Monthly Archives: November 2009

Robohnya Rumah Kami Oleh Satriwan

Standar

Ketika membaca judul tulisan singkat ini, terkenang akan judul sebuah mahakarya A.A. Navis yang revolusioner, radikal dan progresif sebagai bentuk dekonstruksi sosial-kultural sekaligus direkonstruksi secara utuh, sebuah roman “Robohnya Surau Kami”. Realita sosial yang menjadi serpihan-serpihan kehidupan terserak, diupayakan untuk dibangun kembali dalam suatu tatanan sosial yang madani. Roboh merupakan sebuah kata yang bermakna ideologis dan filosofis, kemudian diinterpretasikan dalam artikulasi realita sosial yang hidup. Roboh bisa saja diinterpretasikan secara negatif, sebagai bentuk pesimisme. Sesuatu yang hancur, luluh-lantak, berantakan menjadi puing-puing dan berserakan. Roboh secara ideologis diinterpretasikan secara radikal menjadi suatu dekonstruksi yang pada susbstansinya menjadi lebih tajam dan berisi. Teologi dekonstruksi menjadi suatu paham dan nalar filsafat yang dikembangkan oleh Jacques Derrida seorang filsuf Yahudi. Dekonstruksi jangan diartikan melulu bermakna bahwa sesuatu yang dihancurkan itu pasti tidak bisa lagi kembali secara utuh, terbangun dan disusun seperti awalnya. Penulis mencoba mengelaborasi lebih mendalam dan merefleksikannya dengan realita kehidupan berbangsa sekarang. Karakter yang hidup di dalam teologi dekonstruksi esensinya memiliki orientasi yang membangun. Boleh saja masyarakat awam menilai bahwa kehancuran, keterpurukan dan ketidaknormalan (anomali) adalah kondisi yang negatif. Dekonstruksi tidak berhenti pada titik hancur saja, tetapi dilanjutkan menjadi upaya pasca dekonstruksi untuk merekonstruksinya sebagai bentuk tanggung jawab moral.

Refleksi dari sesuatu yang hancur, jatuh dan terpuruk bisa dilihat dari bagaimana realita dan dinamika kehidupan bangsa Indonesia sekarang. Realita kehidupan bernegara dipandang dari sudut politik, hukum, sosial, ekonomi, pendidikan, budaya dan keamanan sangat menarik ditelisik melalui idiom roboh tersebut.  Hukum yang semestinya menjadi panglima atau ujung tombak terhadap pelaksanaan kehidupan demokrasi di negara ini, malah cenderung untuk dinomorduakan oleh para pemimpin bangsa. Sebab para pemimpin berkonsensus secara konvensional untuk menjadikan politik sebagai panglima. Walaupun Jimly Asshiddiqie telah mengingatkan kepada publik nasional bahwa jangan jadikan politik sebagai panglima. Hukum di Indonesia ditempatkan dalam posisi yang jauh, jauh terletak di kantong para markus alias makelar khusus. Hukum diperdagangkan tergantung kepada siapa yang mampu menawar sebuah kasus hukum, baik kepada jaksa, hakim maupun kepolisian. Entitas hukum sejatinya sebuah instrumen yang penuh nilai moral profetis, untuk selalu ditempatkan di garda terdepan mengawal jalannya kehidupan bernegara. Tetapi ketika hukum sudah diletakkan di ketiak para oknum-oknum penagak hukum tadi, maka tunggulah kerobohan pertama sendi-sendi kehidupan suatu bangsa. Publik sekarang setiap hari bahkan tiap jam disuguhi oleh berita tentang kasus KPK, Bank Century, Kasus Antasari bahkan menjadi sarapan pagi seorang tukang becak dan kuli panggul di Pasar Klewer. Karena mereka tidak sengaja membaca sobekan koran bekas penutup kepala ibu-ibu pedagang pasar ketika hujan. Jika keadaan seperti itu maka wajah hukum nasional harus didekonstruksi atau dirobohkan untuk dibangun ulang secara radikal.

