Monthly Archives: Maret 2010

Telaah Kritis Islam Keindonesiaan[1] Oleh Satriwan, S.Pd

Standar

Indonesia tetap menjadi negara berpenduduk muslim terbesar (kuantitatif) di dunia internasional sampai sekarang. Secara kuantitatif jumlah penduduk Indonesia yang beragama Islam sekitar 88-90 %. Umat muslim di Indonesia tetap menjadi daya tarik para peminat dan peneliti agama, sosiologi bahkan modernisme. Tema keagamaan khususnya di Indonesia menjadi menarik untuk selalu dibahas, baik oleh peneliti luar maupun dalam negeri. Masyarakat Indonesia merupakan suatu komponen yang dinamis dan memiliki karakteristik yang berbeda dari negara lain, baik negara Islam maupun bukan. Karakteristik masyarakat Indonesia secara diferensiatif sudah terbangun, semenjak kerajaan-kerajaan nusantara dulu. Oleh karena itu perbedaan-perbedaan di tengah masyarakat kemudian dikenal dengan istilah pluralistik atau kemajemukan. Ide lebih lanjut tentang toleransi dan pluralisme sudah menjadi wacana ilmiah dan terbaca di banyak karya intelektual (Islam) Indonesia. Ide-ide baru baik secara teoritis maupun praktis pluralisme masih segar dikemukakan oleh Nurcholis Madjid. Bahkan istilah yang diperkenalkan oleh Gus Dur mengenai masyarakat Islam Indonesia, yaitu “pribumisasi Islam”. Sampai sekarang ide-ide tersebut masih tetap seksi dan menarik untuk ditelaah.

Karakteristik masyarakat Islam di Indonesia secara potret sosial historis, merupakan satu tema sendiri sebenarnya. Berbicara Islam di Indonesia berarti kita memotret secara sosial historis keberadaan umat Islam di Indonesia, dengan segala keunikannya. Sebuah keunikan tersendiri ketika wajah Islam Indonesia adalah sangat plural/majemuk. Memang umat Islam di Indonesia menjadi satu, ketika bicara Islam (teologis) sebagai sebuah lembaga agama. Namun ini tidak berlaku ketika berbicara dalam konteks sosiologis, yakni umat Islam (muslim). Umat Islam Indonesia merupakan komponen yang dinamis, hidup dan sangat kompleks. Islam (agama) sebagai wujud teologis yang pasti dan absolut di satu sisi dan umat Islam (sosiologis) yang menjadikan agama (Islam) sebagai identitas teologisnya. Dalam tulisan ini saya tidak akan membahas Islam (muslim) di Indonesia karena sangat luas dan kompleks. Tetapi saya akan membahas salah satu komponen di dalam Islam (muslim) di Indonesia itu sendiri yaitu Islam keindonesiaan.

Pemikiran Islam keindonesiaan pada dasarnya bukan lagi sesuatu yang baru atau asing bagi kalangan intelektual Islam Indonesia. Realita empiris masyarakat muslim di negara ini secara historis telah menunjukkan keunikannya sendiri. Karakteristik dalam keberagamaan, inilah tema sentral yang selalu menarik untuk dibahas. Ekspresi keberagamaan muslim Indonesia adalah satu hal, disamping Islam sebagai sebuah agama. Sebagai negara yang memiliki keunikan dalam kehidupan sosial, tentunya ini menjadi tantangan dalam bernegara dan berbangsa. Islam keindonesiaan bukanlah sesuatu yang diam dan tertutup. Wujud nyata Islam keindonesiaan sebenarnya ada di tengah-tengah masyarakat Indonesia itu sendiri. Secara sosio-antropologis kemajemukan masyarakat Indonesia tak hanya berhenti pada tataran agama, tetapi sangat luas melampaui masyarakat itu sendiri. Perbedaan suku, etnis, budaya, bahasa, adat-istiadat, partai, golongan, aliran politik. Kemudian  termasuk di dalamnya yaitu ekspresi keberagamaan oleh umat (Islam) itu sendiri. Masyarakat Indonesia jika disederhanakan secara sosio-antropologis terdiri dari masyarakat kota dan pedesaan. Klasifikasi inilah yang kemudian menarik (untuk diteliti) terkait dengan ekspresi keberagamaannya. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah mencetuskan ide segar dan genuine yakni ”pribumisasi Islam”. Ide ini merupakan bentuk dari pemaknaan Gus Dur akan Islam (muslim) Indonesia. Nilai-nilai lokal (local genius) yang merupakan sebuah value bagi masyarakat lokal bergerak secara dialogis dengan Islam sebagai sebuah agama. Masyarakat lokal yang menjunjung tinggi kearifan lokal tersebut hidup dalam komunitas yang tentunya beragama Islam. Bagaimana Islam itu melakukan dialog secara terbuka dan beradaptasi secara seimbang dengan local value.

