Masih Mau Menjadi Guru?

Standar

Pertanyaan pada judul di atas sebenarnya saya tujukan untuk dua (2) kelompok; Pertama, para siswa Kelas XII yang baru lulus dan akan mengambil program studi kependidikan di perkuliahan nantinya. Kedua, bagi mahasiswa keguruan yang saat ini tengah berkuliah di kampus yang dikenal dengan sebutan Lembaga Pendidik Tenaga Kependidikan (LPTK).

Kampus mana saja yang masuk kategori LPTK? Yaitu Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) dan eks IKIP yang mulai tahun 1999 berganti nama menjadi Universitas, semisal Universitas Negeri Jakarta atau Universitas Negeri Medan dan lainnya. Para mahasiswa yang berkuliah di eks IKIP ini pada umumnya adalah mahasiswa kependidikan yang nanti ketika lulus berhak menyandang gelar S.Pd (sarjana pendidikan).

Ini pertanyaan serius dan substantif yang saya ajukan kepada kelompok anak muda di atas. Benar masih mau menjadi guru? Apakah sudah siap secara mental untuk mengikuti proses pendidikan yang berliku. Sebab sebelum lahirnya UU Guru dan Dosen, para sarjana pendidikan lulusan IKIP sudah “otomatis” berhak menjadi guru, sebab selain dibekali ijasah dari kampus, pun mereka mendapatkan Akta IV sebagai “SIM” untuk mengajar di sekolah.

Saat ini, setelah keluarnya peraturan di bawah UU Guru dan Dosen No 14 tahun 2005, seperti PP tentang Guru No 19 tahun 2017, Permendikbud tentang Program Pendidikan Profesi Guru Prajabatan No 87 tahun 2013  serta Permenrisetdikti tentang Standar Pendidikan Guru No 55 tahun 2017. Bahwa untuk menjadi guru sebagai sebuah profesi, maka seorang lulusan sarjana pendidikan (S.Pd) mesti mengikuti kuliah Pendidikan Profesi Guru (PPG) selama 1 tahun. Inilah yang dikenal dengan PPG Prajabatan. Selesai kuliah selama 1 tahun, jika lulus seorang sarjana pendidikan tadi dapat sertifikat pendidik dan berhak menjadi Guru dengan titel Gr.

Apakah setelah lulus kuliah sekitar 4 tahun (dengan titel S.Pd) ditambah kuliah plus praktik mengajar 1 tahun (bergelar Gr, sah sebagai guru profesional), seorang Gr tersebut langsung mengajar dan ditempatkan oleh pemerintah di sekolah? Jawabannya TIDAK. Mereka juga harus berjuang mencari pekerjaan menjadi guru di sekolah-sekolah, di tengah kompetisi sengi, sebab lulusan LPTK berjibun tiap tahunnya.

Ratap Ki Hajar Dewantara tentang Nasib Guru Honorer

Seandainya pun mereka para guru profesional ini (bertitel Gr) ini diterima di suatu sekolah, apakah perjuangan berhenti di sini? Jawabaannya tunggu dulu! Tiap sekolah apalagi sekolah swasta punya kemampuan yang berbeda dari aspek keuangan. Wilayah Indonesia yang sangat luas, ada daerah tertinggal, terluar dan terdepan (3T), kemampuan daerah pun beragam. Jadi akan ada guru-guru yang bernasib tragis, bergaji minimalis, honor yang horor walaupun setumpuk beban tanggung jawab mencerdaskan kehidupan bangsa ada di pundaknya. Statusnya adalah guru honorer dengan upah yang horor.

Sudahlah perjuangan meraih titel S.Pd dan Gr berliku, diterima menjadi guru, tapi digaji sangat tidak laik. Bahkan sampai kini di Hari Pendidikan Nasional 2018, masih ada guru yang dapat honor Rp 35.000 perbulan. Bahkan kami dari FSGI pernah bertemu seorang ibu guru dari NTB yang menyampaikan keluh-kesahnya kepada Komisi X DPR-RI. Beliau mengajar sudah lebih 17 tahun, berstatus honorer dan diupah sebesar Rp 50.000 perbulan. Apakah ini penghargaan yang manusiawi untuk seorang guru, di Hari Pendidikan Nasional yang tiap tahun kita rayakan? Seandainya Ki Hadjar Dewantara masih hidup, saya yakin beliau akan meratapi nasib tragis guru di republik ini!

Ketidakadilan yang dirasakan oleh para (calon) guru yang lainnya adalah, peraturan tentang PPG khususnya yang prajabatan (karena ada juga PPG dalam jabatan). Para lulusan S.Pd yang kuliah (4-6 tahun) di kampus bekas IKIP, tak otomtais lagi bisa menjadi guru profesional. Sebab harus ikut kembali kuliah PPG selama 1 tahun. Nah, persoalannya PPG Prajabatan ini juga “dibuka” bagi sarjana nonkependidikan, karena aturannya memang demikian. Artinya seorang lulusan Fak. Ekonomi bertitel SE berhak menjadi guru ekonomi dengan cukup mengikuti PPG Prajabatan selama 1 tahun. Sama dengan S.Pd yang nota bene sudah menempuh kuliah kependidikan, selama 4-6 tahun belajar pedagogis, tetapi disamakan dengan SE untuk mengikuti perkuliahan kependidikan dalam program PPG tersebut.

Jika menganalogikan guru itu profesi yang sama dan setara seperti dokter atau advokat, mari kita lihat praktik nyata peraturannya. Seorang jika ingin menjadi dokter profesional, mesti meraih gelar S.Ked di Fak. Kedokteran terlebih dulu. S.Ked belumlah dokter profesional. Karena masih sarjana, bukan profesi. Nah, seorang S.Ked tadi wajib kuliah dan praktik (lazim disebut KOAS) selama 2 tahun. Jika lulus tes, maka S.Ked yang sudah lulus KOAS ini berhak menyandang gelar dr (dokter) dan menjadi dokter profesional. Pertanyaannya, apakah seorang dengan gelar S.Pd berhak mengikuti KOAS karena ingin menjadi dokter profesional? Jawabannya: YA GA MUNGKINLAH!

Kemudian, jika ingin menjadi advokat profesional, harus terlebih dulu kuliah dan lulus SH dari Fak. Hukum. Lalu ditambah kuliah dan tes advokat yang diselenggarakan lembaga profesi. Jika lolos, maka SH tersebut berhak menjadi advokat profesional. Pertanyaannya, apakah seorang dengan gelar S.Pd berhak mengikuti kuliah dan tes karena ingin menjadi advokat profesional? Jawabannya: YA GA MUNGKIN JUGALAH!

Kenapa tidak bisa? Sebab menjadi dokter profesional disyaratkan harus lulusan S.Ked dan menjadi advokat profesional syarat wajibnya haruslah lulusan SH.

Sekarang, pertanyaannya dibalik. Apakah seorang sarjana bertitel SH, ST, S.Ked, SE dan lainnya bisa dan boleh menjadi seorang guru profesional? Jawabannya: YA SANGAT BISA! Bagaimana caranya? Cukup seorang bertitel SH mengikuti PPG Prajabatan selama 1 tahun, bareng dengan mereka yang sudah kuliah kependidikan bertahun-tahun yang bergelar S.Pd itu, bersama-sama menjadi guru profesional, dengan titel Gr.

Apakah fakta di atas adil bagi mereka yang nota bene bertitel S.Pd alias sarjana pendidikan yang sudah belajar seluk-beluk kependidikan atau pedagogis selama 4-6 tahun? Karena sama-sama ingin menjadi guru. Nampaknya seorang lulusan LPTK bergelar S.Pd dipandang rendah dan sebelah mata oleh negara, karena belum laik menjadi guru. PPG Prajabatan itu mestinya khusus bagi sarjana pendidikan! Tidak dibuka bagi SH, SE, S.Ked, ST atau sarjana lainnya. Karena para S.Pd pun tak bisa mengikuti program profesi advokat, dokter, akuntan atau insinyur.

Nasib berliku bahkan tragis para guru di republik ini bukan mitos, tapi realita. Semenjak kelahirannya para sarjana pendidikan sudah dipersulit. Eksistensi sekolah guru atau LPTK ini patut juga dipertanyakan. Mau dibawa kemana LPTK yang dulu secara eksklusif menghasilkan calon guru. Saat ini para S.Pd bersaing ketat dengan sarjana lainnya menjadi guru profesional. Apakah mungkin lulusan bertitel SE, SH, ST atau S.IP berlomba-lomba ingin menjadi guru juga? Ya mungkin saja, di tengah makin sulitnya pekerjaan dan persaingan dengan para pekerja asing yang melimpah-ruah masuk mencari makan di negara kita ini.

*Tulisan ini dimuat di Republika Online pada Jumat, 4 Mei 2018. Berikut tautannya; http://republika.co.id/berita/kolom/wacana/18/05/04/p85h0h396-masih-mau-menjadi-guru

Guru, Hoaks dan Keterampilan Berpikir Kritis

Standar

Maraknya berita bohong (hoaks) di tengah masyarakat akhir-akhir ini membuat kita resah. Meresahkan sebab mengancam keutuhan bangsa. Lebih resah lagi karena bukan hanya masyarakat awam yang berkontribusi menyebarkan hoaks, tetapi sampai pada kalangan pendidik; guru dan dosen. Menyedihkan lagi, setidaknya sudah ada tiga (3) guru dan seorang dosen ditangkap kepolisian karena menyebarkan hoaks.

Kondisi tersebut menjadi peringatan keras bagi pendidikan dan persekolahan kita. Yang disebut guru profesional, mesti memenuhi empat (4) syarat kompetensi; kompetensi pedagogis, profesional, kepribadian dan sosial. Jika faktanya guru pun melibatkan diri dalam memproduksi dan mengembangbiakkan berita bohong, setidaknya 3 kompetensi (dari 4) sudah tak tercermin dalam dirinya.

Pertanyaan pokoknya adalah; Mengapa para guru memercayai dan (sampai hati) menyebarkan berita hoaks? Untuk menjawab soalan penting di atas, ada dua (2) perspektif jawaban. Pertama, sudah menjadi fakta dunia pendidikan nasional sekarang, jika tingkat literasi kita memang rendah dibanding negara lain termasuk di Asia Tenggara.

Itulah yang tergambar dalam hasil penelitian PISA (Programme for International Student Assessment) 2015, skor untuk literasi siswa Indonesia 397. Tetangga negara Asia Tenggara lain seperti Vietnam memeroleh skor 487, Malaysia 431 dan Thailand 409. Bagiamana Singapura? Negeri singa ini di posisi teratas dunia dalam hal membaca, dengan skor 535. Dan teratas pula untuk skor matematika dan sains.