Sebagai the art of possible politik oleh para politikus pasti diinterpretasikan bahwa berpolitik itu adalah rangkaian kegiatan yang penuh kemungkinan-kemungkinan. Jadi terbuka peluang bagi para anggota parlemen, menteri, presiden dan semua stakeholdernya untuk melakukan gerakan zig-zag. Sekarang bersikap A tetapi 1 jam berikutnya bisa secara sporadis bersikap BCDZ, dst. Politik sekedar menjadi insrumen hampa makna dan sekedar menonjolkan profanitas belaka. Semestinya berpolitik dijadikan sebagai media/alat untuk menciptakan tatanan hidup berbangsa dan bernegara yang utuh, beradab dan tidak roboh. Dengan beralibikan bahwa politik adalah kemungkinan maka taklah heran jika para anggota parlemen dan pemimpin nasional lekat dengan inkonsistensi. Karena adagium yang menjadi landasan berbuatnya yaitu konsisten dalam inkonsistensi. Bagaimana rumah nasional yang besar ini akan tidak roboh jikalau moral profetis politik dikesampingkan untuk mendahulukan segenggam kekuasaan. Karena kekuasaan menjadi magnet penarik yang efektif untuk melakukan apapun bagi rumah nasional tadi. Tiga kasus besar itu telah memonopoli hak masyarakat untuk memperoleh berita lain yang juga penting. Terjadi tarik menarik antara KPK, Kepolisian, Kejaksaan, DPR bahkan Presiden yang sampai sekarang rentan untuk dijadikan komoditas politik. Langkah yang tepat dan jitu publik harapkan dari presiden untuk memberikan sikap yang tidak terkesan normatif dan datar saja. Bagaimanapun juga jika keadaan seperti ini terus digulirkan maka akan seperti bola salju dan bisa ditarik ke segala arah. Perlu kiranya presiden dan para pemimpin nasional melakukan dekonstruksi dalam upaya merobohkan standar-standar baku yang selama ini dijadikan pijakan yang salah, kemudian direkonstruksi menjadi sikap yang jelas, solutif dan konsisten.

Bagaimana dengan wajah pendidikan nasional yang juga dipandang sebagai bagian yang vital dalam membangun rumah nasional Indonesia ? Di tengah-tengah percaturan dunia global yang berkonversi menjadi global village, pendidikan tanah air belum mampu menjawab ragam persoalan mendasar rumah nasional Indonesia. Pendidikan sampai sekarang masih berorientasi pasar, perusahaan dan cenderung ekonomis. Terbukti dengan regulasi nasional pendidikan yang dilahirkan oleh negara, seperti UU BHP, UU Guru dan Dosen dan segala macam turunannya taklah mencirikan fundamental pendidikan. Tak aneh jika karakter anak didik bakan pendidik di rumah nasional ini adalah karakter mekanik. Karakter yang membuat mental-mental manusia yang hidup direduksi menjadi seperti mekanik, mesin pabrik bahkan robot. Sungguh ini fenomena yang tragis untuk dipahami bersama oleh penghuni rumah nasional Indonesia. Perlu gerakan radikal dan ekstrem untuk merobohkan sisa-sisa kultur penjajah, yang masih tertanam dan mengevaluasinya secara menyeluruh. Sebuah mesin tak lain adalah sekedar alat yang mati tak bernyawa dan hampa akan makna kehidupan. Jika orientasi pendidikan sekali lagi hanya akan memproduksi anak-anak didik yang bermental mekanik, maka kerobohan rumah besar ini tinggal menunggu waktu. Pendidikan harus didekonstruksi dari karakternya yang mekanis dibangun menjadi karakter organik, suasana yang dinamis, hidup dan mampu membaca alam sekitar untuk diterjemahkan ke dalam perilaku kehidupan yang beradab.

Rumah nasional Indonesia ini adalah rumah yang besar dan butuh inspirasi-inspirasi segar dan revolusioner untuk di tata ulang. Ada kalangan awam yang mengatakan bahwa sebenarnya rumah Indonesia ini sudah roboh, lihatlah yang terjadi sekarang. Namun bagi penulis roboh tersebut jangan selalu diidentikan dengan paradigma negatif atau buruk. Perlu tenaga baru, ide baru, bahkan manusia-manusia baru yang berparadigma revolusioner konstruktif untuk mendekonstruksi secara total dan utuh kehidupan di rumah besar yang bernama Indonesia. Rakyat letih jika setiap hari disuguhkan oleh kepura-puraan wajah dan sikap pemimpin bangsa. Penguasa yang berlindung kepada demokrasi yang sebenarnya pseudo-demokrasi, berlindung kepada undang-undang yang dibuat untuk menjaga dan melegalkan tindakan kotornya. Sangatlah perlu untuk menengok bagaimana kedaan rakyat secara ril, kemiskinan yang selalu bertambah, angka pengangguran dan kebodohan. Jangan lagi memperdebatkan angka-angka kemiskinan, ekonomi makro, angka inflasi, investasi, pengangguran, karena kemiskinan, kebodohan dan pengangguran bukanlah bangunan angka-angka yang bisa diperdebatkan di layar televisi, tetapi sebuah realita dari bahasa tubuh rakyat yang sudah kering karena kekurangan air bersih. Tulisan sederhana ini menjadi refleksi kontemplatif, bagi penghuni rumah Indonesia untuk sekedar menunggu roboh atau merobohkannya untuk dibangun kembali menjadi rumah bersama yang madani.

