Indonesia tetap menjadi negara berpenduduk muslim terbesar (kuantitatif) di dunia internasional sampai sekarang. Secara kuantitatif jumlah penduduk Indonesia yang beragama Islam sekitar 88-90 %. Umat muslim di Indonesia tetap menjadi daya tarik para peminat dan peneliti agama, sosiologi bahkan modernisme. Tema keagamaan khususnya di Indonesia menjadi menarik untuk selalu dibahas, baik oleh peneliti luar maupun dalam negeri. Masyarakat Indonesia merupakan suatu komponen yang dinamis dan memiliki karakteristik yang berbeda dari negara lain, baik negara Islam maupun bukan. Karakteristik masyarakat Indonesia secara diferensiatif sudah terbangun, semenjak kerajaan-kerajaan nusantara dulu. Oleh karena itu perbedaan-perbedaan di tengah masyarakat kemudian dikenal dengan istilah pluralistik atau kemajemukan. Ide lebih lanjut tentang toleransi dan pluralisme sudah menjadi wacana ilmiah dan terbaca di banyak karya intelektual (Islam) Indonesia. Ide-ide baru baik secara teoritis maupun praktis pluralisme masih segar dikemukakan oleh Nurcholis Madjid. Bahkan istilah yang diperkenalkan oleh Gus Dur mengenai masyarakat Islam Indonesia, yaitu “pribumisasi Islam”. Sampai sekarang ide-ide tersebut masih tetap seksi dan menarik untuk ditelaah.
Karakteristik masyarakat Islam di Indonesia secara potret sosial historis, merupakan satu tema sendiri sebenarnya. Berbicara Islam di Indonesia berarti kita memotret secara sosial historis keberadaan umat Islam di Indonesia, dengan segala keunikannya. Sebuah keunikan tersendiri ketika wajah Islam Indonesia adalah sangat plural/majemuk. Memang umat Islam di Indonesia menjadi satu, ketika bicara Islam (teologis) sebagai sebuah lembaga agama. Namun ini tidak berlaku ketika berbicara dalam konteks sosiologis, yakni umat Islam (muslim). Umat Islam Indonesia merupakan komponen yang dinamis, hidup dan sangat kompleks. Islam (agama) sebagai wujud teologis yang pasti dan absolut di satu sisi dan umat Islam (sosiologis) yang menjadikan agama (Islam) sebagai identitas teologisnya. Dalam tulisan ini saya tidak akan membahas Islam (muslim) di Indonesia karena sangat luas dan kompleks. Tetapi saya akan membahas salah satu komponen di dalam Islam (muslim) di Indonesia itu sendiri yaitu Islam keindonesiaan.
Pemikiran Islam keindonesiaan pada dasarnya bukan lagi sesuatu yang baru atau asing bagi kalangan intelektual Islam Indonesia. Realita empiris masyarakat muslim di negara ini secara historis telah menunjukkan keunikannya sendiri. Karakteristik dalam keberagamaan, inilah tema sentral yang selalu menarik untuk dibahas. Ekspresi keberagamaan muslim Indonesia adalah satu hal, disamping Islam sebagai sebuah agama. Sebagai negara yang memiliki keunikan dalam kehidupan sosial, tentunya ini menjadi tantangan dalam bernegara dan berbangsa. Islam keindonesiaan bukanlah sesuatu yang diam dan tertutup. Wujud nyata Islam keindonesiaan sebenarnya ada di tengah-tengah masyarakat Indonesia itu sendiri. Secara sosio-antropologis kemajemukan masyarakat Indonesia tak hanya berhenti pada tataran agama, tetapi sangat luas melampaui masyarakat itu sendiri. Perbedaan suku, etnis, budaya, bahasa, adat-istiadat, partai, golongan, aliran politik. Kemudian termasuk di dalamnya yaitu ekspresi keberagamaan oleh umat (Islam) itu sendiri. Masyarakat Indonesia jika disederhanakan secara sosio-antropologis terdiri dari masyarakat kota dan pedesaan. Klasifikasi inilah yang kemudian menarik (untuk diteliti) terkait dengan ekspresi keberagamaannya. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah mencetuskan ide segar dan genuine yakni ”pribumisasi Islam”. Ide ini merupakan bentuk dari pemaknaan Gus Dur akan Islam (muslim) Indonesia. Nilai-nilai lokal (local genius) yang merupakan sebuah value bagi masyarakat lokal bergerak secara dialogis dengan Islam sebagai sebuah agama. Masyarakat lokal yang menjunjung tinggi kearifan lokal tersebut hidup dalam komunitas yang tentunya beragama Islam. Bagaimana Islam itu melakukan dialog secara terbuka dan beradaptasi secara seimbang dengan local value.