Islam keindonesiaan sebagai bagian dari Islam di Indonesia memiliki wajah tersendiri. Dia lebih merupakan interpretasi terhadap masyarakat (muslim) secara sosio-antropologis. Bukan domain aturan absolut teologis atau instrumen legal-formal yang bernama fiqh. Konstruksi muslim Indonesia sudah majemuk dari awalnya ketika Islam sebagai agama vis a vis masyarakat lokal yang telah ada sebelum Islam masuk. Tentulah agama yang menjadi rahmatan lil’alamiin ini tetap dengan cita-cita transendennya yang mulia sebagai penyebar kasih sayang dan rahmat. Interaksi Islam sebagai agama dengan local genius tersebut tidak berhenti pada titik temporal saja, sebutlah saat penyebaran Islam oleh Wali Songo dan pendakwah Islam nusantara lainnya. Namun interaksi tersebut tetap mengalir terjadi sampai era postmodern sekarang ini. Islam benar-benar memasyarakat dan hidup di tengah tradisi lokal yang ramah juga dengan perubahan. Islam keindonesiaan merupakan manifestasi atau ekspresi keberagamaan umat Islam Indonesia yang selalu berinteraksi dan hidup inhern dengan nilai-nilai lokal. Tentunya yang menjadi media penyambung antara dua komponen sosial tadi adalah nilai-nilai pluralisme dan toleransi. Dua hal yang senantiasa menjadi ”kata-kata mutiara” di tengah centang-perenang realita kehidupan yang cenderung ”keras dan materialistik’ sekarang ini.

Sebagai agama yang bertujuan agung dan mulia tentulah pesan-pesan kedamaian yang menjadi pijakannya. Agama yang mendatangkan damai bukan agama yang mendatangkan kekhawatiran, ketakutan bahkan teror. Namun abad 21 berkata lain, di saat para pemikir dan intelektual dunia terkejut dengan tesis Samuel P. Huntington dalam bukunya The Clash of Civilization (Benturan Peradaban). Mengatakan jika pasca runtuhnya ideologi Komunisme, sekarang yang menjadi pesaing nyata ideologi Liberalisme/Kapitalisme adalah Islam disamping ”bentuk-bentuk spritualitas lainnya”. Islam pada saat itu berhadapan vis a vis dengan Barat (Kapitalisme). Inilah bentuk simplifikasi Huntington terhadap dunia global sekarang. Simplifikasi kekuatan (power) dunia global yang terdiri dari 2 komponen kekuatan yaitu Islam dan Barat. Walaupun saya sangat sependapat dengan Amartya Sen dalam bukunya ”Kekerasan dan Ilusi Tentang Identitas”, bahwa tesis Huntington ini menghindar dari realitas karena entitas multikulturalisme (tentunya pluralisme) sudah diabaikan. Dalam hal ini bahasannya adalah mengenai ”identitas”, yaitu identitas global yang telah direduksi Huntington menjadi (hanya) ke dalam dua kekuatan dengan mengabaikan identitas-identitas global lainnya. Terlepas dari perdebatan itu, secara sadar masyarakat global telah terpengaruh oleh tesis tadi. Hal inilah yang berimplikasi terhadap konstruksi berpikir masyarakat luar Islam terhadap umat Islam secara global. Konstruksi berpikir yang banyak mengalami distorsi tentang Islam, diperburuk lagi dengan aksi terorisme yang selalu diidentikkan dengan Islam. Realita inilah yang dijadikan justifikasi bagi (sebagian) masyarakat internasional dalam penilainnya terhadap Islam.