Membaca Ulang People Power Oleh Satriwan

Standar

Istilah people power lebih dikenal oleh publik dunia ketika terjadi gerakan rakyat untuk menentang otoritarianisme Ferdinand Marcos, Presiden Philipina. Gerakan rakyat yang dilakukan secara terbuka dan massif itu dimotori Jose Rizal dan Corazon Aquino, untuk menumbangkan rezim despotik Ferdinand Marcos. People power yang terjadi di Philipina pada 1986 kemudian terulang pada 2001, di saat rezim korup Joseph Estrada diulingkan oleh gerakan rakyat yang bersatu. Jika ditelisik secara mendalam, hampir setiap negara berkembang (masih dalam transisi demokrasi), memang kekuatan rakyat dijadikan sebagai instrumen sosial-politik untuk melakukan penentangan terhadap suatu rezim yang berkuasa. Transisi menuju negara demokrasi membutuhkan korban yang sebenarnya bukan tujuan dari demokrasi itu sendiri. Namun realita sejarah membuktikan bahwa people power memang memakan korban nyawa, harta, cost politik, perekonomian yang tidak stabil yang berdampak pada stabilitas nasional secara keseluruhan. Tapi menjadi kekuatan yang efektif dan radikal untuk menumbangkan bentuk kesombongan politik, diktatorianisme, otoritarianisme dan despotisme.

Patut untuk dibaca kembali bagaimana sejarah politik kenegaraan di republik Indonesia ini, yang belum berusia matang pasca gejolak reformasi berkobar. Tahun 1998 menjadi momentum politis-historis untuk dibuktikannya kembali bahwa kekuatan rakyat mampu dan efektif untuk menghentikan pemerintahan yang otoriter. People power menjadi sebuah gerakan massa yang sangat besar, barasal dari lintas profesi, agama, suku, golongan, gender, usia bahkan afiliasi ideologi. Rezim despotik Soeharto yang dalam bahasa sejarah dan politik disebut Orde Baru, harus berhenti dan diam pada titik klimaks demonstrasi yang meminta Soeharto mundur. Titik klimaks politik yang menentukan dengan mundurnya Soeharto, yang sebenarnya tak berhenti pada turunnya Soeharto saja.       Menjadi lebih menarik untuk dipahami adalah fase-fase sejarah yang dilalui oleh rakyat, lebih khususnya komponen-komponen masyarakat yang terlibat langsung dalam penentangan rezim dengan berbagai artikulasi politiknya. Mesti untuk dielaborasi, yaitu karakteristik sejati dari people power tersebut. Apakah sama karakteristik gerakan rakyat untuk menentang rezim di Philipina, Indonesia dan negara lain? Untuk menjawab ini dibutuhkan kajian sosiologis, politik bahkan ekonomi agar terbangun jawaban ilimiah dan benar-benar menyejarah.

Gelombang menuju puncak people power bukanlah given begitu saja atau dengan bahasa lain terjadi begitu saja (by condition). Fase-fase awal sebagai pendahulu gerakan kekuatan rakyat adalah sesuatu yang harus ada. 1998 hanya menjadi puncak kristal yang sebelumnya telah mengalami proses kristalisasi keadaan yang didorong oleh berbagai faktor, mulai dari keadaan ekonomi, realita sosial, politik, pertahanan keamanan bahkan luar negeri. Empat faktor tersebut sangat determinatif terhadap terjadinya akumulasi kekuatan rakyat. Diawali dari krisis ekonomi 1997, terjadinya inflasi ekonomi, merosotnya harga rupiah terhadap dollar, mencuatnya utang negara kepada luar negeri (termasuk lembaga keuangan dunia, seperti IMF), stabilitas politik yang menghadapi gejolak bahkan gerakan-gerakan yang secara politik ingin segera menurunkan Soeharto. Namun yang menjadi benang merahnya yaitu kekuatan rakyat tersebut diartikulasikan dalam bentuk gerakan kolektif menasional yang bertujuan sama, tanpa memandang garis ideologi seseorang, agama, suku dan afiliasi gerakan, yaitu menurunkan rezim yang berkuasa