Harus diterima, bahwa tingkat literasi peserta didik kita rendah. Tapi sebagai seorang guru, yang patut malu dan menjadi koreksi bersama yakni kita para guru. Guru semestinya yang bertanggungjawab. Bagaimana literasi siswa akan ditingkatkan, jika gurunya saja malas membaca.

Jujur harus diakui, kita para guru juga malas membaca. Fakta ini mengonfirmasikan hasil kajian Bank Dunia terkait persoalan pendidikan Indonesia, diantaranya adalah masalah kualitas guru. Bahkan dari hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) 2015, secara nasional rata-rata nilainya 56,69 (Kompas, 12/3/2018). Tentu angka ini cukup merisaukan. Artinya tingkat literasi siswa yang rendah, sangat dipengaruhi oleh kualitas guru termasuk rendahnya literasi guru di dalamnya.

Maka untuk menghentikan pengembangbiakan hoaks secara total, mutlak harus dimulai dengan literasi guru. Guru memberikan teladan literasi di sekolah agar bisa menjadi inspirasi bagi siswa. Akan efektif jika dilakukan, sebab para siswa akan menjadikan guru sebagai “role model” yang baik dalam dirinya.

Mulailah dengan mendisain ruang perpustakaan kelas. Beragam tunjangan guru yang diperoleh (khususnya bagi yang di kota-kota besar), alangkah eloknya disisihkan untuk membeli buku. Memenuhi lemarinya dengan buku dan dibaca. Membawa koleksi buku pribadinya ke ruang kelas. Menaruhnya di perpustakaan kelas.

Bersama siswa, membaca buku koleksi perpustakaan kelasnya tadi. Bagi siswa yang mampu, sisihkanlah sebagian uang jajannya untuk memenuhi perpustakaan kelasnya dengan buku. Makin banyak membaca, makin luas cakrawala dan akan lebih rasional dan kritis dalam memahami peristiwa. Setidaknya langkah kecil inilah yang pernah penulis lakukan di tempat mengajar.

Kedua, berseliwerannya hoaks di masyarakat yang juga merambat ke dunia pendidikan, dikarenakan proses pembelajaran di kelas belum menggunakan metode menyenangkan, sekaligus jauh dari kemampuan berpikir kritis (critical thinking), baik dari guru maupun siswanya.

Proses pembelajaran masih dilakukan secara klasikal; hanya ceramah di depan kelas. Guru biasa aktif bermonolog di depan. Sedangkan siswa pasif mendengar. Belum terbangun “pembelajaran yang mengundang” –meminjam istilah Conny R Semiawan- yakni suasana pembelajaran yang memancing keingintahuan siswa, memancing kemampuan berpikir kritis siswa dan yang melibatkan olah pikir, olah hati, olah rasa dan raga sekaligus di dalamnya.

Keterampilan berpikir siswa kita masih kategori rendah (lower order thinking skill). Merujuk pada Taksonomi Bloom, yang diperbarui oleh Anderson (2001), bentuk kemampuan berpikir rendah adalah mengingat (C-1), memahami (C-2) dan mengaplikasikan (C-3).

Para siswa baru mampu mengingat, mengahafal setumpuk teori, rumus, nama, tempat, waktu dan definisi. Naik sedikit pada memahami kenapa sebuah fenomena terjadi. Itupun karena sudah ada konsepnya di buku pelajaran, dihafalkan lalu dikeluarkan ketika ulangan, dan sampai nanti di ujian nasional. Begitulah terus siklusnya.

Siswa belum sampai pada tahapan berpikir (meng) analisis (C-4), menilai (C-5) dan mencipta (C-6). Tiga keterampilan terakhir inilah yang disebut “high order thinking skill”.

Bagi penulis rendahnya kemampuan berpikir kritis siswa, juga dipengaruhi oleh pendekatan yang dipakai guru di kelas. Guru masih menjadi sumber pengetahuan yang utama bagi siswa. Relasi guru dan siswa masih bersifat superior-inferior. Guru selalu benar dan siswa bisa salah. Guru tahu, siswa tidak tahu. Guru mengajar, siswa belajar. Guru aktif, siswa pasif.

Pola pengajaran seperti inilah yang disebut Paulo Freire (1985) dengan “pendidikan gaya bank”. Siswa diibaratkan sebagai tabungan yang selalu siap diisi oleh koin-koin atau lembaran pengetahuan dari guru.

Terlibatnya guru dalam menyebarkan hoaks, adalah karena rendahnya kesadaran kritis yang dimilikinya. Kesadaran kritis tersebut dipengaruhi oleh kemampuan berpikir kritis yang rendah juga, sehingga suasana pembelajaran yang kritis dan dialogis tidak terbangun dalam kelas.

Guru tak ubahnya seorang pendoktrin yang terus berceramah di muka siswa. Sehingga nilai utama pendidikan yang sejatinya bersifat dialogis telah direduksi langsung. Padahal guru bukanlah dewa, dan murid bukanlah kerbau yang dicocok hidungnya kata Soe Hok Gie (1942-1969).

Berbahayanya lagi, jika hoaks tersebut disampaikan di depan kelas dan siswanya pun mengamininya. Para siswa yang meyakini hoaks dari gurunya (karena guru dianggap selalu benar), lantas mereproduksi dan tak henti menyebarluaskan di media sosial mereka. Inilah puncak dari hoaks yang paling mengerikan dan berpotensi mengancam integrasi nasional kita masa kini dan mendatang.

Semoga kekhawatiran tersebut tak makin menjadi. Dengan prasyarat mutlak yaitu guru harus mampu menghadirkan suasana pembelajaran dialogis, membangun kesadaran kritis siswa, menghadirkan pembelajaran yang mengundang sekaligus menyenangkan bagi siswa. Semua itu tak akan terwujud tanpa didasari literasi yang baik.

Semoga guru-guru kita memulainya dari sekarang. Tak ada kata terlambat, jika masih memiliki rasa cinta terhadap masa depan republik ini.

 

*Tulisan ini dimuat di Medcom.id pada 6 April 2018. Berikut tautannya; https://www.medcom.id/pendidikan/forum-pendidikan/ybDO7DPN-guru-hoaks-dan-keterampilan-berpikir-kritis

Guru dan Siswa: LGBT dalam Pembelajaran

Standar

Di media sosial saat ini, ramai diwartakan perihal seorang selebritis yang diduga bahkan dituding oleh masyarakat telah berganti jenis kelamin. Sosok yang dituding para netizen sebagai transgender yang sebelumnya laki-laki, kemudian mengubah jenis kelaminnya menjadi perempuan.

Figur tersebut bernama Lucinta Luna, penyanyi yang diyakini publik telah melakukan operasi jenis kelamin. Setidaknya demikianlah pembahasan khususnya di media sosial yang sempat viral sampai sekarang, tentang personil “Duo Bunga” ini.

Bicara tentang kelompok LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender) atau ditambah IQ (Intersex dan Queer) masih menjadi tabu dan polemik bagi masyarakat. Biasanya ukup didiskusisan dan diperdebatkan dalam kelas kajian gender. Atau perdebatan teori sosial di kelas sosiologi, psikologis bahkan kelas fikih Islam.

Artinya membicarakannya cukup di ruang-ruang terbatas saja. Dukungan terhadap eksistensi kelompok tersebut di kalangan aktivis feminis dan pegiat hak asasi manusia (HAM) selalu muncul. Apalagi sampai kini terus mengupayakan Rancangan Undang-Undang Keadilan dan Kesetaraan Gender (RUU KKG) segera disahkan DPR.

LGBT dalam Perspektif Siswa

Dalam tulisan sederhana ini, penulis ingin berbagi pengalaman singkat untuk memperkaya perspektif kita, sebagai bagian diskursus perihal LGBT dalam konteks pendidikan dan persekolahan.

Tema besar yang menjadi inti persoalan adalah, “Bagaimana pemahaman para siswa Generasi Z terhadap keberadaan kelompok LGBT?”. Pertanyaan ini menjadi wacana yang sangat menarik bagi penulis dalam pembelajaran PPKn (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan) di kelas, khususnya pada KD (Kompetensi Dasar) “Penghormatan HAM berdasarkan nilai-nilai Pancasila” di Kelas XI SMA.

Dalam KD ini, secara umum para siswa akan belajar mengenai teori dan konsepsi HAM, seperti konsep “non-derogable rights” dan “derogable rights”. Yang pertama adalah hak asasi manusia yang tidak bisa ditangguhkan atau dikurangi kapanpun, sedangkan yang kedua adalah hak asasi manusia yang bisa ditangguhkan atau dikurangi keberadaannya. Kemudian belajar prinsip universalisme HAM dan partikularisme HAM. Dilanjutkan menganalisis kasus-kasus pelanggaran HAM (berat) di Indonesia.

Begitu pula mengenai teori universalitas HAM dan relativitas HAM (ICCE UIN Jakarta, 2012). Para siswa pun sudah belajar pasal 28 A-J UUD 1945 yang khusus menguraikan tentang hak asasi manusia dalam konteks konstitusi Indonesia, sebagai wujud nyata partikularisme HAM. Konsepsi HAM Indonesia berbeda dengan konsepsi HAM negara barat yang didasari ideologi liberalisme (universalisme HAM). Setidaknya demikian uraian singkatnya.

Dalam tiap diskusi terkait isu-isu HAM yang saat ini sedang berkembang, baik konteks Indonesia maupun global, para siswa sering merujuk tentang legalisasi kelompok LGBT di Amerika Serikat, Eropa dan Australia. Diskusi biasanya diawali oleh pertanyaan, “Apakah memilih orientasi seksual LGBT merupakan bagian dari HAM di Indonesia?”. Secara umum siswa terbagi menjadi tiga (3) pandangan kelompok.

Kelompok pertama, yakin dan menilai bahwa LGBT bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, budaya, adat-istiadat dan agama di Indonesia. Prinsip partikularisme HAM. Oleh karena itu menjadi LGBT bukan bagian dari HAM, justru bagi mereka melanggar HAM itu sendiri.

Mereka yakin sampai kapanpun LGBT takkan diterima oleh budaya Indonesia. Apalagi wacana untuk legalisasi “same-sex marriage” seperti di beberapa negara Eropa, tidak akan pernah bisa diterima di negara ini. Kelompok ini jumlahnya paling dominan, hampir di setiap kelas yang saya ajar.

Sedangkan kelompok kedua, ada beberapa siswa di tiap kelas yang memiliki pemahaman lebih “moderat” terhadap kelompok LGBT. Mereka beralasan bahwa kelompok LGBT saat ini memang menjadi persoalan sosial dan perilaku menyimpang, tetapi seiring globalisasi dan masuknya nilai-nilai barat ke Indonesia, lambat-laun kelompok LGBT akan bisa diterima oleh masyarakat Indonesia.

