa.

Komoditas Politik

Bagaimana kabarnya Pancasila, di saat kran demokrasi telah di buka lebar?? Pasca reformasi perbinacangan mengenai Pancasila seolah-olah terkubur begitu saja, baik dalam tataran diskursus ideologis maupun tataran Pancasila sebagai pedoman praktis empiris dalam masyarakat. Ada pendapat di masyarakat yang mengatakan bahwa memperbincangkan Pancasila sekarang dalam tataran ideologis sudah tidak relevan lagi. Buktinya Pancasila bukan lagi azas tunggal ormas dan partai politik di Indonesia. Pancasila tidak lagi mempunyai kekuatan politik-ideologis untuk melakukan homogenisasi terhadap kebebasan dalam berideologi. Apa mau dikata, semua itu tuntutan rakyat, ideologi-ideologi “kecil” yang mengganti Pancasila tersebut, asalkan tidak bertentangan dengan Pancasila tidaklah menjadi soal. Begitulah Pancasila sekarang dipersepsikan oleh masyarakat. Pasca reformasi juga banyak partai politik yang mencantumkan azasnya adalah “ideologi Islam”, begitu juga ormas. Argumentasinya adalah Islam tidak bertentangan dengan Pancasila. Namun lain cerita ketika Pancasila dipahamai secara kultural yang lebih bersifat substantif. Bagaimana Pancasila yang mengandung nilai-nilai etis-filosofis tersebut hidup dalam masyarakat Indonesia kini? Meminjam istilah Rocky Gerung -Pancasila sebagai hasil imajinasi kebudayaan secara kolektif bangsa Indonesia- mestilah mampu hidup dan menghidupi segala perilaku bangsa Indonesia. Karena Pancasila sebagai ideologi yang hidup dan dinamis.

Parameter untuk mengetahui sejauh mana bangsa Indonesia memahami Pancasila sebagai suatu sistem nilai (value system) bisa dilihat dari perilaku kebangsaan masyarakat Indonesia. Jika dijawab dari pendekatan politik, bagaimana Pancasila bisa diterjemahkan ke dalam berbagai kebijakan pemerintah. Masyarakat banyak menilai UU Penanaman Modal Asing, UU No. 9 Tahun 2009 tentang BHP dan beragam regulasi lainnya tidak secuilpun yang mempersonifikasikan ruh Pancasila secara konsisten. Arah kebijakan ekonomi nasional contohnya, sebab perekonomian menjadi salah satu ujung tombak untuk menciptakan kesejahteraan rakyat. Bagaimana bisa dikatakan demokrasi ekonomi (berdasarkan konstitusi) apabila kebijakan perekonomian pro terhadap asing, minus proteksi kepada pedagang kecil, pro liberalisasi di segala bidang (diperparah lagi pendidikan dijadikan sebagai kegiatan ekonomis, Perpres No. 76-77 Tahun 2007). Eksploitasi secara massif tetap saja dilakukan terhadap sumber daya alam Indonesia dan aset-aset nasional dijual kepada asing, seperti Indosat. Kekuatan asing pun bercokol menguasai aset-aset nasional strategis, seperti Telkom, Semen Gresik, Bukit Asam, Kimia Farma dan Perusahaan Gas Negara.

Momentum Pemilu Presiden/Wapres sekarang ini menjadi lebih dinamis secara politik, karena ideologi direduksi menjadi sekedar komoditas politik untuk kampanye Pilpres. Sangat naif dan buruk jika para pemimpin Indonesia menjadikan Pancasila hanya hidup dalam kampanye politis yang profan, bukan menjadikan Pancasila hidup karena diterjemahkan dalam perilaku kebangsaannya. Betapa santer isu ekonomi neoliberalisme vs ekonomi kerakyatan yang sekarang sedang didengung-dengungkan oleh para capres dan tim suksesnya dalam kampanye. Kini memang Pancasila tidak lagi menjadi alat politis yang keras dan kaku dan oleh penguasa yang represif. Bentuk azas tunggal atau mengklasifikasikan rakyat menjadi Pancasilais dan subversif (anti Pancasila) kemudian menangkap dan mengucilkan masyarakat tersebut dari aktivitas politik, sekarang sudah berubah. Pancasila tetap dijadikan sebagai alat politik namun sebatas isu dan wacana agar memperoleh simpati masyarakat dalam pemilu nanti. Fungsi dan tujuannya tetap sama yaitu sebagai alat politik agar memperoleh kekuasan, yang berbeda dari masanya (rezim) adalah cara memakai Pancasila itu. Semua terbukti ketika para capres/cawapres untuk periode 2009-2014 melakukan dialog kebudayaan di GKJ. Penulis menilai belum ada satupun dari mereka yang mampu menerjemahkan Pancasila secara kebudayaan yang hidup di nusantara. Kebudayaan sebagai sesuatu yang hidup dan berkembang kemudian berhadapan dengan politik sebagai sebuah aktivitas dinamis insan-insan politik untuk mencapai kekuasaan. Pancasila sebagai ekspresi kebudayaan kolektif anak bangsa, harus hidup dan mampu menghidupkan perilaku politik anak bangsa itu.

