Dalam sebuah kelas Kewarganegaraan seorang siswa kelas XI SMA bertanya kepada saya mengenai impeachment. “Pak, impeachment itu apa sih? emangnya Pak SBY dan Boediono bisa diimpeach? Sebagai seorang pendidik tentunya saya harus memberikan jawaban yang rasional berdasarkan legitimasi konstitusi Indonesia. Tapi sebelum saya memberikan jawaban sambil membuka lagi UUD 1945, lantas ada siswa lain yang melontarkan pertanyaan lagi. “Apa sih kaitannya antara Bank Century dengan impeachment itu, Pak?” Saya terkejut medengar pertanyaan para siswa saya ini. Mereka ternyata juga menyimak perkembangan dan dinamika politik yang akhir-akhir ini menunjukkan daya vibrasinya ke publik nasional dan internasional. Kasus Bank Century, evaluasi 100 hari kinerja SBY-Boediono dan kontrak ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA), sanggup menyita atensi publik disamping cerita-cerita klasik lainnya yang tak juga kunjung tuntas. Energi para elit politik dihabiskan untuk berlomba memberikan komentar, terhadap kasus Bank Century dan evaluasi 100 hari SBY-Boediono. Walaupun nurani rakyat mengatakan dengan jujur bahwa masyarakat tidak butuh komentar lagi sekarang, tetapi kerja nyata yang terbebas dari kepentingan sekelompok elit partai tertentu saja. Rasa keadilan masyarakat menjadi nukleus yang tidak hanya membuat pandangan negatif, ketika pemerintah memberikan mobil mewah seharga 1,3 miliar kepada para pejabat negara. Nurani publik secara ril sudah terkoyak-koyak saat ini, di saat disuguhi berita tentang adanya privatisasi sel mewah bagi terpidana kelas atas (koruptor, pejabat, pengusaha dan lainnya), kelompok pengusaha kecil dan menengah yang siap-siap terpinggirkan di jurang tanahnya sendiri (karena ACFTA) dan saling tuding serta fitnah yang menambah kredit poin para pejabat dan elit di negara ini.
Kembali ke pertanyaan siswa SMA tadi, untuk yang pertama saya tidaklah sukar untuk memberikan jawaban yang jelas dan rasional. Istilah impeachment merupakan domain ilmu politik dan hukum tata negara, jika diindonesiakan akan menjadi pemakzulan. Saya menjelaskan kepada para siswa di kelas tersebut, bahwa impeachment/pemakzulan adalah tindakan yang dilakukan oleh anggota legislatif untuk melengserkan presiden dan/atau wakil presiden jika terbukti melakukan pelanggaran hukum sesuai dengan konstitusi. Kualifikasi pelanggaran hukum dalam konteks impeachment ini yaitu penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagi presiden dan/atau wakil presiden. Penjelasan secara eksplisit mengenai mekanisme impeachment ini terdapat dalam UUD 1945 Pasal 7A dan 7B (ayat 1-7). Memang tidak sederhana, jika sebagian kecil anggota DPR bahkan beberapa pengamat saat ini sudah mewacanakan impeachment untuk SBY-Boediono. Tampak paradoksal dengan kekuatan ekstra perlemen yang bisa kita lihat akhir-akhir ini. Demonstrasi berbagai kalangan, kelompok dan elemen masyarakat, baik buruh, pedagang kecil, petani, pekerja, mahasiswa sampai kepada kalangan akademisi kampus, bekas pejabat negara dan purnawirawan, sekuat tenaga telah meneriakkan impeachment bagi kedua pemimpin negara tersebut.