Di sinilah posisi moderasi yang strategis Indonesia sebagai negara muslim terbesar di dunia. Saya bisa mengatakan Islam di Indonesia secara kuantitas maupun kualitas didominasi oleh muslim yang bisa diidentifikasikan sebagai Islam keindonesiaan. Di sini bukan saya membuat aliran keislaman baru dengan term ini, tetapi upaya pengelompokkan sesuai dengan karakter keberislaman masyarakat di Indonesia. Selama ini masyarakat menilai Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah sebagai representasi Islam keindonesiaan tersebut. Walaupun dalam konteks ini kita juga harus bisa memisahkan antara yang struktural (oganisatoris) dan kultural (dengan tradisi Islam). Sebenarnya dengan kondisi dunia global yang memiliki wajah ganda sekarang, eksistensi Islam keindonesiaan justru ditantang oleh masyarakat global. Apakah mampu masyarakat Islam di Indonesia yang mempunyai nilai-nilai lokal, tradisi keberagamaan sendiri dengan toleransi dan pluralismenya, mampu bertahan dan menjadi wajah utama Islam yang rahmatan lil’alamiin?. Ini hanya mampu dijawab oleh umat Islam Indonesia, tentu secara orgnisatoris ini tugas bersama bagi ormas-ormas Islam untuk menjawabnya.

Untuk lebih menyederhanakan jika kita kelompokkan secara umum umat Islam di Indonesia, terbagi menjadi tiga komponen utama, yakni:

  1. Formalis-Konservatif

Terlepas dari perdebatan istilah saya mempunyai persepsi sendiri terhadap dua term ini. Nilai-nilai fundamental Islam dengan wacana Syari’ah Islam, Daulah Islamiyyah dan Khilafah Islamiyyah menjadi tema sentral dalam doktrinnya. Ekspresi keberagamaan kelompok ini lebih bersifat legal-formal dan rigid. Bisa dikatakan sebagai kelompok eksoterisme Islam dengan beragam bentuk organisasinya. Namun secara kuantitas memang minoritas di Indonesia. Tetapi memiliki modal sosial dan kohesivitas yang kuat secara ideologis dan kaderisasi. Diwakili oleh HTI, Gerakan Penegakkan syariah Islam, Ikhwan (PKS), dll.

2. Moderat

  1. Tradisional-Moderat

Ini merupakan masyarakat Islam yang mayoritas dan bisa dikatakan serupa dengan ide Islam keindonesiaan dalam tulisan ini. Islam yang ramah terhadap perubahan dan hidup inhern dengan local genius. Secara fiqh lebih fleksibel dan adaptif namun tetap menjaga esoterisme Islam yang transenden. Diwakili oleh NU dan Aliran Tarekat.

2.   Modern-Moderat

Ini klasifikasi yang dilihat dari doktrin-doktrin formalistik organisatoris ditambah dengan ide-ide keberislaman. Tetap menjaga moderasi Islamnya tetapi juga mempertahankan puritanisme seperti dengan jargon kembali kepada Qur’an dan Sunnah, termasuk di dalamnya purifikasi ajaran Islam. Dinamika sebagai organisasi modern dan instrumen modernitas yang selalu identik di dalamnya. Diwakili oleh Muhammadiyah dan Persis.

3. Liberal-Substansialis

Kelompok terakhir ini merupakan entitas baru dalam dinamika keberagamaan di Indonesia. Sekelompok kaum muda yang idealis, humanis dan progresif tetapi bisa juga dikatakan ”pemberontak” yang melakukan pemberontakan intelektual terhadap realita keberislaman masyarakat Indonesia. Lebih mengedepankan wacana-wacana Islam yang humanis dan ”memasyarakat”. Walaupun secara kuantitas sedikit tetapi kapabilitas intelektual mereka tidak bisa diremehkan. Terlahir dari kaum tradisional dan modern (moderat) yang mengedepankan esoterisme Islam ditambah kontekstualitas Islam. Dalam pergerakannya cenderung elitis karena hidup dalam forum-forum diskusi saja (kelas menengah atas), di dunia cyber atau eksklusif. Diwakili oleh JIL dan JIMM.

Islam di Indonesia adalah Islam yang multiwajah namun tetap mempertahankan identitas teologis keislamannya. Di dalamnya terdapat Islam keindonesiaan yang menjadi mainstream dalam dinamika keberagamaan masyarakat secara sosiologis. Tradisi lokal dan Islam sebagai agama diramu oleh komponen manusia yang bermasyarakat, melaksanakan keberislaman menurut pemahaman mereka. Inilah salah satu potret Islam di Indonesia yang seharusnya menjadi prototype untuk mendamaikan (masyarakat) Islam global dengan mispersepsi masyarakat global terhadap Islam. Walaupun ada adagium yang mengatakan ”Al-Islamu syaiun wal muslimuuna syaiun akhor”.