Bahasa kebudayaan sejatinya menjadi sarana yang ampuh untuk menghadirkan Pancasila dalam perilaku kebangsaan. Bagaimana membentuk karakter kebangsaan jika Pancasila tidak hidup dan mampu diterjemahkan ke dalam berbagai peraturan perundang-undangan nasional. Pancasila bukan sekedar produk politik tetapi lebih dalam lagi yakni sebagai produk kebudayaan yang diharapkan mampu diterjemahkan oleh para penguasa dalam perilaku kebangsaannya. Itu dilakukan agar tujuan nasional tak lagi sekedar bacaan ketika upacara bendera di sekolah-sekolah, tetapi wujud nyata dari sebuah produk kebudayaan yang bernama Pancasila.


[1] Penulis adalah Guru di SMA Labschool Jakarta dan Peneliti di Pusat Kajian dan Pengembangan Ilmu-ilmu  Sosial Univ. Negeri Jakarta

Ambalat dan Tantangan Perdamaian Dua Negara Oleh Satriwan

Standar

Pasca pelanggaran terhadap garis batas teritorial laut yang dilakukan Malaysia terhadap perairan Ambalat, Kalimantan, hubungan diplomatik RI-Malaysia kembali terganggu. Persoalan yang bersifat laten ini berulang-ulang terjadi akibat perlanggaran wilayah teritorial RI yang dilanggar terus-menerus oleh Malaysia, karena klaim sepihak atas Ambalat oleh negara jiran itu. Hubungan benci tapi rindu ini, selalu menjadi pemanas antara pemerintah RI dan Malaysia. Relasi yang kurang harmonis sering dipicu oleh banyak tindakan Malaysia yang cenderung provokatif. Berdampak kepada tidak hanya secara formal struktural pemerintah, tetapi juga secara sosiologis-ideologis masyarakat (nasionalisme). Rakyat Indonesia tidak mau sejengkalpun tanah nusantara (wilayah darat, laut dan udara) ini lepas dengan mudahnya ke tangan negara lain.

Peristiwa ini otomatis menjadi konsumsi publik yang sensitif karena terkait nasionalisme kita. Perasaan inilah yang sekarang menggelora di dada rakyat Indonesia, walaupun secara empiris, mungkin saja banyak di antara masyarakat yang tidak tahu dan paham bagaimana kronologisnya sehingga Malaysia melakukan klaim sepihak atas Ambalat. Atau juga ada apa sebenarnya di Ambalat itu? Kenapa jiran kita ini sampai berulang-ulang melanggar batas wilayah laut suatu negara, yang nyata-nyata melanggar kedaulatan (souveregnity) dan otomatis melanggar hukum internasional. Alasan ekonomis eksploitatif adalah jawabannya.

Pada tahun 2007 pelanggaran teritorial Ambalat dilakukan Malaysia sebanyak 76 kali, 2008 sebanyak 23 kali dan sampai sekarang (2009) sebanyak 11 kali. Ini merupakan pengulangan kesalahan yang memang sengaja sifatnya. Ketegangan bilateral antara dua negara serumpun ini selalu menyangkut sentimen nasionalisme rakyat Indonesia. Belum lagi kasus klaim sepihak atas lagu daerah, reog ponorogo, rendang Padang, alat musik angklung (Sunda), batik ditambah jatuhnya putusan Mahkamah Internasional atas Pulau Sipadan dan Ligitan ke tangan Malaysia. Bagaimana langkah strategis dan damai yang mesti Indonesia tempuh untuk menyelesaikannya? Sebagaian kecil masyarakat sebenarnya sedari awal, ketika konflik Sipadan-Ligitan mencuat, ada yang mengajukan opsi perang. Tentu jika mengedepankan emosional belaka memang jalan itu tepat, karena menyangkut harga diri bangsa yang dicabik-cabik. Setidaknya ada dua solusi alternatif yang mesti dikembangkan oleh pemrintah dan bangsa Indonesia umumnya.