Nilai-nilai HAM yang berkembang di barat akan memengaruhi pola pikir dan sikap hidup masyarakat Indonesia. Kelompok ini berpandangan positif dan akomodatif terhadap perubahan sosial. Meyakini suatu hari nanti, nilai-nilai budaya asli Indonesia akan memudar dan terkikis. Ini tak akan bisa dihindari kata mereka, sebuah keniscayaan global.

Sedangkan bagi kelompok ketiga, adalah beberapa siswa yang memiliki persepsi lebih “liberal” dari kelompok lainnya. Biasanya jumlahnya paling sedikit, hanya hitungan jari tak lebih dari lima (5) siswa. Mereka yakin bahwa menjadi bagian dari LGBT adalah sebuah pilihan psikologis, sosial dan konstitusional karena dijamin dalam UUD 1945.

Kelompok non-mainstream ini juga beralasan, jika LGBT adalah kelompok sosial yang sebenarnya potensial, baik secara jumlah maupun secara kualitas (sumber daya manusia). Para siswa kemudian mencontohkan negara Eropa dan Amerika Serikat, yang kelompok LGBT-nya dari beragam profesi, bahkan ada yang menjadi CEO perusahaan internasional Apple, Tim Cook atau pemusik legendaris seperti John Lenon.

Bagi mereka LGBT memiliki potensi yang harus diberdayakan, mereka sama dengan kita yang juga sebagai manusia. Para siswa kemudian mengutip Pasal 28D UUD 1945;
(1) “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”. Kemudian Pasal 28I (2) “Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”.

Artinya menjadi seorang yang bagian dari LGBTIQ adalah pilihan hidup. Dijamin konstitusi menurut mereka. Dan siapapun atau kelompok manapun tak boleh memaksakan pemahamannya kepada kelompok lain. Yang lebih penting kelompok LGBTIQ harus terbebas dari tindakan diskriminasi dalam masyarakat. Singkatnya demikian argumen yang dibangun.

LGBT dan Pedagogi Kritis

Dalam pembelajaran (PPKn), di satu sisi mengemukakan isu-isu kontroversial dalam pembelajaran di kelas akan menarik partisipasi siswa, seperti yang pernah Prof. Dr. Udin S. Winataputra (Guru Besar Pendidikan Kewarganegaraan, UT) sampaikan kepada saya dalam sebuah diskusi di Puskurbuk beberapa waktu lalu.

Bahwa seorang guru PPKn harus mampu melakukan “burning issues”, mengangkat persoalan sosial yang kontroversial ke hadapan siswa dalam format diskusi atau debat. Di sisi lain, memulai diskusi kontoversial ini akan membuka lebar liberalisasi wacana kepada siswa.

Tapi semua itu dilakukan dengan tujuan agar siswa mampu menyampaikan argumentasinya secara logis dan rasional, berpikir kritis (critical thinking), mampu mengomunikasikannya (communicative) kepada siswa lain, menghargai perbedaan cara pandang dan toleran terhadap kelompok yang berbeda dengan dirinya serta bertanggungjawab dengan pilihan sikapnya. Inilah perwujudan pedagogi kritis dan dialogis, seperti yang diajarkan Paulo Freire (1985) dan Henry Giroux (2011).

Model ini juga dilakukan, agar pembelajaran di kelas lebih menarik bagi siswa khususnya di level SMA. Pendidikan kritis dan dialogis inilah yang sampai sekarang dirasa kurang hadir dalam pembelajaran di sekolah oleh guru-guru kita. Tidaklah heran jika PISA (Programme for International Students Assessment) dan TIMSS (Programme for International Students Assessment), memasukkan para siswa Indonesia ke dalam kelompok dengan keterampilan berpikir tingkat rendah atau Lower Order Thinking Skills (LOTS). Artinya secara umum kemampuan berpikir para siswa masih di sekitar menghafal, mengingat dan memahami.

Guru, HAM dan LGBT

Pertanyaan berikut, “Bagaimana perspektif dan sikap penulis sebagai guru dalam proses pembelajaran di kelas, perihal HAM dan LGBT di Indonesia ini?

Sebagai seorang guru, secara normatif konseptual penulis akan menjelaskan argumentasi dan ragam perspektif secara sosial budaya (termasuk teologis di dalamnya) dan konstitusi, alasan mengapa LGBT ditolak oleh sebagian besar masyarakat kita.

Secara sosiologis, masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang menghormati dan menjunjung tinggi nilai-nilai agama, moral dan adat-istiadat. Oleh karena itu kehidupan masyarakat Indonesia tak akan lepas dari pengaruh agama dan budaya (adat-istiadat).

Prinsipnya agama-agama akan sulit menerima umatnya menjadi bagian dari kelompok tersebut. Begitu juga di wilayah adat, secara umum masyarakat adat di nusantara ini tak memberikan ruang bagi gender ketiga apalagi perkawinan sesama jenis.

Secara konstitusional kemudian diuraikanlah Pasal 28J UUD 1945 point (2) “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.

Secara prinsip penulis memang memilih bersikap bahwa kelompok LGBT bukan pilihan, tetapi gejala perilaku yang bisa diperbaiki secara psikologis dan mental spritual. Agama (Islam dalam pemahaman saya) melarang umatnya menjadi LGBT, begitu pula nilai-nilai adat yang kita anut.

Namun sebagai pendidik yang terus berikhtiar menjadi adil dan bijak, bagi penulis orang-orang yang mengklaim dirinya sebagai LGBT juga merupakan warga negara Indonesia, yang tidak bisa diperlakukan semena-mena, tak boleh diintimidasi dan berhak memperoleh perlindungan dari bentuk kekerasan apapun. Sebagai warga negara, keberadaannya setara dengan kita yang bukan LGBT. Begitu pulalah akan hak dan kewajibannya.

Penulis pun menyampaikan ke hadapan siswa bahwasanya adat di daerah tertentu juga memiliki local wisdom yang berbeda dari daerah lain, misalnya di masyarakat adat Bugis, yang memberikan tempat sangat spesial, mulia dan sakral kepada para “Bissu”. Mereka diyakini sebagai pendeta suci yang bukan perempuan dan juga bukan laki-laki. Suatu kearifan lokal yang mesti dihargai. Dan kita mesti melestarikannya. Karena konstitusi UUD 1945 memberikan penghormatan bagi segala bentuk kearifan lokal.

Oleh karena itu konsepsi HAM yang hidup dalam masyarakat kita terlihat bersifat relatif partikularistik dan unik. Keunikannya itu disesuaikan dengan nilai dan tatanan budaya masyarakat seperti di Indonesia. Dalam konteks kasus LGBT di Indonesia inilah, partikularisme HAM berlaku adanya. Sejauh ini demikianlah yang penulis pahami dan lakukan sebagai seorang guru, tentang pembahasan LGBT dalam pembelajaran.

 

*Tulisan ini dimuat di Republika Online pada Minggu, 8 April 2018. Berikut tautannya; http://www.republika.co.id/berita/kolom/wacana/18/04/07/p6tbqp396-guru-dan-siswa-lgbt-dalam-pembelajaran

Guru dan Radikalisme di Sekolah

Standar

Seputar Radikalisme-Fundamentalisme

Maraknya aksi intoleransi dan anti-kebhinekaan yang diasosiasikan sebagai tindakan radikalisme atau fundamentalisme bermuatan agama saat ini membuat kita terenyuh. Sebab pada umumnya pelaku tindakan intoleran dan antikebhinekaan tersebut berasal dari kalangan intelektual terdidik, baik siswa maupun mahasiswa. Intelektual merupakan kelompok elit masyarakat yang berpendidikan, rasional-objektif dan seperangkat predikat keilmiahannya. Sebagaimana dikatakan Antonio Gramsci (2013) bahwa tugas intelektual (organik) adalah mengartikulasikan kesadaran kolektif sosial, ekonomi dan politik kelasnya.

Tapi ternyata radikalisme apalagi yang membawa simbol-simbol agama, tidak peduli apakah seseorang itu intelektual, atau kalangan masyarakat awam. Sebab yang menyatukan di antara mereka adalah kesamaan pandangan dan ideologi gerakan. Betul bahwa latar kesamaan ideologis menjadi faktor determinan bagi berkembangnya ideologi radikal (agama) tersebut.

Fundamentalisme agama, dalam sejarah agama-agama muncul di semua agama. Di kalangan Kristen, dalam booklet yang berjudul The Fundamentals (sekitar 1909-1915), muncul kelompok puritan yang ingin mengembalikan masyarakat Kristiani untuk kembali kepada Bible yang sakral. Menolak jauh-jauh modernisasi yang sedang terjadi terhadap ajaran keagamaan. Fudamentalisme-radikalisme dalam Islam, kita mesti membaca ulang sejarah sekte Khawarij. Mereka merupakan kelompok agama garis keras. Bahkan bagi mereka rukun Islam yang ke enam (ditambah) yaitu jihad. Khawarij membolehkan pembunuhan terhadap siapapun (isti’rad), yang dianggap sebagai lawan politik dan ideologisnya, melabeli musuhnya sebagai kaum musyrik yang tidak memiliki hak hidup (Antony Black, 2006:47-49).

Jauh sebelum ini seratus tahun sebelum masehi yakni di masa pemerintahan Ephipanes (175-164 SM), benih fundamentalisme agama telah hidup. Jadi secara sosiologis, memang perjalanan fundamentalisme sebagai sebuah ideologi dan gerakan politik-keagamaan bukan hanya milik sejarah Islam, tetapi dimiliki juga dalam iman Yahudi dan Kristen.

Roger Garaudy (1993) dalam bukunya “Islam Fundamentalis dan Fundamentalis lainnya”, telah memaparkan secara gamblang. Walaupun dalam perjalanannya, persepsi masyarakat (media) berhasil memproduksi kesan, jika fundamentalisme agama itu, melulu bersangkut-paut dengan Islam (muslim). Padahal Bruce Lawrence (2000) secara tegas memisahkan antara Islam sebagai agama (din), dan Islam sebagai ekspresi keberagamaan oleh umatnya yang heterogen pula. Lawrence mengatakan bahwa Islam tidak tunggal.

Secara definisi tidak ada yang salah dengan kata fundamental dan radikal. Bahkan banyak persoalan bangsa, terkait kemiskinan, pengangguran, keterbelakangan pendidikan, harus diselesaikan secara “radikal” oleh pemerintah, karena masalah tersebut telah menjadi persoalan “fundamental” kita sebagai bangsa. Kalimatnya sampai di sini masih berkesan positif. Sebab pertama, karena pelaku (subjek) yang radikal di sini adalah negara (kebijakan).

