Dalam sebuah kolom catatan sebuah koran nasional, pernah dimuat ulasan sederhana namun menyentuh tentang republik ini. Indonesia sebagai negara modern saat ini tengah berada dalam fase ketiga, pasca runtuhnya negara Sriwijaya dan Majapahit. Cakupan kekuasaan Sriwijaya, yang lebih dulu berdiri dan juga bubar, sampai ke Kamboja dan pengaruhnya bahkan sampai ke Benua Afrika. Begitu pula penerusnya, sebuah kekuatan politik nusantara yang terbangun dari tradisi perebutan kuasa atas nama harta dan kuasa. Akhirnya negara kedua Majapahit pun runtuh akibat penyakit yang sama yaitu perebutan kuasa. Tak bisa dilupakan begitu saja adalah, kenapa tradisi perebutan kuasa itu menjadi karakteristik dari kerajaan-kerajaan nusantara. Mungkin karena domain pembicaraan ini adalah politik, maka sangat halal untuk memasukkan kuasa dan perebutannya. Sebab politik dan kuasa adalah dua kata yang maknanya sama. Walaupun tinggal cerita dan sejarah lama nusantara, perkara perebutan kuasa, dengan berbagai cara, seperti yang dicontohkan oleh Ken Arok seolah-olah menjadi yurisprudensi bagi penerusnya dan masyarakat sampai sekarang.
Fase Indonesia sebagai negara modern saat ini, telah melampaui garis-garis sejarah kerajaan nusantara lama. Namun berbagai tradisi kuasa yang dibangun sampai detik ini tetap dipraktikkan oleh yang berkuasa dan yang dikuasai. Mental-mental inlander, kata-kata Soekarno itu menjadi ingatan kolektif masyarakat Indonesia. Agar jangan sampai penduduk nusantara ini tetap konsisten untuk merasa inferior dan terjajah. Filsafat kuasa memang menarik untuk dibaca dan diobrolkan bersama. Karena republik ini berdiri juga karena kuasa. Bayangkan jika tidak ada kekuatan, yang punya kuasa dan yang dikuasai, maka janganlah disebut republik objek tersebut. Bermilyar-milyar uang dikeluarkan hanya untuk sebuah kuasa. Belum lagi cara-cara yang ditempuh. Semangat Ken Arok dan beragam tradisi ilmu kuasa yang diwariskan oleh para pendahulu, tetap dijaga bahkan dimodifikasi sesuai konteks zaman. Tetap ujungnya adalah semua berebut untuk menjadi yang berkuasa. Desentralisasi atau lebih ngetrend disebut otonomi daerah, sampai detik ini belum memberikan kontribusi yang berarti dan substantif bagi yang dikuasai. Pemekaran daerah akhirnya hanya selimut, untuk berlomba-lomba menjadi yang berkuasa dan momentum untuk mengekplorasi yang dikuasai. Apakah memang takdir jika yang dikuasai itu pasti selalu lemah? inilah pertanyaan teologisnya.
Jika ditambah momentum Pemilu baik untuk presiden maupun legislatif, hal ini akan lebih mencengangkan lagi. Tetap konsisten untuk berburu agar menjadi yang kuasa dengan tradisi yang ditinggalkan para leluhur nusantara. Bagaimana setelah berkuasa? Ini yang lebih naïf lagi untuk diobrolkan. Kadang-kadang timbul pertanyaan sederhana, apakah memang setiap yang punya kuasa itu hanya bekerja untuk dirinya, bukan untuk yang dikuasai? Lagi-lagi pertanyaan ontologis ini harus dijawab segera. Jika dipandang sekeliling bumi nusantara, memang titik konvergensi antara demokrasi dan kesejahteraan tak bertemu. Demokrasi direduksi menjadi perebutan kuasa dengan beragam cara dan modifikasinya. Sedangkan kesejahteraan hanya tinggal perdebatan kuantitatif yang baku dan mati di kertas-kertas kantor. Obrolannya memang melangit mungkin, demokrasi dan kesejahteraan, apalagi jika dikatakan kesejahteraan rakyat. Tapi yang punya kuasa tentu dengan kuasanya pasti sangat mudah untuk melontarkan kata sakti kesejahteraan tadi. Karena kesejahteraan adalah bagian dari strategi perebutan kuasa yang sudah dimodifikasi.
Magnet kuat kuasa akan menarik setiap yang haus kuasa, karena memang secara psikologis, manusia mempunyai insting untuk punya kuasa. Jangankan untuk mempengaruhi yang lain, setidaknya manusia punya kuasa untuk mempertahankan dirinya. Jadi kuasa itu memang berlian yang menggiurkan bagi yang melihatnya. Setiap yang punya kuasa pasti secara psikologis ingin mempertahankan kuasanya, bahkan melanjutkan. Obrolan tentang yang punya kuasa ini seharusnya berhenti, ketika kata-kata sederhana dan sering diucapkan yaitu amanah menjadi pijakan moral. Amanah secara semantik mempunyai akar yang sama dengan iman dan aman, begitulah yang dikatakan Komarudin Hidayat. Jika yang punya kuasa merasakan bahwa kuasanya itu karena amanah, dijalankan dengan iman maka akan tercapai aman. Secara vertikal, yang dikuasai telah iman kepada yang punya kuasa. Yang punya kuasa juga menjalankan amanah dengan penuh iman, tercapailah aman. Ini penjelasan sederhana mungkin, namun sayang jika dibuang begitu saja, dan masih jauh untuk saat ini.
Jika yang punya kuasa sudah berprinsip kuasanya itu amanah, maka tidak aka ada lagi perebutan kuasa dengan segala modifikasinya, yang semua itu tetap tak berpengaruh bagi yang dikuasai, karena tetap saja lemah dan dipinggirkan. Masalah republik sejak zaman Sriwijaya dan Majapahit tak lepas dari perebutan dan pertarungan. Tidaklah aneh, jika penerus republik ini sekarang dengan bangga berebut lahan dan bertarung di tengah kota untuk mendapat kuasa. Tak memikirkan nyawa, harta bahkan dosa. Tapi untuk yang terkahir itu, tak usah diobrolkan lebih dalam, karena dosa hanya obrolan-obrolan eskatologis yang berhenti ketika di mushola atau gereja. Sekali lagi tradisi perebutan akan kuasa menjadi trend dalam narasi sejarah nusantara. Lalu kemana cerita klasik yang dikuasai tadi, yang bahasa verbal politisnya sering disebut rakyat? Jangan-jangan hanya tinggal cerita atau legitimasi untuk perebutan kuasa. Ini bukan insinuasi bagi yang berkuasa, tapi sebuah refleksi kontemplatif bagi yang punya kuasa dan yang dikuasai.
Obrolan tentang kuasa di republik ini memang terlalu melangit bagi yang dikuasai, karena jauh sekali bagi mereka jarak dengan yang berkuasa. Sebenarnya jika diamati dengan hati yang lapang dan pikiran jernih, rakyat tidaklah usil atau selalu buruk sangka atau banyak maunya kepada yang punya kuasa. Tetapi cukuplah yang berkuasa bekerja buat mereka dengan tak mengenyampingkan yang namanya amanah. Tapi, untuk sementara ini masih menjadi pemandangan di pagi hari jika banyak anak kecil mengeluh, karena tak bisa sekolah dan mendapatkan sekedar makan pagi.