Pertama, solusi ke dalam yaitu pembenahan secara internal dan konsisten terhadap kekayaan bangsa kita. Secara teknis operasional itu bisa dilakukan dengan bukti-bukti historis dan yuridis bahwa kawasan Ambalat di Kalimantan Timur secara de jure dan de facto adalah milik Indonesia. Jangan seperti Sipadan-Ligitan karena bukti yuridis dan historisnya kita lemah di depan Mahkamah Internasional. Kemudian pembenahan ke dalam yaitu, menambah anggaran pertahanan. Miris memang karena dalam APBN 2009 anggaran pertahanan hanya Rp. 35 triliyun saja dari sekitar Rp. 1000 triliyun uang di APBN. Tambahan anggaran kemudian mesti dialokasikan untuk pembelian alutista dan kelengkapan kapal laut, pesawat, helikopter dan peralatan pertahanan lainnya.

Kedua, solusi ke luar yaitu dalam bentuk penguatan diplomasi pemerintah terutama dengan negara-negara yang berbatasan langsung dengan wilayah RI. Diplomasi yang kuat dan bermartabat mesti menjadi pijakan fundamental pemerintah, khususnya menyangkut harga diri bangsa. Agar kejadian sengketa wilayah tidak terjadi lagi dengan negara tetangga lainnya. Diplomasi kuat dan bermartabat merupakan jalan kultural dan politis demi mempertahankan setiap jengkal tanah ibu pertiwi dan terciptanya perdamaian kawasan (dunia).

Mengurai Potensi Konflik Pasca Pemilu Oleh Satriwan

Standar

Pemilu legislatif baru saja dilaksanakan secara formal pada 9 April 2009 yang lalu. Memori publik mencatat semenjak persiapan sampai pasca pelaksanaan Pemilu Legislatif (Pileg) banyak yang menjadi catatan kritis untuk didiskusikan. Jika dibagi menjadi tiga fase Pemilu (Pileg), yaitu tahap persiapan, pelaksanaan dan Pasca Pemilu. Walaupun cenderung subjekif, namun publik menilai Pemilu sekarang banyak memberikan narasi kontraproduktif bagi pendidikan politik masyarakat. Mulai dari persiapan distribusi logistik yang bermasalah ke daerah-daerah, distribusi surat suara yang sampai pelaksanaan Pemilu kemarin tidak sesuai daerahnya. Surat suara untuk daerah Jawa Barat tapi dikirim ke Kalimantan. Daftar Temilih Tetap (DPT) tidak selesai yang berimplikasi lahirnya masyarakat golput karena sistem administrasi yang sangat lemah oleh KPU. Di sebagian daerah dilaksanakan Pemilu ulang karena masalah DPT.

Adanya pemaksaan disertai ancaman bagi para pemilih di daerah tertentu untuk memilih partai tertentu. Bahkan disinyalir ada manipulasi data dan pengarahan untuk memilih partai tertentu yang dilakukan oleh panitia di KPPS. Energi publik juga tercurahkan kepada konstelasi politik dan keamanan di Papua terkait sebagian kelompok Organisasi Papua Merdeka yang dianggap ingin membuat instabilitas dengan mengganggu pesta Pemilu. Di sisi lain pasca Pileg kemarin banyak partai terkejut dengan hasil quick count yang dirilis banyak lembaga survei. Hasil quick count sementara menempatkan posisi partai yang tadinya opitimis menang ternyata tidak. Hal ini membuat kondisi psikologis calon legislatif termasuk kader atau simpatisan partai politik tertentu menjadi terganggu. Bahkan ada seorang caleg yang terang-terangan mengambil kembali sumbangan yang telah diberikannya kepada Majelis Tal’im (di Ambon) atau meninggal dunia setelah tahu kalau suaranya kalah (di Bali).

Harapan yang tadinya optimis suara partainya menang, namun ternyata suara partai kalah jauh ditinggal caleg/partai lain. Kondisi itu membuat banyak kader satu partai menaruh curiga terhadap partai lain yang memperoleh suara di luar dugaan. Rasa curiga, emosi, konstelasi politik pasca Pemilu, kecurangan Pemilu, tindakan ancaman disertai kekerasan terhadap pemilih, semuanya menjadi legitimasi untuk terciptanya potensi konflik di masyarakat. Menarik untuk dicermati secara komprehensif, jika membaca Teori Konflik C. Wright Mills yang menggabungkan perspekstif konflik dengan kritik terhadap keteraturan sosial (Bernard Raho, 2007). Menurut penulis, potensi konflik baik horizontal maupun vertikal yang dikhawatirkan sekarang, hanya sebagai bentuk akumulasi psikologis dan politik masyarakat yang secara continue dihadapkan kepada realita sosial dan politik yang tidak sehat.