Kedua, yang menjadi objek permasalahannya adalah kemiskinan, pengangguran dan kebodohan (permasalahan bangsa). Kesimpulannya yaitu makna fundamental dan radikal akan menjadi sangat menakutkan jika disandingkan dengan gerakan yang berbaju ideologi, apalagi dibalut oleh simbol-simbol agama yang berujung kepada sikap dan perilaku sosial-politik yang bertentangan dengan nilai-nilai kehidupan berbangsa.

Persoalan kemudian, karena yang berbaju radikal-fundamental adalah kelompok intelektual di sekolah (perguruan tinggi). Siswa dibentuk menjadi radikal dalam pola pikir dan sikap politiknya. Mahasiswa tercipta menjadi kelompok radikal agama, setidaknya dalam paradigmanya yang menolak ideologi Pancasila atau menolak NKRI dan UUD 1945.

Berkembangnya perilaku intoleransi, sikap radikalisme, anti-Pancasila yang alergi terhadap kebhinekaan di tingkatan pelajar sekolah misalnya, tergambarkan dalam hasil penelitian Maarif Institute (2018). Setidaknya ada tiga (3) faktor penyebab utama terjadinya penetrasi paham intoleran dan radikalisme ke sekolah. Pertama, melalui kegiatan ekstrakurikuler, yaitu keterlibatan alumni ke dalam pelatihan siswa di sekolah. Kedua, melalui guru dalam proses pebelajaran di kelas. Ketiga, kebijakan sekolah yang lemah dalam mengontrol masuknya radikalisme ke sekolah.

Sekarang menjadi nyata jika benih-benih intoleransi mulai tumbuh di lingkungan sekolah. Setidaknya ini yang tergambar dari survei Maarif Institute (2015), The Wahid Institute (2016) dan Setara Institute (2016). Siswa diberikan pertanyaan seperti; setujukah dengan “negara Islam di Indonesia”? Hasilnya, 19,39 % menyatakan “setuju”, dan 3,06 % menyatakan “sangat setuju” (survei Maarif Institute terhadap 98 siswa ). Kemudian 59,9 % responden siswa memiliki kelompok yang dibenci. Yaitu orang-orang yang berlatarbelakang agama nonmuslim, kelompok tionghoa, komunis, dan lainnya (survei The Wahid Institute kepada 1.520 responden), sebanyak 61,6% punya sikap toleran, 35,7% intoleran pasif, 2,5% intoleran aktif atau radikal, dan 0,3% berpotensi menjadi teroris (survei Setara Institute kepada 760 responden siswa). Terbaru adalah penelitian Kemdikbud kepada siswa yang diindikasikan bersikap intoleran di organisasi OSIS.

Guru dan Deradikalisasi

Ini menjadi persoalan sangat serius, jika benih radikalisme tersebut mulai tumbuh di sekolah. Akan menjadi kegagalan sistem pendidikan nasional kita, padahal pemerintah sudah menggalakkan pendidikan karakter di sekolah. Jangan sampai pendidikan karakter dan narasi revolusi mental selama ini yang digaungkan, tinggal kata-kata dalam seminar semata. Tidak membumi di ruang-ruang kelas dan sekolah, membatin dalam pribadi siswa, guru dan pejabat negara.

Kita tak bisa membayangkan jika hati dan isi kepala para generasi penerus ini penuh rasa kebencian, intoleran, anti-Pancasila dan antikebhinekaan. Makin berbahaya jika konteks pembelajaran di kelas oleh para guru memang melegitimasi dan memberikan ruang terhadap tindakan kekerasan, intoleransi dan eksklusivisme tersebut. Jika muatan pembelajaran yang disampaikan di kelas oleh guru cenderung bersifat radikal, mengarah kepada kekerasan, anti-Pancasila, NKRI dan kebhinekaan, maka sekolah bisa bertindak tegas. Walaupun sebagai pendidik, saya agaknya ragu jika ada guru (sekolah umum dan sekolah agama) secara terbuka di depan kelas, mengajarkan kekerasan bahkan teror dalam muatan pembelajarannya.

Sebagai langkah awal yang baik adalah, perlu kiranya pembuat kebijakan pendidikan (Kemdikbud dan Kemenag), bersama melakukan evaluasi dan supervisi yang menyeluruh, berjenjang dan transparan. Sebab selama ini evaluasi oleh Kemdikbud dan Kemenag terhadap sekolah-sekolah, dilakukan hanya administratif belaka dan parsial. Melalui penilaian perangkat pembelajaran dan silabus di sekolah-sekolah, itupun terkesan formalitas dan sekedar pelepas kewajiban rutin belaka. Walaupun ada pengawas sekolah, tidak pernah menilai pembelajaran oleh semua guru di satu sekolah. Tidak ada juga tindak lanjut yang dilakukan kemudian, bagi perbaikan-perbaikan yang juga mendasar.

Instrumen yang efektif selain supervisi silabus dan perangkat pembelajaran, tentu adanya ruang dialog terbuka antara guru, siswa dan orang tua sebagai bentuk pengawasan bersama. Ruang dialog mesti dibuka lebar oleh guru dalam pembelajaran di sekolah. Diskursus wacana adalah keniscayaan antara siswa dan guru. Jika guru mau meningkatkan kapasitas diri, memperbanyak bacaan dan wawasan, tentu apapun potensi radikal siswa yang bersumber dari apa yang siswa baca, bisa dibawa dan didiskusikan secara terbuka, rasional dan dialogis. Ini yang agaknya kurang dalam diri para guru saat ini. Semoga menjadi otokritik bagi kawan-kawan guru.

*Tulisan ini dimuat di Tempo-Indonesiana pada 8 Maret 2018. Berikut tautannya; https://indonesiana.tempo.co/read/123413/2018/03/08/satriwansalim/guru-dan-radikalisme-di-sekolah

Teacher Zaman Old, Mendidik Kids Zaman Now

Standar
Teacher Zaman Old, Mendidik Kids Zaman Now

Sebagai seorang guru, saya menginsyafi jika pemakaian 4 kata asing (dari 7 kata) dalam kalimat judul tulisan di atas, sangat menyalahi kaidah berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Gamang memakai Bahasa Indonesia yang benar. Malah terasa seperti orang Malaysia atau Sigapura yang memang mencampurkan bahasa asing dengan melayunya, dan itulah bahasa nasional mereka.

Tapi apa mau dikata, istilah “kids zaman now” sudah menasional bahkan mendunia. Bahkan sayup-sayup terdengar dari kelas sebelah, guru Bahasa Indonesia pun memakai istilah tersebut ketika mengajar di depan siswanya.

Sebagai masyarakat perkotaan kita selalu memandang masyarakat Indonesia dengan perspektif modern yang bias Jakarta. Bahwa modernisasi, industrialisasi, penggunaan teknologi informasi dan komunikasi merupakan keniscayaan sosial, yang saat ini sedang mengalami puncaknya, tidak hanya di kota tetapi sampai ke pelosok-pelosok desa. Fenomena ini pasti akan memengaruhi pola pikir (mindset) anak-anak kita, yang nota bene adalah para pelajar.

Kids zaman now” adalah mereka yang disebut Generasi Z,  lahir rentang tahun 1995-2010. Lebih lanjut uraian tentang sosiologi generasi ini, bisa membaca pemikiran Karl Mannheim (1893-1947) yaitu dalam esainya berjudul “The Problem of Generations” (1923). Dia mengatakan bahwa sebuah generasi merupakan suatu kelompok yang terdiri dari individu, yang memiliki kesamaan dalam rentang usia, kemudian berpengalaman mengikuti peristiwa sejarah penting dalam suatu kurun waktu yang sama pula.

Berbeda hal kemudian yang dikenal dengan istilah Generasi Y atau lazim dikenal dengan Generasi Milenial. Generasi ini lahir sekitar 1981-1994. Istilah Generasi Milenial ini mulai berkembang di Amerika Serikat setelah terbitnya buku “Millennials Rising: The Next Great Generation” (2000), ditulis Neil Howe dan Bill Strauss. Masyarakat banyak keliru dengan mengatakan Generasi Z dengan Generasi Milenial itu sama. Padahal jelas perbedaannya.

Jika dihitung kemudian, anak-anak Generasi Z (oleh Bill Gates disebut iGeneration) saat ini memiliki rentang usia antara 7-22 tahun. Secara demografis, merekalah yang saat ini sedang duduk di bangku sekolah mulai dari SD, SMP, SMA sampai pada perguruan tinggi.

Data demografis menunjukkan pada tahun 2010, sekitar 19 persen penduduk Indonesia adalah anak yang umurnya di bawah sepuluh tahun, sekitar 37 persen di bawah dua puluh tahun dan sekitar setengah populasi Indonesia berusia di bawah tiga puluh tahun  (www.indonesia-investments.com). Jika total penduduk Indonesia adalah 258 juta orang (proyeksi BPS dalam www.databoks.katadata.co.id, 2016), maka jumlah penduduk kategori  Generasi Z adalah sekitar 90-100 juta orang. Ini adalah angka yang sangat besar. Ditambah lagi secara demografis, usia Generasi Z ini adalah usia produktif.

Secara statistik demografis, keberadaan “kids zaman now” sangat potensial dalam pengembangan pertumbuhan perekonomian nasional. Jika dipilah lagi usia penduduk Indonesia yang kategorinya pelajar berjumlah sekitar 58 juta siswa; 8 juta siswa SMA/sederajat, 50 juta siswa SD-SMP/sederajat (www.antaranews.com, 2012). Sungguh angka yang fantastik tentunya. Jumlah ini hampir setara dengan jumlah penduduk negara Inggris.

Pertanyaannya sekarang adalah mau diapakan puluhan juta manusia Indonesia, “kids zaman now” itu? Bagaimana cara kita sebagai sebuah negara-bangsa mendidik, menyiapkan dan memberikan peluang-peluang bagi masa depan “kids zaman now”, yang pada 2045 nanti merekalah yang akan memimpin negara ini? Merekalah sesungguhnya jawaban atas proyeksi bonus demografi Indonesia. Usia produktif yang jumlahnya mendominasi struktur penduduk Indonesia. Itulah “kids zaman now”, masa depan bonus demografi Indonesia.

Sekarang mari kita lihat, bagaimana wajah Generasi Z alias “kids zaman now” itu dalam perspektif sosial dan budaya. Karakter sosial mereka yang dibesarkan oleh media internet, aktif berkomunikasi melalui perangkat telepon pintar (smart phone), ketergantungan sangat tinggi kepada internet, gadget, multitasking, menjunjung tinggi privasi dan suka tantangan. Walaupun kadang disindir dengan sebutan generasi mecin, tapi “kids zaman now” punya percaya diri tinggi.

