Ketika membaca judul tulisan singkat ini, terkenang akan judul sebuah mahakarya A.A. Navis yang revolusioner, radikal dan progresif sebagai bentuk dekonstruksi sosial-kultural sekaligus direkonstruksi secara utuh, sebuah roman “Robohnya Surau Kami”. Realita sosial yang menjadi serpihan-serpihan kehidupan terserak, diupayakan untuk dibangun kembali dalam suatu tatanan sosial yang madani. Roboh merupakan sebuah kata yang bermakna ideologis dan filosofis, kemudian diinterpretasikan dalam artikulasi realita sosial yang hidup. Roboh bisa saja diinterpretasikan secara negatif, sebagai bentuk pesimisme. Sesuatu yang hancur, luluh-lantak, berantakan menjadi puing-puing dan berserakan. Roboh secara ideologis diinterpretasikan secara radikal menjadi suatu dekonstruksi yang pada susbstansinya menjadi lebih tajam dan berisi. Teologi dekonstruksi menjadi suatu paham dan nalar filsafat yang dikembangkan oleh Jacques Derrida seorang filsuf Yahudi. Dekonstruksi jangan diartikan melulu bermakna bahwa sesuatu yang dihancurkan itu pasti tidak bisa lagi kembali secara utuh, terbangun dan disusun seperti awalnya. Penulis mencoba mengelaborasi lebih mendalam dan merefleksikannya dengan realita kehidupan berbangsa sekarang. Karakter yang hidup di dalam teologi dekonstruksi esensinya memiliki orientasi yang membangun. Boleh saja masyarakat awam menilai bahwa kehancuran, keterpurukan dan ketidaknormalan (anomali) adalah kondisi yang negatif. Dekonstruksi tidak berhenti pada titik hancur saja, tetapi dilanjutkan menjadi upaya pasca dekonstruksi untuk merekonstruksinya sebagai bentuk tanggung jawab moral.
Refleksi dari sesuatu yang hancur, jatuh dan terpuruk bisa dilihat dari bagaimana realita dan dinamika kehidupan bangsa Indonesia sekarang. Realita kehidupan bernegara dipandang dari sudut politik, hukum, sosial, ekonomi, pendidikan, budaya dan keamanan sangat menarik ditelisik melalui idiom roboh tersebut. Hukum yang semestinya menjadi panglima atau ujung tombak terhadap pelaksanaan kehidupan demokrasi di negara ini, malah cenderung untuk dinomorduakan oleh para pemimpin bangsa. Sebab para pemimpin berkonsensus secara konvensional untuk menjadikan politik sebagai panglima. Walaupun Jimly Asshiddiqie telah mengingatkan kepada publik nasional bahwa jangan jadikan politik sebagai panglima. Hukum di Indonesia ditempatkan dalam posisi yang jauh, jauh terletak di kantong para markus alias makelar khusus. Hukum diperdagangkan tergantung kepada siapa yang mampu menawar sebuah kasus hukum, baik kepada jaksa, hakim maupun kepolisian. Entitas hukum sejatinya sebuah instrumen yang penuh nilai moral profetis, untuk selalu ditempatkan di garda terdepan mengawal jalannya kehidupan bernegara. Tetapi ketika hukum sudah diletakkan di ketiak para oknum-oknum penagak hukum tadi, maka tunggulah kerobohan pertama sendi-sendi kehidupan suatu bangsa. Publik sekarang setiap hari bahkan tiap jam disuguhi oleh berita tentang kasus KPK, Bank Century, Kasus Antasari bahkan menjadi sarapan pagi seorang tukang becak dan kuli panggul di Pasar Klewer. Karena mereka tidak sengaja membaca sobekan koran bekas penutup kepala ibu-ibu pedagang pasar ketika hujan. Jika keadaan seperti itu maka wajah hukum nasional harus didekonstruksi atau dirobohkan untuk dibangun ulang secara radikal.