Masyarakat secara psikologis rentan terhadap isu-isu yang berkembang di masyarakat. Ragam masalah Pemilu yang tak kunjung selesai membuat masyarakat muak dan bertambah apatis (diprediksikan golput mencapai 30 %). Jika dielaborasi lagi, kecenderungan konflik politik yang terjadi sekarang  masuk ke dalam bentuk konflik non realistik. Yaitu konflik tersebut menjadi tujuan, tidak terkondisikan oleh objek (Trubus Rahardiansah, 2006). Ada usaha untuk mengkambinghitamkan pihak-pihak tertentu dalam masalah yang muncul pasca Pemilu ini. Publik yang makin cerdas ketika ada partai yang menyalahkan partai lain karena berlaku curang, ada yang menyalahkan KPU yang tidak becus melaksanakan Pemilu, bahkan menyalahkan pemerintah yang sengaja berlaku curang dengan mengarahkan masyarakat secara sistematis (dari KPU sampai KPPS) kepada partai yang sedang berkuasa. Sebagai epilog tak salah penulis berharap bagi masyarakat Indonesia untuk tidak terpancing terhadap realita sosial politik yang terkonstruksi. Sejatinya yang sedang terjadi adalah konflik elit, ketika dalam pergantian elit (Pileg) konflik tak terhindarkan karena masing-masing akan mengunakan semua cara seperti organisasi, uang, sistem, militer bahkan kekerasan fisik.

De Civitate Dei dan Keindonesiaan Oleh Satriwan

Standar

“Taatilah negara sejauh ia tidak menghendaki yang bertentangan dengan kehendak Allah. Yang pertama bagimu hendaknya ayah dan ibu, lebih tinggi bahkan daripada orang tua hendaknya kau junjung tanah air (patria), apa yang diperintahkan orang tua melawan tanah air jangan diperhatikan, atau apa yang diperintahkan tanah air melawan Allah, itu juga jangan diperhatikan.” (Santo Augustinus, 354-430 M)

Mempelajari tentang pemikiran politik Barat, pasti tidak terlepas dari seorang tokoh Kristen yang juga seorang pendeta, dia bernama Santo Agustinus. Para peminat filsafat politik Barat, tentunya tidak asing lagi mendengar namanya. Salah satu hasil karya monumental Santo Agustinus yang terkenal yaitu bukunya yang berjudul The City of God, atau Negara Tuhan. Konsep pemikiran Agustinus mengenai filsafat politik kenegaraan memang sangat tajam. Walaupun konstruksi pemikirannya tersebut sedikit banyaknya dipengaruhi oleh Bible. Pertama, ide tentang suatu bangunan negara yang di dalamnya terdiri dari masyarakat dan pemerintahan yang diaberkati Tuhan. Pemerintahan yang dijalankan sesuai dengan hukum Tuhan dan dilaksanakan dalam rangka bentuk penghambaan total umat manusia kepada Sang Omni Potent.

Kain dan Habel
Konsep The City of God atau Negara Tuhan, yang dikembangkan oleh Augustinus, merupakan suatu pilar pemikiran yang memang tidaklah baru, sebab dalam Bible pun dinyatakan jika alam dunia, jagad kosmos ini merupakan wujud dari kerajaan Tuhan. Bagi Augustinus, ide Negara Tuhan merupakan suatu keharusan sosial historis, sebab Tuhan telah memberikan bentuk permulaannya yaitu ketika zaman Adam. Dikisahkan dalam Bible, bahwa Adam mempunyai anak yang sangat banyak, di antaranya adalah Kain (Kabil) dan Habel (Habil). Menurutnya Habil merupakan manifestasi atau bentuk analogis dari sebuah kepasrahan total kepada Tuhan. Sebab, ketika Habil ingin dikawinkan oleh Adam dengan saudara perempuannya secara silang (yakni Iklima), dia mematuhi kehendak ayahnya (sebagai keinginan Tuhan). Kemudian, ketika Tuhan memerintahkan kepada mereka untuk berkurban untuk Tuhan, maka ternyata Tuhan hanya menerima kurban yang diberikan oleh Habil. Melihat ”ketidakadilan Tuhan” tersebut, naluri hewaniah Kabil muncul. Kabil pada akhirnya membunuh saudara kandungnya tersebut, sebab Tuhan telah berlaku tidak adil karena menerima kurban dari Habil saja. Kemudian, kebencian Kabil kepada Habil tidak hanya itu, sebab ternyata sang ayah (Adam) menjodohkan Kabil dengan saudara silangnya (yakni Labuda) yang secara fisik tidak sesuai dengan keinginannya. Dia mengiginkan Iklimalah (karena menawan) yang seharusnya kawin dengan dia, bukannya Habil.

