Monthly Archives: Oktober 2010

Republik Bubar: Pertarungan Tak Berakhir

Standar

Dalam sebuah kolom catatan sebuah koran nasional, pernah dimuat ulasan sederhana namun menyentuh tentang republik ini. Indonesia sebagai negara modern saat ini tengah berada dalam fase ketiga, pasca runtuhnya negara Sriwijaya dan Majapahit. Cakupan kekuasaan Sriwijaya, yang lebih dulu berdiri dan juga bubar, sampai ke Kamboja dan pengaruhnya bahkan sampai ke Benua Afrika. Begitu pula penerusnya, sebuah kekuatan politik nusantara yang terbangun dari tradisi perebutan kuasa atas nama harta dan kuasa. Akhirnya negara kedua Majapahit pun runtuh akibat penyakit yang sama yaitu perebutan kuasa. Tak bisa dilupakan begitu saja adalah, kenapa tradisi perebutan kuasa itu menjadi karakteristik dari kerajaan-kerajaan nusantara. Mungkin karena domain pembicaraan ini adalah politik, maka sangat halal untuk memasukkan kuasa dan perebutannya. Sebab politik dan kuasa adalah dua kata yang maknanya sama. Walaupun tinggal cerita dan sejarah lama nusantara, perkara perebutan kuasa, dengan berbagai cara, seperti yang dicontohkan oleh Ken Arok seolah-olah menjadi yurisprudensi bagi penerusnya dan masyarakat sampai sekarang.

Fase Indonesia sebagai negara modern saat ini, telah melampaui garis-garis sejarah kerajaan nusantara lama. Namun berbagai tradisi kuasa yang dibangun sampai detik ini tetap dipraktikkan oleh yang berkuasa dan yang dikuasai. Mental-mental inlander, kata-kata Soekarno itu menjadi ingatan kolektif masyarakat Indonesia. Agar jangan sampai penduduk nusantara ini tetap konsisten untuk merasa inferior dan terjajah. Filsafat kuasa memang menarik untuk dibaca dan diobrolkan bersama. Karena republik ini berdiri juga karena kuasa. Bayangkan jika tidak ada kekuatan, yang punya kuasa dan yang dikuasai, maka janganlah disebut republik objek tersebut. Bermilyar-milyar uang dikeluarkan hanya untuk sebuah kuasa. Belum lagi cara-cara yang ditempuh. Semangat Ken Arok dan beragam tradisi ilmu kuasa yang diwariskan oleh para pendahulu, tetap dijaga bahkan dimodifikasi sesuai konteks zaman. Tetap ujungnya adalah semua berebut untuk menjadi yang berkuasa. Desentralisasi atau lebih ngetrend disebut otonomi daerah, sampai detik ini belum memberikan kontribusi yang berarti dan substantif bagi yang dikuasai. Pemekaran daerah akhirnya hanya selimut, untuk berlomba-lomba menjadi yang berkuasa dan momentum untuk mengekplorasi yang dikuasai. Apakah memang takdir jika yang dikuasai itu pasti selalu lemah? inilah pertanyaan teologisnya.

Jika ditambah momentum Pemilu baik untuk presiden maupun legislatif, hal ini akan lebih mencengangkan lagi. Tetap konsisten untuk berburu agar menjadi yang kuasa dengan tradisi yang ditinggalkan para leluhur nusantara. Bagaimana setelah berkuasa? Ini yang lebih naïf lagi untuk diobrolkan. Kadang-kadang timbul pertanyaan sederhana, apakah memang setiap yang punya kuasa itu hanya bekerja untuk dirinya, bukan untuk yang dikuasai? Lagi-lagi pertanyaan ontologis ini harus dijawab segera. Jika dipandang sekeliling bumi nusantara, memang titik konvergensi antara demokrasi dan kesejahteraan tak bertemu. Demokrasi direduksi menjadi perebutan kuasa dengan beragam cara dan modifikasinya. Sedangkan kesejahteraan hanya tinggal perdebatan kuantitatif yang baku dan mati di kertas-kertas kantor. Obrolannya memang melangit mungkin, demokrasi dan kesejahteraan, apalagi jika dikatakan kesejahteraan rakyat. Tapi yang punya kuasa tentu dengan kuasanya pasti sangat mudah untuk melontarkan kata sakti kesejahteraan tadi. Karena kesejahteraan adalah bagian dari strategi perebutan kuasa yang sudah dimodifikasi.