Lebih mencengangkan lagi, mereka para “kids zaman now” ini bercita-cita memiliki “profesi” yang anti-mainstream; mulai menjadi youtuber, vloger, bloger, gamer, selebgram, influencer, komikus bahkan menjadi hacker, barista dan penambang bitcoin. Bagi kami para “teacher zaman old”, deretan nama dan istilah pekerjaan di atas terdengar asing, bahkan “aneh”. Sudahlah istilahnya terasa “keminggris” alias keinggris-inggrisan, susah pula mengucapkannya.

Aahhh…kacau sudah kemampuan berbahasa kita para “teacher zaman old” ini. Berusaha menyesuaikan istilah-istilah zaman now, tapi lidah ini serasa kaku untuk mengucapkannya. Karena masih sering terngiang-ngiang, guru kami zaman old mengajar di depan kelas dengan ragam pepatah, bahasa kiasan, syair, pantun dan tulisan tegak bersambung.

Mereka para Generasi Z ini sangat cakap menggunakan media berbasis elektronik, seperti laptop, komputer, telepon pintar, iPad, iPhone, bahkan memproduksi dan merekayasa konten beragam jenis varian perangkat media sosial, seperti youtube, facebook, snapchat, instagram, vlog, line, telegram dan twitter. Semua aktivitas pribadi (bahkan sosial) mereka saat ini berbasis elektronik dan jaringan internet (online).

Alhasil, buku, koran dan televisi adalah barang-barang old yang hanya dipakai dan dinikmati oleh generasi old. Buku berganti e-book atau format pdf, koran berganti e-paper dan televisi berganti youtube dan menonton secara streaming. Mereka para Generasi Z ini memiliki ketergantungan akut kepada telepon pintar dan internet.

Sedangkan di sisi lain, para orang tua (parents) dan guru mereka adalah kelompok masyarakat yang terlahir 2 dan 3 generasi sebelumnya, yakni Generasi Baby Boomers (lahir antara 1946-1960an) dan Generasi X (lahir antara 1960an-1980). Terjadi kemudian gap generasi, yang berdampak terhadap pola asuh dan pendidikan keluarga yang paradigmanya mesti direkonstruksi.

Menjadi “teacher dan parent zaman now” adalah suatu tantangan zaman tersendiri. Perbedaan cara pandang antara orang tua dan guru yang dididik pola asuh lama. Mendidik generasi sekarang yang memiliki cara pandang kekinian sesuai dengan jiwa zamannya (zeitgeist) adalah suatu ikhtiar yang tak mudah.

Dibutuhkan kemudian perspektif baru yang tak resisten terhadap perubahan, tidak alergi dengan bahasa zaman dan zeigeist tadi. Tetapi tidak juga meminggrikan bahkan mencampakkan nilai-nilai tradisi (lama), yang masih memiliki relevansi dan universalitas nilai keadaban di dalamnya. Demikian adagium klasik Arab, yang sering disampaikan oleh kyai-kyai tradisional kita di pesantren, “Al-Muhaafazhatu ‘alal qadiimis shaalih wal akhdzu bil jadiidil ashlah.

Sehingga para guru dan orang tua zaman iGeneration ini tidak merasa teralienasi, terasingkan hidup di tengah-tengah para “kids zaman now”, yang sesungguhnya sedang berlari cepat melesat bagaikan anak panah. Seperti dalam salah satu syair seorang sastrawan cum filsuf berdarah Libanon-Amerika, Kahlil Gibran (1883-1931) bertajuk “Anakmu Bukan Anakmu.”

Seorang perempuan yang di tangannya ada seorang bayi berkata, “Sampaikanlah pada kami mengenai anak.”

Dan ia pun berkata:

Anakmu bukan anakmu
Mereka adalah anak dari kehidupan yang ingin menjadi diri mereka sendiri
Mereka datang melaluimu, tapi bukan darimu
Dan meskipun mereka bersamamu, mereka bukan milikmu
Berikanlah cintamu, tapi bukan pemikiranmu
Karena mereka memiliki pemikiran mereka sendiri
Berikanlah rumah bagi tubuh mereka, tapi bukan jiwa mereka
Karena jiwa mereka adalah milik rumah masa depan, yang tak bisa kau kunjungi, tak pula dalam impianmu

Kau bisa berusaha menjadi seperti mereka, tapi jangan jadikan mereka sepertimu
Karena hidup tidak berjalan mundur atau tenggelam di masa lalu

Kau adalah busur yang dibutuhkan anak-anakmu sebagai anak panah
untuk melesat kencang ke depan
Sang Pemanah memandang jauh tanpa batas
Dan Ia menarikmu dengan segala kekuatan
agar anak panahNya melesat cepat dan jauh

Merentanglah dalam tangan Sang Pemanah dengan bahagia
Karena seperti Ia mencintai anak panah yang melesat cepat
Ia pun mencintai busur yang kokoh

*Tulisan ini dimuat di Republika Online pada 4 November 2017. Berikut tautannya; http://www.republika.co.id/berita/jurnalisme-warga/wacana/17/11/13/oyu6oz396-teacher-dan-parent-zaman-old-mendidik-kids-zaman-now

Menyoal Kembali Hubungan Agama (Islam) dan Politik dalam Negara Pancasila

Standar

Pernyataan Presiden Jokowi baru-baru ini, dalam kesempatan peresmian Tugu Titik Nol Peradaban Islam Nusantara di Barus, Tapanuli Tengah menuai perdebatan, setidaknya bagi kalangan intelektual dan aktivis keislaman. Pernyataan yang menimbulkan diskursus publik tersebut terkait dengan pemisahan antara politik dan agama. Pergulatan politik-negara dan agama (baca: Islam) merupakan fakta historis sepanjang republik ini dibangun, bahkan sebelum proklamasi kemerdekaan 1945. Perdebatan dalam sidang-sidang BPUPKI mengenai wacana tentang dasar filsafat negara, yang oleh Soekarno diistilahkan dengan “philosofische grondslag”, terus terjadi untuk menjawab permintaan dr. Radjiman Widyodiningrat selaku Ketua BPUPKI, apa yang akan dijadikan sebagai dasar negara berdiri. Dokumen-dokumen sejarah merekam dengan baik, mengenai kondisi persidangan yang menjadi cikal-bakal tegaknya republik ini.

Sekedar untuk menyegarkan memori kolektif kita sebagai sebuah bangsa yang memiliki sejarah, perdebatan antara kelompok nasionalis Islam dan nasionalis sekuler, yang pertama menginginkan Islam sebagai dasar negara sedangkan kelompok kedua menginginkan Pancasila sebagai dasar negara. Soekarno memperkenalkan lima (5) hal yang akan menjadi dasar negara yang kemudian dia namakan “Pancasila”. Peristiwa ini terjadi pada 1 Juni 1945 dalam sidang BPUPKI. Yang perlu dingat lagi, bahwa semangat atau jika boleh dikatakan “ruh” agama bagi Soekarno adalah sangat penting dalam membangun negara, sehingga ketuhanan dan keagamaan itu dimasukkan ke dalam 5 dasar berdirinya republik ini.

Soekarno meletakkannya di sila ke-5 (walaupun baginya susunan/hirarki sila-sila tersebut bukanlah suatu hal yang prinsip). Sedangkan bagi Roeslan Abdoelgani, penyebutan sila ketuhanan di bagian terakhir, hendaknya justru diartikan sebagai sesuatu yang mengunci keempat dasar sebelumnya. Dia menyebut sila ketuhanan itu sebagai “urat tunggangnya Pancasila” (Latif, 2011). Lima dasar negara menurut Soekarno tersebut secara berurutan adalah;

  1. Kebangsaan Indonesia
  2. Internasionalisme atau peri-kemanusiaan
  3. Mufakat atau demokrasi
  4. Kesejahteraan sosial
  5. Ketuhanan yang berkebudayaan

Bagi Soekarno, bangsa Indonesia adalah bangsa yang bertuhan, bangsa yang tak bisa dilepaskan dari nilai-nilai ketuhanan dan keagamaan. Masyarakat yang dipengaruhi oleh kekuatan dan nilai-nilai religius, bahkan jauh sebelum republik ini tegak. Masih menurut Soekarno, salah satu alasan mengapa dasar negara Indonesia terdiri dari lima sila, karena angka lima itu memiliki nilai simbolik dalam masyarakat Indonesia. Karena Rukun Islam pun lima bilangannya (Latif, 2014).

Pancasila sebagai sebuah konsensus politik kita bernegara, yang salah satu pijakannya adalah nilai-nilai agama dan ketuhanan. Nilai-nilai agama-ketuhanan dan Pancasila itu bersifat integratif, tak dapat dipisahkan. Bukanlah Pancasila namanya jika tak bersandar kepada moralitas agama. Bahkan kelima sila dalam Pancasila itu secara eksplisit sudah memancarkan nilai-nilai utama yang dikandung dalam ajaran agama (Islam). Lagi pula agama (Islam) sudah menyejarah dalam lintasan waktu jauh sebelum republik ini berdiri.

Semangat keislaman para founding fathers-mothers kita dalam politik kenegaraan, khususnya ketika republik ini akan dibentuk, terrekam jelas sekali dalam dokumen-dokumen sejarah. Rumusan Pancasila 1 Juni 1945, dilanjutkan kemudian 22 Juni 1945 yang memuat 7 (tujuh) kata di sila pertama; “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, adalah salah satu produk ijtihad politik kelompok Islam dalam masa-masa sidang BPUPKI. Bahkan salah seorang anggota “Panitia Perancang Hukum Dasar” yang diketuai Soekarno, KH. Wahid Hasyim mengusulkan; “Presiden ialah orang Indonesia asli yang beragama Islam”. Juga di dalam rancangan UUD pasal 29 redaksinya menjadi “Agama negara adalah agama Islam” (Latif, 2011). Ini adalah beberapa contoh ijtihad politik pendiri bangsa, yang di kemudian hari mereka juga merevisi ijtihad politiknya itu, sebagai bagian dari kompromi bersama.

Walaupun pada akhirnya, formalisasi agama Islam dalam hukum konstitusi seperti yang diusulkan di atas, berakhir pula dengan kompromi jalan tengah. Justru tokoh Islam jugalah yang berbesar hati untuk menghapus 7 kata tersebut. Ki Bagus Hadikusumo adalah orang yang sangat berperan penting, melonggarkan ruang hatinya dalam beragama, mengusulkan agar 7 kata itu dihapus saja (setelah mendapat masukan dari tokoh-tokoh Indonesia Timur). Begitu pula ketika pascakemerdekaan, Pemilu 1955 yang menghasilkan terpilihnya anggota Konstituante yang diberikan tanggungjawab salah satunya, untuk membuat konstitusi pengganti UUD Sementara 1950. Dalam sidang-sidang Konstituante ini terjadi perdebatan sengit antara kelompok nasionalis sekuler, komunis dan Islam untuk merumuskan kembali dasar negara. Syafii Maarif dalam bukunya “Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara” (2006) memotret perdebatan Konstituante itu secara apik. Lagi-lagi kemudian, tokoh-tokoh Islam pula yang berbesar hati untuk menerima Pancasila sebagai dasar negara.