Sejarah politik bangsa ini telah merasakan bagaimana kekuatan ekstra perlementer atau parlemen jalanan mampu memberikan pressure kepada rezim yang berkuasa. Betapa kuatnya wacana untuk memakzulkan almarhum Gus Dur ketika ada indikasi terkait kasus Brunaigate dan Buloggate walaupun secara hukum belum terbukti sampai sekarang. Sinergisitas antara kekuatan besar parlemen dan ekstra parlemen (rakyat) mampu memberikan daya tekan (secara politis). Banyak juga pengamat yang mengatakan jika wacana impeachment akan sia-sia, karena selain tidak akan terrealisasi dukungan dari parlemen (mayoritas Partai Demokrat), lagipula cost politicnya sangat besar. Implikasi sosial dan politik termasuk perekonomian nasional akan terganggu dengan tindakan ini. Ketika Gus Dur diwacanakan dan akhirnya memang diimpeach, konflik horizontal (para pendukung Gus Dur) nyaris terjadi, ditambah lagi dendam historis oleh pendukung Gus Dur sampai sekarang bagi rival politiknya (walaupun Gus Dur sendiri sudah memaafkan, tetapi tidak bisa melupakannya). Keadaan politik nasional berdampak kepada perekonomian ini sudah jelas akan terjadi. Begitu juga pada tahun 1997-1998 bagaimana perekonomian nasional hancur, yang salah satu pemicunya adalah dinamika politik yang terjadi. Ini yang dikhawatirkan oleh sebagian pengamat bahkan oleh ”yang akan diimpeach” itu sendiri.
Lantas apakah wacana impeachment harus distop begitu saja sebagai sebuah wacana politik hukum? Tentu tidak, sebab semestinya masyarakat jangan takut atau alergi dengan istilah impeacment/pemakzulan (walaupun bagi rakyat kecil istilah ”aneh/asing” itu tak berpengaruh bagi mereka yang sedang sibuk mencari sesuap nasi), apalagi bagi SBY-Boediono. Toh jika memang tidak bersalah dan dibuktikan sesuai hukum dan konstitusi, maka nurani publik bahkan kekuatan the silent mayority yang selama ini diam, akan habis-habisan membela pemimpinnya yang nyata-nyata dizhalimi, bukan ”merasa” dizhalimi. Jadi tidak ada kata takut bagi yang sedang berkuasa dengan istilah impeachment, karena istilah tersebut ”halal” dan sesuai konstitusi. Sepanjang mengedepankan prinsip transparansi dan keadilan di atas segalanya, maka apapun wacana (politis) yang dikemukakan, tidak akan menyita perhatian bahkan energi pemerintah (SBY-Boediono) untuk membuang waktu menanggapinya. Jangan terjebak kepada perangkap wacana-wacana (politis), yang hal itu akan menghambat kerja pemerintah. Jawaban inilah yang saya sampaikan kepada para siswa sebagai pendidik. Merekapun serius mendengarkan sambil mengerutkan dahinya (apakah mengerti atau tidak?).
Untuk pertanyaan kedua, saya mencari kata-kata yang pas dan tidak cenderung emosional apalagi tendensius. Karena sekarang ini masyarakat Indonesia sangat mudah sekali untuk diprovokasi, menghilangkan rasionalitas dan kepala dingin dalam menanggapi isu-isu tertentu, apalagi ini terkait presiden/wapres. Terlihat jelas di saat sebagian (kecil) aksi demonstrasi yang sekarang (mulai) marak lagi di Jakarta dan daerah, jelas mempertontonkan aksi anarkisme bahkan brutal. Kadang-kadang ini juga yang mencoreng sebuah aksi moral yang bernama demonstrasi untuk dilabeling oleh pemerintah dan (sebagian) masyarakat. Sebelum menjelaskan secara sederhana tentu menggunakan bahasa dan psikologi siswa SMA, saya mencoba melakukan simplifikasi (walaupun saya sebenarnya tidak setuju dengan simplifikasi) karena saking kompleksnya jika berbicara kasus Bank Century. ”Tidak ada kaitan antara Bank Century dengan impeachment,” Lantas para siswapun kembali mengerutkan dahinya, mungkin di benak mereka terbesit pikiran bukannya media sekarang sedang in meliput perkembangan penyelidikan Kasus Bank Century. Kemudian saya melanjutkan bahwa kasus Bank Century adalah perkara hukum. Jikalau kebijakan pejabat-pejabat terkait pada waktu itu memberikan dana talangan (bailout) sebesar 6,7 triliyun jelas dan pasti melanggar hukum, maka wajib untuk dituntaskan (tentu) secara hukum. Nah, munculnya Pansus DPR untuk melakukan penyelidikan sendiri (di luar lembaga yudikatif) terhadap kebijakan pemerintah, hanya salah satu upaya politik yang dilegitimasi oleh undang-undang, disebut dengan hak angket. Hasil penyelidikan Pansus DPR ini kemudian menghasilkan rekomendasi dan sikap, apakah benar kebijakan tersebut melanggar undang-undang atau tidak.