[1] Disampaikan dalam Diskusi HMI Koorkom UNJ, pada 25 Maret 2010 di

UNJ.

Mahasiswa, Demonstrasi dan Kekerasan Oleh Satriwan, S.Pd[1]

Standar

Akhir-akhir ini wajah demokrasi Indonesia tengah diuji secara empiris oleh komponen-komponen dalam sistem demokrasi itu sendiri. Secara nasional rakyat Indonesia mempunyai konsensus untuk menggunakan demokrasi sebagai sistem politik. Walaupun konsensus nasional tersebut (istilah demokrasi) tidak menyebutkan secara eksplisit di dalam konstitusi Indonesia. Demokrasi merupakan sistem politik yang (dianggap) ideal oleh dunia global sekarang. Makanya sistem tersebut digunakan oleh mayoritas negara-negara di dunia termasuk Indonesia. Setiap rezim di Indonesia, mulai Soekarno (Orde Lama), Soeharto (Orde Baru) sampai pasca reformasi sekarang, demokrasi dimaknai dan diartikulasikan oleh rezim penguasa. Pengartikulasian demokrasi tersebut kemudian diterjemahkan ke dalam berbagai kebijakan strategis terkait hak-hak publik, pembagian kekuasaan (distribution of power) yang jelas, pelaksanaan Pemilu, supremasi hukum, kebebasan pers, penghormatan HAM, anti diskriminasi, penguatan isu gender, kebebasan menyampaikan pendapat dan masih banyak yang lainnya. Semua komponen demokrasi tersebut berangsur-angsur tidak lagi menjadi harga mahal di republik ini. Kita mesti adil dan objektif melihat, jika kondisi demokrasi kita sekarang sudah menuju arah perbaikan.

Salah satu perangkat demokrasi yang sekarang tidak tabu lagi untuk dibicarakan bahkan dilakukan yaitu demonstrasi, sebagai bentuk kebebasan berekspresi dalam menyatakan pendapat. Memang dalam konstitusi kita UUD 1945 Pasal 28A-28J memuat secara jelas bahwa diantara penghormatan kepada HAM, termuat hak untuk menyampaikan pendapat di muka umum. Inilah konsekuensi demokrasi yang menempatkan posisi manusia adalah sama (equal). Masyarakat Indonesia boleh-boleh saja dan legal secara hukum untuk menyampaikan aspirasi mereka kepada pemerintah. Karena penguatan sistem demokrasi tidak akan tercapai jika komponen civil society tidak mendapatkan ruangnya di tegah-tengah publik. Kekuatan rakyat (ekstraparlementer) merupakan bentuk kohesivitas sosial masyarakat, dalam menjalankan fungsi kontrolnya terhadap pemerintah. Harga yang mahal ketika kebebasan menyampaikan pendapat itu menjadi barang haram di zaman Orde Baru. Masyarakat (awam) belum mengenal secara terbuka yang namanya demonstrasi pada wakti itu. Karena tindakan represifitas pemerintah sangat kuat terhadap komponen civil society. Demokrasi diinterpretasikan secara sepihak dan (cenderung) monolitik oleh rezim penguasa, sehingga menutup keterlibatan publik secara langsung dan terbuka. Tidak ada yang mengontrol pemerintah, karena DPR/MPR waktu itu hanya menjadi lembaga penstempel setiap kebijakan pemerintah. Kata pemerintah A pasti legislatif juga setuju A, begitu setersusnya.

Bagaimana dengan posisi mahasiswa? Sebagai salah satu komponen civil society, eksistensi mahasiswa tidak akan terbuang dalam dinamika sejarah republik ini. Mulai dari pra kemerdekaan sampai dengan penumbangan rezim yang (dianggap) despotik dan otoriter. Karena karakteristik pemimpin dengan dua ciri tersebut menjadi musuh utama sistem demokrasi. Peranan sosial dan politik mahasiswa dalam menurunkan Soekarno dan Soeharto menjadi bukti kongkritnya. Mahasiswa merupakan agent of social change, begitulah para aktivis mahasiswa meletakkan posisi kaum intelektual ini. Memiliki posisi yang terdepan untuk melakukan kontrol sosial, bagi setiap perubahan yang tengah terjadi, tidak melulu tekait politik tetapi lebih bersifat universal. Kekuatan mahasiswa sekarang kembali diuji sebagai instrumen penguatan demokrasi di negara ini, ketika demonstrasi kembali marak di tanah air, khususnya menyangkut penyelesaian kasus bailout Bank Century. Ini kemudian diartikulasikan ke dalam berbagai bentuk aksi unjuk rasa (yang halal tersebut), di setiap daerah. Isunya rata-rata hampir sama yaitu, segera tuntaskan kasus Bank Century secara jujur dan terbuka dan seret para pejabat negara termasuk Boediono dan Sri Mulyani secara hukum. Pada umumnya dua wacana inilah yang menjadi episentrum gerakan mahasiswa dalam berdemonstrasi.