Menurut Augustinus, sikap hidup Habil yang hanya berpasrah diri pada Tuhan merupakan wujud simbolisasi dari konsep Negara Tuhan (The City of God). Negara Tuhan merupakan negara yang di dalamnya penuh loyalitas, penghambaan total pada sang Omni Present dan keikhlasan. Konsep ini merupakan konsep negara ideal yang diinginkan oleh Augustinus, meskipun dalam kenyataanya, tetap saja kehidupan dunia ini tidak hanya dipenuhi oleh rasa ikhlas, loyal dan pengabdian, melainkan juga penuh diisi oleh sikap iri hati, sombong, kebencian, buruk sangka dan berbagai bentuk tindakan kriminal. Bentuk yang terakhir ini merupakan simbolisasi dari karakter Kabil yang menjadi icon dari bentuk Negara Iblis atau Civitate Diaboli (Sekular State). Bentuk terakhir inilah yang menjadi klasifikasi kedua (bentuk negara) menurut Augustinus.

Indonesia dan The City of God
Memang menarik juga jika mendalami pemikiran Augustinus, dengan bentuk klasifikasi yang sederhana namun penuh nilai filosofis dan historis. Penting diketahui bahwa polarisasi antara Civitate Terrena dan Civitate Dei, merupakan polarisasi berdasarkan sifat-sifatnya, bukan berdasarkan teritorial. Menyinggung sedikit mengenai konsep Darul Kufr dan Darul Islam di dalam literatur klasik Islam, dikotomi antara konsep Negara Kufur dengan Negara Islam bisa diinterpretasikan secara teritorial pembedaannya. Pemikiran ahli filsafat politik Islam, seperti Al-Maududi juga sangat tegas dalam membuat penjelasan mengenai kedua konsep ini. Sampai ke Indonesia konsep Darul Kufr dan Darul Islam dipakai secara ideologi politik oleh DI/TII. Relevansinya dengan konteks Indonesia sebagai suatu negara-bangsa (nation state), secara sepintas mungkin tidak ada. Namun, bagi penulis memang sangat urgen untuk memikirkan kembali (rethinking) mengenai eksistensi bangsa Indonesia sebagai suatu bangsa yang besar. Jika kita merujuk pada pemikiran Augustinus mengenai Negara Tuhan dan diinterpretasikan secara kontekstual, maka akan muncul dari dalam diri kita masing-masing sebuah nawaitu (niat yang tulus), bahwa saya hidup mempertahankan Indonesia sebagai sebuah negara bangsa yang majemuk sebagai manifestasi penghambaan total kepada Tuhan Yang Maha Esa. Terbangunnya sikap hidup yang ikhlas, cinta kasih dan rela berkorban untuk kepentingan bangsa bukan kepentingan pribadi, partai politik, golongan dan semua ikatan politik identitas lainnya, merupakan wujud seorang yang sadar akan kemanusiaannya yang hidup di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kebencian, iri hati, kompetisi yang tidak sehat, pemiskinan, kesombongan, kebencian, amarah dan cinta diri (self love) hanyalah suatu sikap hidup yang pseudo eksistensinya. Sebab esensinya manusia merupakan makhluk yang baik dan bersih (fitrah). Simbolisasi Kabil yang sebenarnya baik namun ketika dia tidak bisa mengontrol diri terhadap naluri hewaniahnya, maka yang terjadi adalah rasa permusuhan, kebencian, iri hati. Tidak ada rasa keikhlasan, penghambaan total kepada Tuhan, cinta kasih dan damai. Hal inilah yang dirasa sudah mulai luntur bahkan hilang dari masyarakat Indonesia sekarang ini. Kehidupan bernegara, pemerintahan dari tingkat lokal sampai pusat penuh dengan intrik-intrik kotor, kebencian, saling memfitnah, amarah, tamak (korupsi) dan sebagainya. Semua elemen masyarakat mendambakan kehidupan yang harmonis, penuh kedamaian dan penghambaan total kepada Tuhan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Walaupun secara fitrah komposisi antagonistik antara damai dan perang, cinta dan benci, sombong dan rendah hati merupakan suatu keharusan demi keseimbangan jagad dunia ini. Augustinus pernah mengungkapkan jika suatu saat nanti pada akhirnya dunia akan dikuasai dan dipimpin oleh orang yang baik dan penuh ketaatan kepada Tuhan, simbolisasi The City of God. Bagaimana dengan Indonesia ?? Semoga.