Sebagai seorang pendidik, memang membutuhkan energi yang besar untuk menjadi ”media kultural” antara teori-teori yang siswa pelajari di buku dengan realita politik yang sepenuhnya tidak sederhana yang siswa pikirkan. Melanjutkan sedikit penjelasan sederhana tadi, jadi jika rekomendasi DPR itu menyangkut presiden dan/atau wapres ada indikasi (sesuai dengan fakta-fakta, bukti, saksi dan tentunya tanpa kepentingan politik tertentu), DPR melanjutkan usulan pemberhentian bagi presiden dan/atau wapres kepada MPR. Tapi dalam Pasal 7B ada prasyarat sebelum mengusulkan ke MPR, yakni terlebih dulu mengajukan permintaan kepada Makamah Konstitusi (MK) untuk memeriksa, mengadili dan memutus pendapat DPR bahwa (jika dianggap oleh DPR) presiden dan/atau wapres telah melakukan pelanggaran hukum (sesuai Pasal 7A). Pengajuan ke MK itupun harus disetujui minimal 2/3 anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna dan dihadiri minimal 2/3 dari jumlah anggota DPR. Jadi pendapat DPR (hasil Pansus) bukan merupakan keputusan final dalam (hal ini) hukum tata negara. Tak selesai di sini, MK wajib memberikan keputusan yang adil dan seadil-adilnya terhadap pendapat DPR tersebut. Jika isi putusan MK memperkuat pendapat DPR maka harus ditindaklanjuti oleh DPR dengan menggelar sidang paripurna untuk meneruskan usulan pemberhentian presiden dan/atau wapres kepada MPR. Barulah MPR menyelenggarakan sidang istimewa untuk memutuskan pemberhentian presiden dan/atau wapres. Keputusan tersebut diambil dalam sidang yang dihadiri minimal 3/4 jumlah anggota MPR dan disetujui minimal 2/3 jumlah anggota MPR yang hadir.
Selesai menjelaskan semua itu, para siswa makin mengerutkan dahinya. ”Kok ribet ya Pak?”. Ternyata sayapun tidak konsisten untuk memaparkan secara sederhana menggunakan bahasa dan psikologi mereka. Memang mengenai impeachment ini rakyat tidak diajak untuk menyederhanakan persoalan atau simplifikasi kasus. Karena mekanisme impeachmentpun sangat complicated untuk diuraikan, apalagi dilaksanakan secepat mungkin. Tapi jangan juga kita alergi dan merasa aneh bahkan takut dengan impeachment, karena presiden dan/atau wapres bukanlah malaikat dan konstitusi Indonesia memberikan ruang bagi dilakukannya impeachment. Akhirnya sejarah bangsa inipun akan membuktikan bahwa kebenaran itu memang tidak memihak, tapi berdiri independen di kedalaman hati dan pikiran kita. ”Terima kasih ya Pak atas penjelasannya, tapi politik itu memang tak pernah bisa diduga ya Pak,” Itulah ucapan siswa kelas XI SMA sebagai epilog pertemuan di kelas pada hari itu, sambil menduga-duga apa yang akan terjadi dalam politik Indonesia besok pagi.
[1] Tulisan ini dimuat di Majalah Pendidikan GOCARA, Edisi 15/III/Maret 2010