Sebagai sarana menyampaikan aspirasi publik kepada pemerintah, demonstrasi awalnya menjadi instrumen yang ampuh. Pada masa Orla dan Orba, umumnya yang melakukan demonstrasi adalah mahasiswa. Tetapi rezim berubah sekarang ini demonstrasi bukan lagi monopoli mahasiswa, ibu rumah tanggapun sudah jamak melakukan aksi massa tersebut. Namun yang menjadi catatan kritis kita adalah, bagaimana sebuah demonstrasi benar-benar menjaga etika dan sesuai hukum. Ada istilah yang terkenal yaitu melanggar hukum (HAM) untuk menegakkan hukum (HAM). Dua frase yang paradoksal secara gramatikal, tentu juga pemaknaannya. Bagaimana bisa jika tuntutannya adalah penegakkan hukum tetapi secara nyata (subjeknya) melakukan pelanggaran hukum. Ini hanya sebuah upaya kontemplasi sosial terhadap berbagai aksi demonstrasi yang (mulai) marak dilakukan sekarang. Karena menjadi adagium di mata publik bahwa demonstrasi itu adalah kekerasan (walaupun saya juga tidak setuju dengan ini). Upaya mengidentikkan demontrasi dengan kekerasan oleh masyarakat bukanlah pekerjaan yang salah. Sebab secara empiris masyarakat melihat bahkan merasakan hal itu. Demonstrasi yang tadinya merupakan gerakan moral (moral forces), terdistorsi menjadi bentuk kekerasan. Penulis di sini tidak berupaya menggeneralisir persoalan, tetapi berusaha mengelaborasinya secara seimbang, terserah publik nanti menilainya. Bahwa beberapa gerakan demonstrasi mahasiswa diidentikkan dengan perilaku kekerasan, merusak dan anarkis itu memang ada. Namun jika menggunakan logika sebaliknya, dalam bayak demonstrasi yang terjadi, juga ada provokasi-provokasi yang dilakukan oleh orang yang tak bertanggung jawab. Inilah misteri demonstrasi yang belum terjawab sampai sekarang. Seperti kejadian di Makassar seminggu yang lalu, ketika teman-teman HMI Cabang Makassar melakukan aksi demonstrasi yang awalnya berjalan damai tiba-tiba berubah menjadi aksi kekerasan. Apakah karena ”invisible hand” yang menjadi provokator tadi, atau by design oleh aparat dan masih banyak faktor lainnya.

Secara sosiologis masyarakat yang terdiri dari unit-unit terkecil yaitu keluarga, mempunyai ”kehormatan” yang sampai matipun akan tetap dipertahankan. Dalam konteks kekerasan di Makassar, penyerangan terhadap kantor sekretariat HMI Cabang Makassar merupakan bentuk pelecehan terhadap kehormatan keluarga besar HMI (yang nyata-nyata) tidak hanya ada di sana, tetapi tersebar di seluruh Indonesia. Jadi banyak faktor lain termasuk sosial-kultural masyarakat yang menyebabkan aksi demontrasi berubah menjadi tontonan kekerasan. Penulis ingin mengatakan bahwa demonstrasi dan kekerasan adalah hal yang berbeda, baik secara idea maupun secara empiris. Tetapi ketika dalam banyak kejadian aksi demonstrasi selalu berujung kepada kekerasan inilah yang perlu ditelaah bersama tentu dengan logika dan hati yang jernih. Jangan sampai publik antipati terhadap setiap demonstrasi khsususnya yang dilakukan mahasiswa sebagai kawah candradimuka penyambung lidah rakyat. Kita juga harus fair, tidak sedikit juga aksi demonstrasi mahasiswa yang mempunyai vested interest, kepentingan tersembunyi atau didanai oleh kepentingan kelompok-kelompok tertentu. Tapi sekali lagi kita mesti clear melihat dan menilai persoalan ini. Jebakan generalisasi menjadi terlarang dalam konteks ini tentunya.