Sebagai the art of possible politik oleh para politikus pasti diinterpretasikan bahwa berpolitik itu adalah rangkaian kegiatan yang penuh kemungkinan-kemungkinan. Jadi terbuka peluang bagi para anggota parlemen, menteri, presiden dan semua stakeholdernya untuk melakukan gerakan zig-zag. Sekarang bersikap A tetapi 1 jam berikutnya bisa secara sporadis bersikap BCDZ, dst. Politik sekedar menjadi insrumen hampa makna dan sekedar menonjolkan profanitas belaka. Semestinya berpolitik dijadikan sebagai media/alat untuk menciptakan tatanan hidup berbangsa dan bernegara yang utuh, beradab dan tidak roboh. Dengan beralibikan bahwa politik adalah kemungkinan maka taklah heran jika para anggota parlemen dan pemimpin nasional lekat dengan inkonsistensi. Karena adagium yang menjadi landasan berbuatnya yaitu konsisten dalam inkonsistensi. Bagaimana rumah nasional yang besar ini akan tidak roboh jikalau moral profetis politik dikesampingkan untuk mendahulukan segenggam kekuasaan. Karena kekuasaan menjadi magnet penarik yang efektif untuk melakukan apapun bagi rumah nasional tadi. Tiga kasus besar itu telah memonopoli hak masyarakat untuk memperoleh berita lain yang juga penting. Terjadi tarik menarik antara KPK, Kepolisian, Kejaksaan, DPR bahkan Presiden yang sampai sekarang rentan untuk dijadikan komoditas politik. Langkah yang tepat dan jitu publik harapkan dari presiden untuk memberikan sikap yang tidak terkesan normatif dan datar saja. Bagaimanapun juga jika keadaan seperti ini terus digulirkan maka akan seperti bola salju dan bisa ditarik ke segala arah. Perlu kiranya presiden dan para pemimpin nasional melakukan dekonstruksi dalam upaya merobohkan standar-standar baku yang selama ini dijadikan pijakan yang salah, kemudian direkonstruksi menjadi sikap yang jelas, solutif dan konsisten.
Bagaimana dengan wajah pendidikan nasional yang juga dipandang sebagai bagian yang vital dalam membangun rumah nasional Indonesia ? Di tengah-tengah percaturan dunia global yang berkonversi menjadi global village, pendidikan tanah air belum mampu menjawab ragam persoalan mendasar rumah nasional Indonesia. Pendidikan sampai sekarang masih berorientasi pasar, perusahaan dan cenderung ekonomis. Terbukti dengan regulasi nasional pendidikan yang dilahirkan oleh negara, seperti UU BHP, UU Guru dan Dosen dan segala macam turunannya taklah mencirikan fundamental pendidikan. Tak aneh jika karakter anak didik bakan pendidik di rumah nasional ini adalah karakter mekanik. Karakter yang membuat mental-mental manusia yang hidup direduksi menjadi seperti mekanik, mesin pabrik bahkan robot. Sungguh ini fenomena yang tragis untuk dipahami bersama oleh penghuni rumah nasional Indonesia. Perlu gerakan radikal dan ekstrem untuk merobohkan sisa-sisa kultur penjajah, yang masih tertanam dan mengevaluasinya secara menyeluruh. Sebuah mesin tak lain adalah sekedar alat yang mati tak bernyawa dan hampa akan makna kehidupan. Jika orientasi pendidikan sekali lagi hanya akan memproduksi anak-anak didik yang bermental mekanik, maka kerobohan rumah besar ini tinggal menunggu waktu. Pendidikan harus didekonstruksi dari karakternya yang mekanis dibangun menjadi karakter organik, suasana yang dinamis, hidup dan mampu membaca alam sekitar untuk diterjemahkan ke dalam perilaku kehidupan yang beradab.
Rumah nasional Indonesia ini adalah rumah yang besar dan butuh inspirasi-inspirasi segar dan revolusioner untuk di tata ulang. Ada kalangan awam yang mengatakan bahwa sebenarnya rumah Indonesia ini sudah roboh, lihatlah yang terjadi sekarang. Namun bagi penulis roboh tersebut jangan selalu diidentikan dengan paradigma negatif atau buruk. Perlu tenaga baru, ide baru, bahkan manusia-manusia baru yang berparadigma revolusioner konstruktif untuk mendekonstruksi secara total dan utuh kehidupan di rumah besar yang bernama Indonesia. Rakyat letih jika setiap hari disuguhkan oleh kepura-puraan wajah dan sikap pemimpin bangsa. Penguasa yang berlindung kepada demokrasi yang sebenarnya pseudo-demokrasi, berlindung kepada undang-undang yang dibuat untuk menjaga dan melegalkan tindakan kotornya. Sangatlah perlu untuk menengok bagaimana kedaan rakyat secara ril, kemiskinan yang selalu bertambah, angka pengangguran dan kebodohan. Jangan lagi memperdebatkan angka-angka kemiskinan, ekonomi makro, angka inflasi, investasi, pengangguran, karena kemiskinan, kebodohan dan pengangguran bukanlah bangunan angka-angka yang bisa diperdebatkan di layar televisi, tetapi sebuah realita dari bahasa tubuh rakyat yang sudah kering karena kekurangan air bersih. Tulisan sederhana ini menjadi refleksi kontemplatif, bagi penghuni rumah Indonesia untuk sekedar menunggu roboh atau merobohkannya untuk dibangun kembali menjadi rumah bersama yang madani.