Islam keindonesiaan sebagai bagian dari Islam di Indonesia memiliki wajah tersendiri. Dia lebih merupakan interpretasi terhadap masyarakat (muslim) secara sosio-antropologis. Bukan domain aturan absolut teologis atau instrumen legal-formal yang bernama fiqh. Konstruksi muslim Indonesia sudah majemuk dari awalnya ketika Islam sebagai agama vis a vis masyarakat lokal yang telah ada sebelum Islam masuk. Tentulah agama yang menjadi rahmatan lil’alamiin ini tetap dengan cita-cita transendennya yang mulia sebagai penyebar kasih sayang dan rahmat. Interaksi Islam sebagai agama dengan local genius tersebut tidak berhenti pada titik temporal saja, sebutlah saat penyebaran Islam oleh Wali Songo dan pendakwah Islam nusantara lainnya. Namun interaksi tersebut tetap mengalir terjadi sampai era postmodern sekarang ini. Islam benar-benar memasyarakat dan hidup di tengah tradisi lokal yang ramah juga dengan perubahan. Islam keindonesiaan merupakan manifestasi atau ekspresi keberagamaan umat Islam Indonesia yang selalu berinteraksi dan hidup inhern dengan nilai-nilai lokal. Tentunya yang menjadi media penyambung antara dua komponen sosial tadi adalah nilai-nilai pluralisme dan toleransi. Dua hal yang senantiasa menjadi ”kata-kata mutiara” di tengah centang-perenang realita kehidupan yang cenderung ”keras dan materialistik’ sekarang ini.
Sebagai agama yang bertujuan agung dan mulia tentulah pesan-pesan kedamaian yang menjadi pijakannya. Agama yang mendatangkan damai bukan agama yang mendatangkan kekhawatiran, ketakutan bahkan teror. Namun abad 21 berkata lain, di saat para pemikir dan intelektual dunia terkejut dengan tesis Samuel P. Huntington dalam bukunya The Clash of Civilization (Benturan Peradaban). Mengatakan jika pasca runtuhnya ideologi Komunisme, sekarang yang menjadi pesaing nyata ideologi Liberalisme/Kapitalisme adalah Islam disamping ”bentuk-bentuk spritualitas lainnya”. Islam pada saat itu berhadapan vis a vis dengan Barat (Kapitalisme). Inilah bentuk simplifikasi Huntington terhadap dunia global sekarang. Simplifikasi kekuatan (power) dunia global yang terdiri dari 2 komponen kekuatan yaitu Islam dan Barat. Walaupun saya sangat sependapat dengan Amartya Sen dalam bukunya ”Kekerasan dan Ilusi Tentang Identitas”, bahwa tesis Huntington ini menghindar dari realitas karena entitas multikulturalisme (tentunya pluralisme) sudah diabaikan. Dalam hal ini bahasannya adalah mengenai ”identitas”, yaitu identitas global yang telah direduksi Huntington menjadi (hanya) ke dalam dua kekuatan dengan mengabaikan identitas-identitas global lainnya. Terlepas dari perdebatan itu, secara sadar masyarakat global telah terpengaruh oleh tesis tadi. Hal inilah yang berimplikasi terhadap konstruksi berpikir masyarakat luar Islam terhadap umat Islam secara global. Konstruksi berpikir yang banyak mengalami distorsi tentang Islam, diperburuk lagi dengan aksi terorisme yang selalu diidentikkan dengan Islam. Realita inilah yang dijadikan justifikasi bagi (sebagian) masyarakat internasional dalam penilainnya terhadap Islam.