Uraian sederhana ini hanya ikhtiar penulis menjelaskan bahwa posisi mahasiswa sebagai komponen utama civil society jangan berhenti pada titik klimaks. Jika masih bersepakat dengan demonstrasi sebagai sarana efektif menyampaikan aspirasi, silahkan saja itu hak politik. Namun perlu ditelaah kembali apakah betul instrumen penyampaian aspirasi publik hanya demonstrasi? Bagimana dengan dialog terbuka, mimbar bebas, melalui tulisan-tulisan, petisi dan lainnya, apakah sudah terlaksana? Penguatan sistem demokrasi di Indonesia menjadi harga mati, sambil kita mencari format-format lain yang sesuai dengan kultur masyarakat Indonesia yang majemuk ini. Ruang-ruang kosong demokrasi di republik ini harus selalu ditelusuri untuk diisi secara kompleks, demi perbaikan wajah demokrasi kita. Demonstrasi dan kekerasan adalah hal yang sangat distingtif. Tetapi jika setiap demontrasi berakhir dengan kekerasan, maka persepsi publik akan berubah menjadi kekerasan dan demonstrasi (mahasiswa) seperti uang logam yang berbeda sisinya. Spiral kekerasan yang pernah dikemukakan oleh Hans Kung patut untuk kita renungkan, bahwa setiap aksi kekerasan akan selalu menimbulkan kekerasan baru.


[1] Penulis adalah Peneliti di Pusat Kajian dan Pengembangan Ilmu-ilmu

Sosial (PKPIS) UNJ dan Guru SMA Labschool Jakarta.

Mendamaikan Politik dan Hukum (Dalam Wacana Negara Demokrasi) Oleh Satriwan, S.Pd[1]

Standar

Sebagai sebuah negara demokrasi terbesar ketiga di dunia (menurut Freedom House), Indonesia menjadi sorotan dunia internasional. Transisi demokrasi yang hadir secara insight pasca reformasi ’98 sampai sekarang dijadikan argumentasi teoritis dalam mempertahankan sebuah instrumen yang dijadikan konsensus nasional, yaitu demokrasi. Demokrasi menjadi term yang hidup di negara-negara yang sudah/sedang mengalami tindakan represif rezim pemerintah yang sedang berkuasa. Sebutlah Indonesia yang mengalami masa 32 tahun dikungkung oleh rezim despotik, yang menggunakan pendekatan militeristik dalam menjaga kekuasaanya. Demokrasi menjadi common platform rakyat untuk membebaskan diri dari despotisme rezim. Demokrasi kemudian diterjemahkan ke berbagai artikulasi kehidupan sosial dan politik masyarakat. Demonstrasi menuntut hak-hak masyarakat, kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat, termasuk kebebasan pers yang semuanya itu bersandar di bawah pohon rindang yang bernama HAM. Akhirnya demokrasi dan HAM memberikan ruang dan tempat yang besar bagi komponen civil society untuk menggapai tujuan negara demokrasi. Indonesia menjadi negara yang demokratis pasca reformasi (walapun ada yang tidak setuju dengan pendapat ini), bukanlah sesuatu cita-cita terakhir sebagai sebuah nation-state tetapi baru menjadi instrumen politik kenegaraan yang ada bolong-bolongnya. Tambal sulam bolong-bolong demokrasi inilah kemudian yang berproses terus-menerus mencari titik kesempurnaannya dalam praktik kenegaraan. Inilah yang dikenal para mahasiswa dan akademisi sebagai transisi demokrasi.