Walaupun awal mulanya seorang M. Natsir menginginkan Islam sebagai dasar negara, justru di kemudian hari Natsir juga melakukan pembelaan terhadap Pancasila yang baginya sangat sesuai dengan nilai-nilai Islam. Dengan menjadikan “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai sila pertama Pancasila, menurutnya 5 sila itu akan menjadi dasar etika, moral dan spritual bangsa Indonesia yang selaras dengan tauhid. Baginya Pancasila sesuai dan selaras dengan doktrin Islam (Latif, 2011). Masih menurut Natsir (Kholid O. Santosa dalam M. Natsir, 2014) “… Dan saya katakan Indonesia juga negara Islam, oleh kenyataan bahwa Islam diakui sebagai agama dan panutan jiwa bangsa Indonesia, meskipun tidak disebutkan dalam konstitusi, bahwa Islam itu adalah agama negara, (tetapi) Indonesia tidak memisahkan agama dari (masalah) kenegaraan (politik). Dengan tegas Indonesia menyatakan percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa jadi tiang pertama dari Pancasila, kaidah yang lima, yang dianut sebagai dasar ruhani, dasar akhlak dan susila oleh negara dan bangsa Indonesia.”

Diskursus sosio-historis mengenai hubungan agama (Islam) dan politik-negara sudah ada sebelum republik ini berdiri. Islam sebagai sebuah agama tidak bisa dipisahkan dari konteks negara Indonesia. Walaupun aspirasi formalisasi negara Islam melalui lembaga BPUPKI dan Dewan Konstituante itu tinggal sejarah, namun spirit nilai-nilai Islam tetap tidaklah bisa hilang bagi umat dalam berpolitik dan bernegara. Pancasila adalah jalan tengah (wasathan), antara format negara sekuler dan negara agama. Demokrasi sebagai sebuah sistem politik tidaklah betentangan dengan nilai-nilai Islam, di antaranya prinsip syura, demikian kata Natsir. Natsir kemudian mengenalkan konsep teodemocracy, yaitu demokrasi yang sepenuhnya bahwa kekuasaan itu adalah amanah dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Tuhan dan agama tidak bisa dibuang begitu saja dalam menjalankan politik bernegara. Nilai-nilai ketuhanan dan agama mesti menyatu dalam kehidupan politik bernegara.

Selanjutnya adalah bukti bahwa Islam dan politik kenegaraan tidak dapat dipisahkan yaitu adanya berbagai rupa produk regulasi pemerintah yang sampai kini kita lihat dan nikmati. Produk regulasi berupa undang-undang yang mengatur kehidupan umat Islam. Lahirnya UU Pengadilan Agama, UU Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam, UU Perbankan Syariah, UU Ibadah Haji, UU Zakat, Infak dan Sedekah, UU Pemerintahan Aceh, UU Wakaf, UU Jaminan Produk Halal, UU Obligasi Syariah, UU Partai Politik yang memberikan ruang bagi partai berasaskan agama (Islam), UU Sistem Pendidikan Nasional yang memuat sekolah berbasiskan Islam, UU Ormas yang memuat asas agama (Islam) bagi ormas tersebut dan berbagai peraturan di bawahnya. Undang-undang merupakan produk lembaga politik (legislatif-eksekutif), lahir dari proses politik dan merupakan produk dari aspirasi politik umat Islam di Indonesia. Ini adalah beberapa bukti bahwa agama (Islam) tidak bisa dan tidak akan pernah bisa kita lepaskan dari politik di negara Pancasila ini.

Bagi Bahtiar Effendy (1998) terjalin hubungan yang tidak harmonis antara Islam dan negara di Indonesia pada masa Orde Lama dan Orde Baru. Tapi pada akhirnya hubungan Islam dengan negara justru menujukkan strategi akomodasi terhadap aspirasi dan kepentingan umat Islam. Diterapkannya kebijakan-kebijakan yang sejalan dengan kepentingan sosial-ekonomi dan politik umat Islam. Menurut Bahtiar jika dikategorikan secara luas, bukti-bukti akomodasi itu dapat digolongkan ke dalam empat (4) jenis yang berbeda; 1. akomodasi struktural, 2. akomodasi legislatif, 3. akomodasi infrastruktural dan 4, akomodasi kultural. Lahirnya produk perundang-undangan yang mengakomodasi kepentingan dan aspirasi umat Islam merupakan bukti nyata akomodasi legislatif tersebut. Fakta dan analisis seperti ini tertuang sangat rinci dan argumentatif dalam bukunya “Islam dan Negara, Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia” (1998). Kalau kita lihat pascareformasi, justru UU yang lahir sebagai bentuk akomodasi kepentingan politik dan sosial-ekonomi umat Islam makin betambah banyak. Ini lagi-lagi menjadi bukti bahwa antara agama (Islam) dan politik-kenegaraan tak dapat kita cerai-beraikan.

Oleh karena itu sebagai khatam tulisan sederhana ini, penulis meyakini bahwa mengemukanya kembali ide pemisahan agama (Islam) dan politik-negara, yang menjadi watak fundamentalisme liberal merupakan sikap yang ahistoris, tak menyejarah bahkan bertolak-belakang dengan konstruksi sosio-kultur masyarakat Indonesia. Juga bukan kembali pada ide khilafah sebagai bentuk romantisme sejarah Islam. Jalan tengah negara Pancasila adalah jawaban dari dua konsepsi usang itu, keinginan untuk memisahkan agama (Islam) dan politik-negara, bernama sekulerisme dan kehendak untuk formalisasi negara Islam. Pancasila sudah semestinya terus memberikan ruang akomodatif, bagi aspirasi politik dan kepentingan umat Islam. Karena Pancasila menjadi wujud kristalisasi nilai-nilai politik kebangsaan umat Islam.

Pak, Aku Ga Mau Shalat, Aku Ateis!

Standar

Judul tulisan ini bermula dari seorang peserta didik (siswa) yang berdialog dengan saya secara pribadi. Sebut saja namanya Andi siswa kelas X di tempat saya mengajar. Dialog yang terjadi antara saya sebagai seorang guru dengan seorang siswa yang baru saja menyelesaikan rangkaian MPLS (dulu disebut MOS atau Ospek) di sekolah tempat saya mengabdi. Dialog ini menjadi sangat menarik karena merupakan sebuah diskursus teologis, antara anak kelas X SMA (baru saja menamatkan bangku SMP, sekitar usia 15 tahun). Yang juga menambah ketertarikan, sehingga saya terinspirasi bahkan menuliskannya lewat tulisan ini adalah, ketika isi dialog tersebut adalah dialog yang “menggugat keimanan”.

Kenapa sampai saya sebut dengan istilah dialog yang menggugat keimanan? Sebab saya bertemu (lebih tepatnya dipertemukan) dengan siswa baru yang mengklaim dirinya seorang agnostik bahkan ateis. Ya, bahkan dengan bangganya siswa berusia 15 tahun tadi mendeklarasikan dirinya sebagai seoang agnostik bahkan ateis, di depan kami para guru. Cerita bermula ketika Andi bersama temannya diinstruksikan untuk melakukan shalat Ashar berjamaah, dalam rangkaian MPLS tersebut. Sedangkan bagi siswa Kristen, Katolik dan Hindu (yang ada di sekolah kami) dipersilakan menuju ruang ibadah masing-masing, yang sudah ditunggu oleh guru agamanya masing. Kebetulan sekolah kami sangat concern dengan nilai-nilai keragaman, toleransi dalam bingkai pluralisme.

Namun tak disangka Andi menolak salah satu rangkaian acara MPLS tersebut, khususnya kegiatan shalat berjamaah di mesjid sekolah. Ketika ditanya mengapa Andi tidak mau ikut shalat Ashar berjamaah, dia menjawab, “Saya agnostik Pak, saya ga mau shalat!”. Waduh! Kaget betul kami mendengarnya (karena ada beberapa kakak OSIS, MPK dan guru yang mendengarnya). Lantas karena saya juga ingin menuju tempat ibadah, saya tinggalkan Andi dengan beberapa kakak OSIS untuk menemaninya di ruang kegiatan. Selesai shalat, seorang guru mendekati saya dan meminta saya bertemu dengan Andi di ruang guru. Saya segera bergegas menuju ruang guru, dan Andi sudah berada duduk di sofa ruang guru yang berwarna coklat itu. Saya melihat Andi bersender, merebahkan badannya yang lumayan tinggi, tapi nampak wajahnya tidak ceria, dia tampak sedang menggerutu.

Lantas saya hampiri dan segera menyapa Andi. “Andi, kenapa ga mau shalat?” Lalu dia menjawab, “Pak, Aku ga mau shalat, Aku atheis Pak! Aku ga percaya sama Tuhan. Semua agama itu bohong, hanya berperang saja. Cerita tentang agama dan Tuhan itu tidak ada. Aku ga percaya!” Seingat saya demikianlah beberapa kalimat yang keluar dari bibir Andi di sore itu. Kemudian saya bertanya, “Kenapa kamu bilang tadi kalau kamu agnostik terus sekarang kamu bilang kamu ini atheis, yang mana yang bener Ndi? Kamu tau ga apa bedanya agnostik dengan atheis?” Lalu dia menjawab sambil tersenyum, “Ya, jujur sebenarnya Aku atheis Pak, aku ga percaya sama agama dan Tuhan.

“Ohya Ndi, mengapa kamu sebut kalau semua agama itu berperang saling memusuhi?” Dengan cepat dia menjawab, “Bapak lihat saja di Irak, Suriah ada ISIS yang mengaku Islam tapi membantai, di Myanmar orang Budha membunuh umat Islam, di Amerika Serikat yang beragama Protestan bertindak  rasis pada orang Islam, di Israel dan Palestina umat Islam dan Yahudi saling bunuh!

Mendengar penjelasan itu, lantas saya menanggapi, “Ohhh, itu maksud kamu umat beragama saling bantai. Saya tambah dua lagi ya. Di India Mahatma Gandhi dibunuh oleh penganut Hindu radikal, di Irlandia terjadi perang antara Katolik dan Protestan. Jadi kamu mengartikan kalau agama itu mengajarkan kekerasan, begitu?. Sambil senyum simpul dia mengatakan, “Tuh, bener kan Pak, malahan Bapak nambahin 2 lagi fakta umat bergama itu saling bunuh.” Itulah beberapa penggalan dialog saya dengan Andi yang membuat guru-guru yang hadir di ruangan tersebut menggeleng-gelengkan kepala. Ada beberapa guru perempuan yang mengucapkan istighfar, bahkan ada yang meminta agar Andi mengucapkan dua kalimat syahadat kembali.