Di sinilah posisi moderasi yang strategis Indonesia sebagai negara muslim terbesar di dunia. Saya bisa mengatakan Islam di Indonesia secara kuantitas maupun kualitas didominasi oleh muslim yang bisa diidentifikasikan sebagai Islam keindonesiaan. Di sini bukan saya membuat aliran keislaman baru dengan term ini, tetapi upaya pengelompokkan sesuai dengan karakter keberislaman masyarakat di Indonesia. Selama ini masyarakat menilai Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah sebagai representasi Islam keindonesiaan tersebut. Walaupun dalam konteks ini kita juga harus bisa memisahkan antara yang struktural (oganisatoris) dan kultural (dengan tradisi Islam). Sebenarnya dengan kondisi dunia global yang memiliki wajah ganda sekarang, eksistensi Islam keindonesiaan justru ditantang oleh masyarakat global. Apakah mampu masyarakat Islam di Indonesia yang mempunyai nilai-nilai lokal, tradisi keberagamaan sendiri dengan toleransi dan pluralismenya, mampu bertahan dan menjadi wajah utama Islam yang rahmatan lil’alamiin?. Ini hanya mampu dijawab oleh umat Islam Indonesia, tentu secara orgnisatoris ini tugas bersama bagi ormas-ormas Islam untuk menjawabnya.
Untuk lebih menyederhanakan jika kita kelompokkan secara umum umat Islam di Indonesia, terbagi menjadi tiga komponen utama, yakni:
- Formalis-Konservatif
Terlepas dari perdebatan istilah saya mempunyai persepsi sendiri terhadap dua term ini. Nilai-nilai fundamental Islam dengan wacana Syari’ah Islam, Daulah Islamiyyah dan Khilafah Islamiyyah menjadi tema sentral dalam doktrinnya. Ekspresi keberagamaan kelompok ini lebih bersifat legal-formal dan rigid. Bisa dikatakan sebagai kelompok eksoterisme Islam dengan beragam bentuk organisasinya. Namun secara kuantitas memang minoritas di Indonesia. Tetapi memiliki modal sosial dan kohesivitas yang kuat secara ideologis dan kaderisasi. Diwakili oleh HTI, Gerakan Penegakkan syariah Islam, Ikhwan (PKS), dll.
2. Moderat
- Tradisional-Moderat
Ini merupakan masyarakat Islam yang mayoritas dan bisa dikatakan serupa dengan ide Islam keindonesiaan dalam tulisan ini. Islam yang ramah terhadap perubahan dan hidup inhern dengan local genius. Secara fiqh lebih fleksibel dan adaptif namun tetap menjaga esoterisme Islam yang transenden. Diwakili oleh NU dan Aliran Tarekat.
2. Modern-Moderat
Ini klasifikasi yang dilihat dari doktrin-doktrin formalistik organisatoris ditambah dengan ide-ide keberislaman. Tetap menjaga moderasi Islamnya tetapi juga mempertahankan puritanisme seperti dengan jargon kembali kepada Qur’an dan Sunnah, termasuk di dalamnya purifikasi ajaran Islam. Dinamika sebagai organisasi modern dan instrumen modernitas yang selalu identik di dalamnya. Diwakili oleh Muhammadiyah dan Persis.
3. Liberal-Substansialis
Kelompok terakhir ini merupakan entitas baru dalam dinamika keberagamaan di Indonesia. Sekelompok kaum muda yang idealis, humanis dan progresif tetapi bisa juga dikatakan ”pemberontak” yang melakukan pemberontakan intelektual terhadap realita keberislaman masyarakat Indonesia. Lebih mengedepankan wacana-wacana Islam yang humanis dan ”memasyarakat”. Walaupun secara kuantitas sedikit tetapi kapabilitas intelektual mereka tidak bisa diremehkan. Terlahir dari kaum tradisional dan modern (moderat) yang mengedepankan esoterisme Islam ditambah kontekstualitas Islam. Dalam pergerakannya cenderung elitis karena hidup dalam forum-forum diskusi saja (kelas menengah atas), di dunia cyber atau eksklusif. Diwakili oleh JIL dan JIMM.
Islam di Indonesia adalah Islam yang multiwajah namun tetap mempertahankan identitas teologis keislamannya. Di dalamnya terdapat Islam keindonesiaan yang menjadi mainstream dalam dinamika keberagamaan masyarakat secara sosiologis. Tradisi lokal dan Islam sebagai agama diramu oleh komponen manusia yang bermasyarakat, melaksanakan keberislaman menurut pemahaman mereka. Inilah salah satu potret Islam di Indonesia yang seharusnya menjadi prototype untuk mendamaikan (masyarakat) Islam global dengan mispersepsi masyarakat global terhadap Islam. Walaupun ada adagium yang mengatakan ”Al-Islamu syaiun wal muslimuuna syaiun akhor”.
[1] Disampaikan dalam Diskusi HMI Koorkom UNJ, pada 25 Maret 2010 di
UNJ.