Magnet kuat kuasa akan menarik setiap yang haus kuasa, karena memang secara psikologis, manusia mempunyai insting untuk punya kuasa. Jangankan untuk mempengaruhi yang lain, setidaknya manusia punya kuasa untuk mempertahankan dirinya. Jadi kuasa itu memang berlian yang menggiurkan bagi yang melihatnya. Setiap yang punya kuasa pasti secara psikologis ingin mempertahankan kuasanya, bahkan melanjutkan. Obrolan tentang yang punya kuasa ini seharusnya berhenti, ketika kata-kata sederhana dan sering diucapkan yaitu amanah menjadi pijakan moral. Amanah secara semantik mempunyai akar yang sama dengan iman dan aman, begitulah yang dikatakan Komarudin Hidayat. Jika yang punya kuasa merasakan bahwa kuasanya itu karena amanah, dijalankan dengan iman maka akan tercapai aman. Secara vertikal, yang dikuasai telah iman kepada yang punya kuasa. Yang punya kuasa juga menjalankan amanah dengan penuh iman, tercapailah aman. Ini penjelasan sederhana mungkin, namun sayang jika dibuang begitu saja, dan masih jauh untuk saat ini.

Jika yang punya kuasa sudah berprinsip kuasanya itu amanah, maka tidak aka ada lagi perebutan kuasa dengan segala modifikasinya, yang semua itu tetap tak berpengaruh bagi yang dikuasai, karena tetap saja lemah dan dipinggirkan. Masalah republik sejak zaman Sriwijaya dan Majapahit tak lepas dari perebutan dan pertarungan. Tidaklah aneh, jika penerus republik ini sekarang dengan bangga berebut lahan dan bertarung di tengah kota untuk mendapat kuasa. Tak memikirkan nyawa, harta bahkan dosa. Tapi untuk yang terkahir itu, tak usah diobrolkan lebih dalam, karena dosa hanya obrolan-obrolan eskatologis yang berhenti ketika di mushola atau gereja. Sekali lagi tradisi perebutan akan kuasa menjadi trend dalam narasi sejarah nusantara. Lalu kemana cerita klasik yang dikuasai tadi, yang bahasa verbal politisnya sering disebut rakyat? Jangan-jangan hanya tinggal cerita atau legitimasi untuk perebutan kuasa. Ini bukan insinuasi bagi yang berkuasa, tapi sebuah refleksi kontemplatif bagi yang punya kuasa dan yang dikuasai.

Obrolan tentang kuasa di republik ini memang terlalu melangit bagi yang dikuasai, karena jauh sekali bagi mereka jarak dengan yang berkuasa. Sebenarnya jika diamati dengan hati yang lapang dan pikiran jernih, rakyat tidaklah usil atau selalu buruk sangka atau banyak maunya kepada yang punya kuasa. Tetapi cukuplah yang berkuasa bekerja buat mereka dengan tak mengenyampingkan yang namanya amanah. Tapi, untuk sementara ini masih menjadi pemandangan di pagi hari jika banyak anak kecil mengeluh, karena tak bisa sekolah dan mendapatkan sekedar makan pagi.

Republik Bingung

Standar

Reformasi 98 telah membuat narasi sejarah baru di republik tercinta ini. Wacana demokrasi, penegakkan HAM, kebebasan pers dan supremasi hukum menjadi tema utama diskusi-diskusi masyarakat, mulai dari kelas warung remang-remang sampai kepada kelas hotel bintang lima. Muncul berbagai hasil penelitian tentang Indonesia dengan fase transisi demokrasinya, yang kemudian smpai sekarang sedang kita nikmati hidangan demokrasi itu. Sekedar mengetuk kembali memori publik ketika Orde Baru berkuasa, term-term asing yang bernama demokrasi, penegakkan HAM dan sejenisnya menjadi barang mahal dan tentunya sulit diperoleh. Ketika mengusung penegakkan HAM, maka segelintir orang akan dilabeli sebagai ekstrim kiri, karena menuntut ditegakkannya HAM. Ketika sekelompok orang berkumpul di mushola-mushola kampung atau pengajian kecil, maka dengan serampangan akan dicap ektrim kanan, bahkan difatwa sebagai tindakan makar atau subversif. Dua kata terakhir ini pada zamannya (Orde Baru) menjadi kalam sakti untuk menghukum para pencari kebebasan dan keadilan. Bagaimana dengan kebebasan pers, inilah barang haram yang tetap dihukumi haram oleh rezim penguasa, karena kebebasan pers akan menjadi lubang kecil yang nantinya membesar, untuk menelanjangi setiap kebijakan penguasa. Begitu juga supremasi hukum, jangan terlalu berharap karena hukum sangat alergi terhadap istana, pejabat dan konglomerat. Cerita tersebut untuk sekarang, tinggal narasi yang melegenda di buku-buku pelajaran sejarah dan pendidikan kewarganegaraan, baik di sekolah maupun perguruan tinggi.