Jika dilihat dan diamati selama dialog, saya menilai siswa ini adalah siswa yang cerdas, suka membaca dan berimajinasi tinggi. Terbukti dari wawasan dia saat kami berdialog. Namun di sisi lain, nampak juga kekurangan yang menyertainya, anak baik ini sepertinya sangat tertutup terhadap dunia sosial. Artinya anak ini seperti  anak yang suka menyendiri di kamar dan tidak memiliki teman berdiskusi. Setelah kami tanya memang benar, bahwa dia hanya berada di kamar dengan komputer, internet dan games. Sangat jarang bersosialisasi. Bahkan ketika saya meminta dia untuk bergabung dengan teman-temannya yang lain untuk acara penutupan MPLS, dia malah menolak. “Saya ga suka orang banyak Pak!”. Sambil dengan nada membentak kepada saya dan beberapa guru lainnya.

Dari penggalan-penggalan cerita dialog kami ini, saya menilai jika Andi suka membaca buku dan browsing tulisan-tulisan bertemakan ketuhanan, teologis bahkan filsafat. Bacaan-bacaan yang dibaca tanpa terlebih dahulu dibimbing oleh guru dan orang tua. Yang terjadi adalah Andi menjadi anak yang berpetualang sendiri secara intelektual dan spiritual. Dia hanya mencoba membaca lantas mengimani apa yang dibaca. Tanpa ada ruang diskursus, debat bahkan kritik. Dia seolah-olah sedang menjadi “The Lone Wolf” dalam dunianya. Saya menganggap Andi punya dunianya sendiri, yaitu kamar, internet, buku dan imajinasinya yang goyah. Bahkan dia tidak mengerti ketika saya mengatakan jika antara “agama” di satu sisi dan “umat beragama” itu jelas berbeda.

Kemudian beberapa penggalan dialog lainnya antara saya dengan Andi, menjadi lebih bernuansa filosofis dan teologis, ketika Andi mengatakan, “Pak, Bapak tau ga sebenarnya Tuhan itu tidak ada Pak, malaikat juga, surga dan neraka juga.” Mendengar ucapan itu lantas saya berkata, “Sebelum diskusi kita jauh, saya minta sama Andi agar diskusi kita haruslah diskusi yang logis, rasional, konsisten dan bertanggugjawab ya Ndi.” Andi menjawab singkat, “Oh oke Pak!”. “Sekarang saya mau tanya ke Andi, menurut Andi apa itu definisi ADA?” Mendengar pertanyaan saya tadi lalu Andi berpikir sejenak dan menjawab, “ADA adalah kelihatan Pak, bisa dipegang gitu.” Lantas saya bertanya balik, “Ndi, marah dan benci itu ADA ga?” Lalu dengan segera dia mengepalkan tangannya, sambil berteriak kencang. Bagi Andi itulah marah, yaitu ketika tangan terkepal, wajah cemberut dan berteriak. Saya lalu bilang ke Andi bahwa itu bukanlah marah, tapi itu adalah “ekspresi” kemarahan. Bukan marah itu sendiri. Karena ekspresi marah orang itu berbeda-beda. Saya mencontohkan ada orang yang jika marah justeru dia diam saja. Intinya marah, sayang dan cinta itu adalah rasa, yang tidak dapat dilihat, dipegang, didengarkan atau tak dapat dideteksi oleh panca indera, tetapi rasa tersebut ADA! Andi diam mendengarnya.

Kemudian saya menjelaskan bahwa antara Pencipta dengan yang dicipta itu berbeda. Saya mencontohkan tisu sambil saya pegang. Tisu dibuat oleh mesin pabrik yang dioperasionalkan oleh manusia. Apakah tisu (sebagai yang dicipta) dengan manusia (sebagai yang mencipta) itu sama? Lalu Andi menjawab tegas, “Tidak Pak! Ya beda dong”. Andi lalu sepakat bahwa yang mencipta itu berbeda dari yang dicipta. Dia juga mengerti dan mengangguk ketika saya mengatakan bahwa ADA itu tidak melulu sesuatu yang dapat dideteksi oleh panca indera, karena indera sangat terbatas sifatnya. Salah satu kategori ADA adalah yang disebut dengan SUPREME BEING alias Sang Omni Present atau Yang Maha Ada, Sang Pencipta ADA dan TIDAK ADA. Bahkan DIA sudah ADA sebelum kata ADA dan TIDAK ADA itu ADA. Andi terus bilang, “Pak, saya pusing Pak, saya ga ngerti apa yang Bapak jelasin itu!” Kemudian saya mengatakan bahwa dialog ini akan kita lanjutkan nanti ya. Sekarang sudah waktunya pulang. Andi nampaknya suka dengan diskusi ini, sebelum beranjak pergi dia mengatakan jika dia ingin diskusi lagi dengan saya besok.

Esok hari tiba-tiba seorang guru agama Islam menampilkan foto di grup WhatsApp guru, sebuah sobekan kertas Al-Quran dan Al-Quran yang terlempar di depan pintu kelas. Kemudian guru senior tersebut menjelaskan di grup jika Andi tidak mau membaca Quran dalam pelajaran agama Islam. Lagi-lagi Andi mengaku sebagai seorang ateis kepada guru agamanya, dan berteriak-teriak di kelas. Bahkan dia menyobek dan melemparkan kitab suci tersebut. Serentak dari kelas terdengar suara “Andi, astaghfirullaahhaal ‘adzhiimm!” Guru tersebut menceritakan kejadian tadi di kelasnya Andi. Guru agama Islam ini bercerita, sambil menangis, lalu dia mengusap kepala Andi sambil berdoa, “Ya Allah, semoga Andi segera mendapat hidayah-Mu. Semoga kami sabar dalam membimbing ananda kami ini.” Dijawab dengan teriakan amin oleh teman-teman Andi sekelas.

Semua guru sudah tahu perihal sikap Andi ini di sekolah. Kami juga mafhum dan terus melakukan pendekatan yang persuasif kepadanya. Juga berdialog dengan orang tua yang bersangkutan. Setelah dikroscek ternyata benar bahwa anak baik ini suka menyendiri di kamar, berselancar di internet dan suka baca buku atau tulisan bermuatan agama, teologis, terorisme dan filsafat. Andi memiliki ruang imajinasinya sendiri. Dia bebas membaca dan berimajinasi tentang apa yang dia baca, yang dia pahami tanpa ada orang yang  membimbing. Walaupun sedikit perubahan diceritakann oleh guru agamanya, dalam pertemuan berikut Andi sudah mau membaca dan menulis Quran dengan sangat baik (walaupun sambil cemberut membacanya). Ini adalah kemajuan yang sangat berarti.

Mungkin saja orangtuanya adalah pekerja keras, sehingga tak lagi punya waktu luang untuk sekedar bercengkrama dan berdialog dengan sang anak. Anak 15 tahun ini dibesarkan oleh website dan internet. Di usianya yang baru 15 tahun ini dia diasuh oleh buku-buku dan bacaan filsafat, tanpa ada dasar yang kuat. Bahkan dalam pengakuannya Andi berasal dari salah satu SMP Islam terkenal di Jakarta. Waktu di SMP ketika ada pelajaran agama Islam dan kegiatan rutin shalat berjamaah, Andi mengaku bahwa semuanya dia lakukan dengan pura-pura.

Andi juga belum memiliki pemahaman filsafat yang utuh, terbukti ketika saya bertanya tentang pemikiran Karl Marx, F. Engels, Nietzsche dan Madzhab Frankfurt. Andi lantas menggelengkan kepala, pengakuan jujur bahwa dia tidak tahu orang-orang tersebut. Saya sengaja menanyakan beberapa filsuf di atas, karena pada umumnya yang suka mengklaim dirinya seorang ateis biasa setelah membaca tulisan-tulisan Marx dan Nietzsche tentang agama dan Tuhan. Seperti tulisan Sang pemikir nihilisme Nietzsche tersebut berjudul “God is Dead” atau ucapan seorang Marx“agama adalah candu”. Pasti akan menarik bagi anak-anak usia remaja yang sedang mencari jati diri.

Bagi saya, kondisi psikologis anak ini belum mapan. Walaupun secara akademis nilainya cukup baik. Tetapi Andi membutuhkan orang-orang terdekat disampingnya. Yang memberi perhatian lebih kepadanya. Sikap spiritual dan sikap sosial Andi masih bermasalah. Inilah yang mesti dihadirkan dalam diri dan lingkungan Andi sekarang. Ketika saya mengajar di kelas, materi yang saya sampaikan cepat direspon olehnya. Bahkan saya mengkategorikan Andi adalah siswa yang memiliki wawasan sejarah dan umum yang sangat bagus dibanding teman-temanya. Andi mesti mndapatkan reorientasi spiritual dan psikologis kembali. Transfer nilai-nilai kehidupan yang selama ini diperoleh secara independen, tetapi absurd, mesti dikembalikan secara terarah dan disesuaikan dengan psikologi perkembangan seorang anak yang baru berusia 15 tahun.

Akhirnya kami para guru dengan kompak mengingat doa guru agama tadi, “Ya Allah, semoga Andi segera mendapat hidayah-Mu. Semoga kami sabar dalam membimbing ananda kami ini. Dan ini merupakan sebuah tanggungjawab moral bagi kami, sebagai gurunya Andi di sekolah, sebuah pembelajaran kehidupan yang penuh arti, sesuai dengan adagium dari Seneca yang terkenal itu “Non scholae Sed Vitae Discimus”.

Membangun Pendidikan Jakarta ke Depan

Standar

Ramai di media sosial yang isinya opini, pro-kontra, kritik, sampai ejekan dan fitnah, terus berseliweran di masa kampanye Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Gubernur/Wakil Gubernur DKI Jakarta kini. Sepanjang isinya adalah konsepsi-konsepsi yang konstruktif bagi masyarakat Jakarta ke depan, tentu sebagai warga DKI kita akan mendukung sepenuhnya. Secara idealis, kita akan anggap 3 (tiga) pasangan calon Gubernur/Wagub yang sekarang sedang berkampanye adalah orang-orang terbaik, yang sedang berikhtiar menawarkan konsepsi-konsepsi untuk kebaikan warga DKI. Walaupun dalam politik praktis, warga DKI akan memilih salah satu pasangan yang dianggap pantas melakukannya. Tentu pilihan tersebut harus dibuktikan pada Pilkada Februari 2017 nanti.

Tidak ingin terjebak pada isu dukung-mendukung calon Gub/Wagub DKI, dalam tulisan sederhana ini saya ingin memberikan sedikit refleksi bagaimana Jakarta ke depan mesti dibangun. Tema pembangunan merupakan istilah yang selalu dipakai, bagi negara-negara yang sedang berkembang seperti Indonesia. Apalagi di era Orde Baru, pembangunan adalah sebuah mantra pemerintah, bahkan dikenal kemudian istilah trilogi pembangunan.