Saat ini masyarakat Indonesia sedang disuguhkan oleh berita tentang ditangkapnya 2 pimpinan KPK non-aktif, yang menjadi headline di berbagai media. Presiden diminta oleh berbagai tokoh lintas profesi dan berbagai kalangan untuk ikut memberikan kepastian kepada masyarakat, kemudian hal itu diterjemahkan ke dalam kebijakan dengan membentuk Tim Investigasi atau Tim Pencari Fakta (TPF) seperti yang terjadi untuk kasus Tragedi Trisakti Mei ’98 dan kasus Munir. Tuntutan tersebut diterima presiden lalu terbentuklah sebuah tim untuk mencari dan menganalisis apa yang sebenarnya terjadi antar lembaga kepolisian dengan KPK, dengan ditangkapnnya 2 orang pimpinan KPK tersebut. Masyarakat Indonesia hampir tiap hari disuguhi drama kontroversi penangkapan tersebut, sampai-sampai cerita Bank Century, Kasus Penganiayaan TKI di Malaysia, Indonesian Summit 2009, Kasus BLBI, Kasus Aliran Dana BI bahkan evaluasi terhadap kinerja anggota legislatif dan Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II menjadi terlupakan bahkan (sengaja) dilupakan, tapi sekali lagi di sini berbicara strategi media juga. Patut dicermati dari narasi berliku KPK sekarang ini adalah kontroversi ditangkapnya 2 pimpinan KPK tersebut yang menyulut emosi masyarakat Indonesia, yang membaca langsung dari media maupun sekedar ikut-ikutan saja, untuk memberikan dukungan moral (kontra penangkapan) terhadap pimpinan KPK. Dukungan tersebut kemudian diterjemahkan ke dalam berbagai aksi dan gerakan secara nasional untuk mengungkap yang terjadi sebenarnya di balik penangkapan itu.

Pada Senin 2 November 2009 menjadi titik awal diberikannya dukungan (dengan demonstrasi dan menggunakan baju atau pita hitam) terhadap mereka. Para pengamat, akademisi dan banyak kalangan menilai bahwa dukungan rakyat tersebut tidak main-main. Hal ini bisa berpotensi menjadi people power, inilah yang diungkapkan oleh Hikmahanto Juwana (Guru Besar FH UI) yang sekarang menjadi salah satu anggota tim investigasi. Membaca dukungan secara nasional terhadap pimpinan KPK ini memang tak hanya secara personal, tapi lebih kepada dukungan terhadap eksistensi lembaga negara yang bernama KPK dengan tugas dan fungsinya. Sebagian besar komponen masyarakat mengkhawatirkan adanya semacam ”gerakan halus atau bawah tanah” yang dilakukan oleh invisible move untuk melemahkan KPK. Dalam konteks ini KPK diupayakan untuk dikebiri, dilemahkan bahkan ditiadakan. Hal itu sudah disinyalir oleh banyak kalangan, baik aktivis LSM, akademisi maupun masyarakat pada umumnya. Semua itu terbukti dengan ragam ”rekayasa” yang dibaca oleh publik dan menjadi pendulum bagi semangat untuk membela agar KPK tetap eksis. People power yang dikhawatirkan oleh banyak kalangan tadi memang bukanlah satu kekhawatiran kolektif yang emosional bahkan terkesan menakut-nakuti saja. Tapi sebagai artikulasi sikap yang terpendam selama ini dengan berbagai indikasi yang mengarah ke sana (pelemahan KPK). Rakyat secara emosional memang tidak mau negara tercinta ini menjadi sarang bagi koruptor. Jangan sampai, jika asumsi publik tadi benar maka tunggulah sebuah gerakan massif yang di sana berhimpun kekuatan rakyat omni potent akan menjadi nyata. Inilah kekhawatiran mendasar yang dikemukakan oleh banyak tokoh. Kekuatan rakyat yang terkristal karena dipicu oleh ”penzholiman” terhadap KPK, baik secara personal maupun kelembagaan.

Namun penulis menilai bahwa secara nasional, drama KPK ini informasinya belum secara utuh didapatkan dan diterima oleh masyarakat. Walaupun sudah menjadi isu dan cerita nasional, tapi cukup rumit dan complicated untuk menjelaskan sejak awal terjadi (testimoni Antasari Azhar) sampai ditangkapnya 2 pimpinan KPK lainnya. Harus dibaca ulang kembali, jika karakteristik sebuah gerakan rakyat yang bermutasi menjadi people power, selalu dimulai dari kompleksitas keadaan negara dilihat dari berbagai faktor tadi. Adanya yang pro terhadap sikap kepolisian menangkap personil KPK, memang jangan dijadikan acuan bahwa tidak semua komponen masyarakat ternyata yang menyalahkan sikap kepolisian. Tapi jangan lupa melihat narasi berliku KPK ini dari kacamata sistem hukum. Apa yang ada dalam UU KPK No. 30 Tahun 2002 dan KUHAP di negara kita. Kekuatan rakyat memang bukanlah kekuatan massa belaka yang ditentukan oleh berapa banyak kuantitas masyarakat yang menginginkan agar KPK tidak dizholimi, tetapi lebih kepada kekuatan moral profetis untuk mampu membaca keadaan sosial masyarakat yang jauh dari prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, transparansi, good government, kebebasan pers, berkeadaban dan menjunjung tinggi HAM. Jika prinsip-prinsip fundamental negara demokrasi tersebut dilumpuhkan (walaupun satu), maka people power akan memasuki jilid II dalam merekonstruksi republik ini.