Reformasi seolah-olah lebih ampuh ketimbang makna pembebasan dalam teologinnya Asghar Ali Engineer. Atau setumpuk doktrin pembebasan yang dibawa pada zamannya Kristus, Muhammad sampai kepada Mahatma Gandhi dan Nelson Mandela. Walaupun secara inhern, reformasi dan pembebasan sama-sama berakar kepada sebuah kondisi psikologi, sosial, politik, kebudayaan dan ekonomi yang otonom. Tidak lagi terkungkung di dalam rantai otoritarianisme sistem rezim despotik. Reformasi memang berhasil memproduksi kran demokrasi dan term-term sosial yang semakna tadi, sampai sekarang. Reformasi berhasil menebang pohon rindang yang telah kokoh berdiri dan menhujamkan akarnya melampaui batas-batas kemanusiaan. Walaupun lebih dari 30 tahun, ternyata bagi sebuah gerakan massa, reformasi memiliki kekuatan ampuh. Kran demokrasi terbuka lebar, tentu dengan semangat dan hingar-bingar pesta republik. Produk-produk hukum diproduksi secara massif dan terbuka. Semangat demokrasi, kebebasan pers, supremasi hukum atau penegakkan HAM mengisi ruang-ruang kosong harian ibukota. Tapi itulah sebuah semangat yang secara pskologis memang hanya muncul ketika kolektivitas rakyat, berhasil bebas dari segala bentuk keterbelengguan. Rakyat tetap menjadi fokus sentral dari fase refomasi tersebut, karena jihad reformasi tak akan bermakna ketika rakyat tak mencicipinya.

Tapi yang menjadi tanda tanya adalah apakah rakyat memang menikmati fase pasca reformasi saat ini secara substantif dan psikologis? Bisa saja secara legal-normatif, dikatakan lahirnya berbagai produk regulasi perundangan, telah melahirkan partisipasi untuk masyarakat. Aspirasi masyarakat terkristal dalam momentum Pemilu dan Pemilukada. Akses terhadap informasi dan keterbukaan sekarang telah dinikmati secara bebas oleh masyarakat. Namun, tak akan berguna kita mengobrolkan reformasi, demokrasi, HAM dan supremasi hukum jika rakyat (yang sering dibajak kata-kata tersebut) merasa tetap jauh dari keadilan dan kesejahteraan. Secara verbal dua kata ini memang sangat mudah diucapkan bahkan dibajak untuk kepentingan penguasa. Begitulah pembajakan massal yang selalu terlindungi di bawah logo demi kepentingan rakyat. Demokrasi yang didesain sejatinya, terdistorsi menjadi demokrasi admisnistratif dan artifisial belaka, bukan substansial demokrasi yang diharapkan.

Tulisan sederhana ini hanya sekedar kontemplasi sesaat, untuk menjadi evaluasi bagi yang punya kuasa dan yang dikuasai. Rakyat (termasuk penulis) sekarang ini tidak jauh dari kata bingung sebenarnya. Jika dalam legenda Abbasyiah terkenal sosok Abu Nawas yang memang sering dilanda kebingungan, tetapi tetap cerdas dalam memberi nasihat kepada Harun Al-Rasyid sebagai seorang pemimipin. Begitu juga tokoh cerdas Nasruddin Hoja atau secara lokal kita mengenal Kabayan. Semuanya itu sederetan figur-figur yang bingung. Dalam konteks Indonesia, yang dikuasai dengan titel rakyat tak habis pikir. Elit politik baik skala lokal maupun nasional, termsuk isu-isu yang diwacanakan tak pernah lelah untuk membuat rakyat bingung. Kemudian yang punya kuasa juga membuat bingung, karena setumpuk kebijakan yang dibuat di bawah pembajakan atas nama rakyat, sedikit yang memang dikerjakan untuk mereka. Tingkah polah yang punya kuasa (di eksekutif, parlemen atau yudikatif), secara jujur mempertontonkan otoritas mereka yang ekstra. Rakyat lagi-lagi berpikir serba salah, ketika di harian ibu kota, koran-koran lokal, media internet dan televisi ramai-ramai membicarakan penggulingan presiden saat ini. Istana merespon dengan nada paranoid juga sepertinya. Nah, kenapa serba salah? Rakyat jelas-jelas bingung, yang namanya sejahtera masih jauh, kemanan dan kenyamanan belum singgah di rumah-rumah rakyat. Muncul sebagai tersangka tunggalnya adalah presiden, bukan lagi anggota DPR atau penegak hukum yang akhir-akhir ini mulai lemah otot bahkan teramputansi. Kita berpikir, kalau begitu mana pilihan yang bagus, presiden digulingkan (dengan semangat romantisme reformasi 98), atau tetap bertahan dengan kondisi seperti ini?

Pertanyaan Kabayan jilid II ini layak untuk direfleksikan baik oleh yang punya kuasa maupun para elit. Bagaimana mungkin mitologi buah simalakama berlaku untuk sistem modern bahkan era postmodernisme seperti sekarang? Jika benar-benar mau digulingkan, apakah sudah jaminan penggantinya akan lebih bagus atau sejarah kembali terulang. Jika tidak mau digulingkan (karena alasan ini inkonstitusional), apakah ada jaminan akan membuat republik ini tidak lagi serba salah dan bingung. Atau tetap saja serba salah dan dilanda psikologi bingung yang akut seperti sekarang. Ini harus segera dijawab, jika benar-benar merasa 60% lebih dipilih oleh rakyat. Jika tidak maka kebingungan massal akan menghampiri kita, yang berkuasa dan yang dikuasai akan sepakat untuk bingung bersama. Selamat bingung!