Diskursus demokrasi tak akan berhenti begitu saja sepanjang masyarakat secara individual dan sosial berpegangan kepada nilai-nilai fundamental Hak Asasi Manusia (HAM). Begitu juga bagi pemerintah, penguatan basis civil society dengan instrumen demokrasi dan HAM menjadi harga mati. Sampai sekarang kita masih mencari-cari format negara demokrasi yang secara empiris diartikulasikan dalam praktik politik kenegaraan. Hal ini yang menjadi catatan kritis untuk kemudian terus mengalami dialektika sosial. Pemilu yang menjadi salah satu parameter negara demokrasi sudah berlangsung tiga kali pasca reformasi. Pelaksanaan pemilu secara langsung telah dimulai tahun 2004 dan ini mencetak sejarah dalam perkembangan sejarah modern Indonesia. Begitu juga Pemilu 2009 kemarin yang terselenggara dengan demokratis. Namun di sisi lain, tak kunjung bertemu dalam satu titik konvergensi bagaimana Pemilu menjadi perangkat politik yang mampu menghasilkan out put (baik anggota legislatif maupun Presiden/wapres) yang berkualitas dan pro rakyat. Para anggota legislatif yang merupakan pilihan rakyat dengan baju besarnya yaitu ”wakil rakyat” belum mampu menerjemahkan suasana kebatinan rakyat yang katanya mereka wakili tersebut. Ini mudah terlihat ketika anggota DPR (misalnya) selalu mengatasnamakan rakyat dalam berucap. Masyarakat akhir-akhir ini disuguhi oleh dinamika politik nasional yang menguras tenaga, pikiran dan materi (uang negara). Kasus Bank Century menjadi fokus diskusi-diskusi mulai di warung-warung kopi sampai di hotel berbintang. Menjadi topik yang menarik karena melibatkan penguasa nomor dua di negeri ini termasuk menterinya. Ditambah lagi para pejabat negara yang terlibat dan diindikasikan melanggar hukum. Ini semua menjadi tontotan yang menarik, apalagi ketika berbicara partai yang berkoalisi, hasil rekomendasi A dan C atau menggabungkan AC dan lainnya.

Pertanyaan mendasar dari publik sebenarnya, apakah Century ini hanya wacana elit yang akhirnya berdampak konflik sistemsik di kalangan elit itu sendiri. Tapi kita khawatir (karena sudah paham) jika konflik elit pasti memiliki daya resonansi yang berimbas kepada masyarakat umum nantinya. Semua itu terbukti sekarang ini, di saat berbagai komponen masyarakat yang melakukan demonstasi baik yang menginginkan kasus Bank Cenutry segera diselesaikan secara hukum, mapun yang mati-matian melakukan pembelaan kepada pembenaran kebijakan bailout Bank Century. Semuanya berlindung atas nama rakyat dan berdiri di bawah bendera demokrasi dan HAM. Keduanya sama-sama anak ibu pertiwi yang ingin bangsa dan negaranya maju. Demonstrasi massa yang dilakukan oleh mahasiswa dan LSM akhir-akhir ini sangat marak dalam menyikapi proses politik di DPR, terkait penyelidikan oleh Pansus Hak Angket DPR. Narasi hak angket DPR tersebut klimaks di parlemen pada 2 maret 2010, ketika DPR secara resmi (setelah proses yang berliku) memutuskan bahwa kebijakan terkait bailout Bank Century adalah salah, baik secara kebijakan mapun secara pelaksanaan. Kemudian pihak-pihak yang terkait dan disebutkan dalam rekomendasi Pansus harus diusut dan diselidiki secara hukum. Berbagai komentar di media baik oleh pengamat maupun anggota DPR yang mengatakan bahwa, keputusan DPR ini merupakan hasil dari sebuah proses politik. Ini perlu ditelaah lagi, karena jangan sampai masyarakat punya persepsi kalau yang namanya proses politik itu (selalu) kotor dan power oriented. Proses politik merupakan suatu dialektika dalam berdemokrasi yang jelas-jelas dijalankan oleh lembaga politik yang sah dan legitimate di negeri ini. Sebagai lembaga negara yang equal dengan presiden, MK dan lainnya, keputusan resmi DPR ini mesti dihargai sebagai oleh masyarakat. Agar lembaga-lembaga negara tetap memiliki martabat di mata rakyat. Begitu juga hasil audit dari BPK, sebagai satu-satunya lembaga tinggi negata yang bertugas mengaudit keuangan negara, maka hasil audit BPK harus dihargai sebagai lembaga negara yang legitimate.

DPR sebagai lembaga legislatif yang mempunyai fungsi kontrol tentu akan dikatakan salah jika tidak melaksanakan salah satu fungsinya itu secara konsisten. Untuk apa ada lembaga legislatif jika hanya menjadi lembaga ompong dan selalu manut terhadap kebijakan pemerintah (eksekutif). Di sinilah letak check and balances dalam negara demokrasi modern. Karena penyelidikan sendiri oleh DPR sebagai lembaga pengontrol terhadap setiap kebijakan pemerintah adalah legal dan sesuai undang-undang. Jadi proses politik di DPR tetap pijakannya (legal standing) adalah undang-undang dan dalam rangka menjalankan amanah undang-undang. Kemudian ketika ada yang membenturkan (proses politik) dengan praktik politik yang dinilai sarat kepentingan dan (mungkin) kotor, ini harus diclearkan juga sebagai pendidikan politik kepada publik. Berbicara kepentingan (intrest) adalah boleh dan halal dalam politik, sepanjang kepentingannya adalah sesuai konstitusi maka tidak ada yang salah. Tetapi ketika kepentingan partai-partai politik di DPR adalah untuk power an sich maka patut untuk dikritisi oleh civil society. Oleh karena itu tidak ada yang perlu ditakutkan dalam sebuah proses politik, karena rakyat sekarang cerdas menilai beragam aktivitas elit politik di parlemen. Hasil keputusan paripurna DPR untuk menyerahkan rekomendasi pansus kepada lembaga penegak hukum (KPK, Polri dan Kejagung), harus dipahami sebagai keputusan lembaga negara yang menjalankan fungsi konstitusinya. Jangan sampai ada pretensi bahkan prejudice terhadap keputusan lembaga negara tersebut.

Sekarang tinggal proses hukum (pro justisia) yang akan menentukan apakah rekomendasi dari keputusan DPR tersebut terbukti atau tidak. Proses hukum merupakan satu-satunya instrumen negara yang harus terbebas dari segala macam kepentingan dan berdiri sendiri. Prinsip equality before the law dan rasa keadilan harus di atas segalnya. Jadi ketika presiden menyampaikan pidato politiknya dalam menyikapi hasil paripurna DPR tentang bailout Bank Century, ini sebatas pendapat sebagai seorang presiden (yang sejajar dengan DPR). Menjadi menarik karena presiden justru tidak setuju dengan hasil paripurna DPR. Sekarang tinggal penegak hukum yang melakukan proses ke depan, tanpa terpengaruh oleh apapun dan siapapun (walaupun pidato presiden). Hasil audit BPK dan keputusan paripurna DPR memiliki landasan yang kuat, karena menjalankan fungsi konstitusionalnya (bukan pembelaan semata). Di sinilah letak dialektika demokrasi Indonesia sesungguhnya. Bagaimana prinsip rule of law mampu diimplementasikan dalam kehidupan bernegara, tak terlepas dari political side (yang sebagian orang menganggapnya kotor). Dialektika berdemokrasi ini jangan sampai juga mengorbankan rasa keadilan masyarakat yang sejatinya pemilik sah republik ini.

Lagi-lagi politik dan hukum bertemu dalam konteks negara demokrasi modern seperti Indonesia. Agak aneh kalau kita mendikotomikan antara politik dan hukum secara parsial. Di pekuliahanpun (jurusan hukum dan politik) pasti diajarkan teori politik hukum yang meletakkan keduanya sebagai instrumen sah dalam negara demokrasi. Memang keputusan paripurna DPR tentang bailout Bank Century bukanlah produk hukum tetap untuk menentukan bersalah atau tidak. Tetapi secara moral politik nama-nama yang diindikasikan dalam keputusan penyelidikan pansus tersebut, sudah tercoreng di depan parlemen. Inilah realita politik dan hukum yang kadang-kadang susah untuk dicerna namun mesti ada dan hidup dalam negara demokrasi. Dalam rentang waktu yang sama, keputusan DPR tentang bailout Bank Century paradoksal dengan isi pidato presiden dalam menanggapinya. Hal ini menjadi dinamika tersendiri karena keduanya, baik DPR maupun presiden adalah lembaga negara yang menjalankan fungsinya sesuai konstitusi. Namun di luar itu semua, dalam hati masyarakat Indonesia menginginkan agar kasus Bank Century cepat selesai secara hukum. Tentulah tujuannya bukan ingin mendiskreditkan dan menyudutkan seseorang (figur), tapi sebagai bentuk penegakkan prinsip rule of law dan equality before the law, dalam konteks negara demokrasi. Baik proses politik (yang dijalankan lembaga politik) maupun proses hukum (lembaga penegak hukum), keduanya sama-sama bertujuan mencari jawaban yang pasti untuk menegakkan rasa keadilan masyarakat. Tidak ada yang perlu dibela, apakah DPR atau presiden, yang harus dibela sesungguhnya adalah kepentingan dan prinsip keadilan masyarakat tanpa berlindung di dalam baju kekuasaannya.

[1] Penulis adalah peneliti di Pusat Kajian dan Pengembangan Ilmu-ilmu

Sosial  (PKPIS) UNJ dan Guru di SMA Labschool Jakarta