Pertanyaannya adalah, bagaimana model pembangunan warga ibukota ke depan yang diharapkan seluruh komponen masyarakat DKI? Inilah posisi para calon, baik Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni, Basuki Tjahaya Purnama-Djarot Saeful Hidayat maupun Anies Baswedan-Sandiaga Uno berlaga menawarkan strategi mereka. Menawarkan konsepsi-konsepsi, yang padat berisi, bukan sekadar adaptasi atau imitasi dari pembangunan masa lalu, yang nota bene nihil dalam implementasi.

Jakarta menjadi etalase berbagai aspek kehidupan nasional. Mulai dari politik, pertahanan, ekonomi, kesehatan, pendidikan, penegakkan hukum sampai kepada hal-hal terkait kemajemukan. Dalam aspek pendidikan misalnya, Jakarta adalah provinsi yang paling tinggi alokasi APBD-nya untuk pendidikan. RAPBD Jakarta tahun 2017 yang dialokasikan untuk pendidikan sebesar 27%, yaitu sekitar 18 triliyun rupiah (http://m.metrotvnews.com/news/metro/8N0YVWrb-dki-siapkan-12-program-prioritas-di-apbd-dki-2017). Sebagai perbandingan, provinsi Sumatera Barat memiliki total APBD 2017 sebesar 6,2 triliyun (http://hariansinggalang.co.id/apbd-sumbar-2017-rp62-triliun/). Sungguh angka yang sangat fantastis, anggaran pendidikan DKI tiga kali lebih besar ketimbang total APBD 2017 sebuah provinsi.

Alokasi dana yang fantastis untuk pendidikan warga ibukota, asumsinya akan mampu membangun kualitas pendidikan di Jakarta. Kualitas peserta didik, kualitas guru, sarana-prasarana pendidikan, infrastruktur, dan juga penting adalah akses pendidikan yang terbuka secara adil bagi seluruh warga DKI. Artinya di Jakarta sudah semestinya tidak ada lagi anak yang putus sekolah, pelaksanaan Ujian Nasional (UN) yang berintegritas rendah, bangunan sekolah yang roboh, guru yang masih belum S-1 (sesuai UU Guru dan Dosen), guru honorer yang bergaji 300 ribu/bulan, laboratorium yang peralatannya super minim atau perpustakaan sekolah yang kekurangan buku.

Dalam hal pelaksanaan UN misalnya, Yogyakarta adalah daerah yang pelaksanaan UN paling bertintegritas pada 2016, menyusul DIY selanjutnya Bangka Belitung, Banten, Kaltim dan DKI Jakarta (program IPA). Sedangkan 5 besar program IPS diisi oleh Yogyakarta, Bangka Belitung, Jakarta, Bengkulu dan Kepri (Litbang Kemdikbud, 2016). Walaupun “tidak buruk-buruk amat”, kejujuran dalam UN patut ditingkatkan oleh stakeholder pendidikan ibukota. Lalu terkait persentase tuna aksara, DKI peringkat ketiga nasional. Masih ada sekitar 48.794 orang atau sekitar 0,70% dari penduduk yang tuna aksara. Daerah yang paling rendah tingkat buta aksaranya adalah Sulawesi Utara 0,45% dan Kaltim 0,50%. Data ini diakses dari Neraca Pendidikan Daerah (NPD) Kemdikbud 2015 (sila lihat lebih lanjut http://npd.data.kemdikbud.go.id/file/pdf/2015/010000.pdf).

Begitu pula halnya dengan kondisi sarana-prasarana pendidikan. Dengan alokasi anggaran pendidikan yang besar tadi, Jakarta belum mampu mengikis habis cerita tentang adanya ruang kelas yang roboh, atap sekolah yang ambrol. Masih dari data NPD Kemdikbud 2015 di atas, kondisi ruang kelas di Jakarta menunjukkan sebanyak 698 ruang kelas SD, 283 ruang kelas SMP, 58 ruang kelas SMA dan 224 ruang kelas SMK dalam keadaan rusak parah. Belum lagi jika ditambah ruang kelas yang masuk kategori rusak ringan, di SD mencapai 6.611 ruang kelas. Sebanyak 3.516 ruang kelas SMP, 2.053 ruang kelas SMA dan 2.905 ruang kelas SMK yang kategori rusak ringan.

Penulis hanya berharap semoga angka-angka di atas, telah mengalami penurunan, jika tak bisa dikatakan zero. Menimbang anggaran pendidikan DKI adalah yang terbesar dibanding daerah-daerah lain di Indonesia. Pembangunan kualitas pendidikan anak-anak DKI Jakarta saat ini dan ke depan adalah suatu keniscayaan. Sebagai potret kualitas pendidikan tanah air, wajah pendidikan ibukota harus segera ditingkatkan. Di sisi lain optimisme itu akan selalu hadir ketika kita melihat beragam potensi dimiliki oleh warga kota Jakarta. Sebagai contoh Indeks Pembangunan Manusia (IPM) DKI 2014 adalah tertinggi nasional, dengan perolehan nilai 78,39 (lihat www.bappenas.go.id)

Pekerjaan rumah Gub/Wagub DKI terpilih ke depan masih cukup banyak, khususnya dalam membangun wajah pendidikan yang bermutu dan berdaya saing. Oleh karena itu dibutuhkan karakter pemimpin yang visioner, bertanggungjawab menghadapi masalah bukan menghindari apalagi mencari-cari kesalahan, amanah, jujur dan bersih dari korupsi dan tak kalah penting adalah pemimpin yang menyadari bahwa memimpin itu adalah melayani orang banyak (khadiimul ummah). Bahkan sisi kehidupan seorang pemimpin di era kolonial dulu, bagi pejuang sekaliber H. Agus Salim (1884-1954) adalah sebuah narasi tentang penderitaan. Seperti yang diungkapkannya dengan bahasa Belanda “Leiden is lijden”, yang berarti memimpin itu menderita. Jika adagium itu masih berlaku, tentu tak akan banyak orang berlomba-lomba ingin menjadi gubernur/wakil gubernur saat ini!

Penyair Manikebu itu Diusir Karena Satu Hal: Membaca Puisi!

Standar

Simposium nasional yang diselenggarakan untuk membuka tabir gelap sejarah bangsa Indonesia tahun 1965, telah diselenggarakan di Hotel Aryadutha Jakarta, 18-19 April 2016 lalu. Acara akbar tersebut mengundang tokoh nasional, pejabat pemerintahan, pelaku sejarah, anak pahlawan revolusi, sejarawan, kalangan militer atau purnawirawan, perwakilan NU dan Muhammadiyah, aktivis HAM dan tepenting adalah mereka yang disebut dengan “korban” peristiwa 1965. Dalam sejarahnya hingga kini, penyebutan “korban” menjadi kata yang tidak tunggal interpretasinya dalam peristiwa tersebut.

Karena kedua pihak yang terus beroposisi simetris dalam sejarah bangsa sampai saat ini, tetap bersikukuh dalam pendiriannya. Bahwa istilah “korban” pelanggaran HAM berat dalam sejarah 1965, tidak hanya para anggota PKI, underbow-nya dan masyarakat biasa yang “dituduh” PKI, tetapi juga para kyai, santri, ustad dan anggota PSI dan Murba yang dibantai oleh “Pemuda Rakyat” yang note bene PKI, sebelum 1965, ketika PKI sedang mesra-mesranya dengan pemerintah Orde Lama.

Istilah “korban” sedang dan akan terus diperebutkan memang oleh pihak-pihak yang tak mau cacat narasi besar sejarah kelompok atau golongannya. Walaupun Gus Dur telah meminta maaf mengatasnamakan NU kepada “korban” 1965, tapi bagi seorang Pramoedya Ananata Toer tak serta-merta membukakan pintu maafnya, bahkan meresponnya dengan mengatakan “omong-kosong saja rekonsiliasi” (lihat wawancara Pram di Forum Keadilan, 26 Maret 2000). Alhasil cerita tak berhenti di sana.

Sisi yang berbeda diungkap dalam kesaksian mengejutkan, yang muncul di saat mantan anggota RPKAD Letjend (Purn) Sintong Pandjaitan memberikan kesaksiannya di depan para hadirin yang umumnya sudah berumur itu. Tepat di depan orang-orang yang dituduh PKI dan yang sudah dirampas kebebasannya pasca 1965. Sintong mengatakan di wilayah Jawa Tengah, hanya ada 1 orang saja korban dibunuh, tak lebih. Tentu bertolak belakang dengan tulisan para sejarawan dan pemikir Barat seperti Ben Anderson yang mengatakan total korban pembantaian antara 500.000-1.000.000 orang. Sangat tidak mudah memang meluruskan sejarah kelam bangsa ini, khususnya peristiwa sebelum 1965 dan setelahnya.

Tak ingin berlama-lama menyelami jauh sejarah kelam 1965 dengan berbagai narasinya yang kompleks dan kronis itu, mari kita tengok sebuah kejadian yang bagi saya “memalukan” sekaligus “memilukan” di hari ke dua simposium berlangsung, tepatnya Selasa, 19 April 2016. Cerita bermula di saat sastrawan besar yang dimiliki bangsa ini “diusir” dari arena simposium. Ya, begitulah kenyataan pahit yang dihadapi seorang Taufiq Ismail. Saya sengaja menggunakan tanda petik untuk kata “diusir”, karena diksi diusir ini seolah-olah bermakna buruk, tak berguna, pengganggu alias hama untuk sekelas sastrawan besar, tokoh dan seseorang yang mendapatkan gelar doktor honoris causa, gelar kehormatan yang diberikan pula oleh kampus terhormat (UI). Sastrawan gaek ini disuruh pergi dengan paksa oleh (sebagian) peserta simposium dan atau panitia.

Apalah sebab sehingga penulis syair “Karangan Bunga” ini dipaksa berhenti membacakan puisinya di depan peserta simposium dan disuruh keluar oleh (sebagian) peserta dan panitia? Jawabannya adalah hanya satu tindakan “dosa” yang dia lakukan yaitu karena Taufiq Ismail membaca puisi! Ya, Taufiq diminta keluar ruangan karena membaca puisi. Membaca puisi pada hari Selasa siang itu menjadi hal terlarang di ruangan yang berisi orang-orang terhormat, yang katanya sedang berikhtiar membuka luka sejarah 1965.

Awalnya pembacaan puisi berjudul “Angka-angka” itu berjalan dengan baik, tak ada tanda-tanda keributan akan terjadi. Walaupun jika mendengar prolog oleh MC di awal sesi yang mengatakan akan “ada kejutan” dalam simposium di hari kedua ini. Mungkin saja kejutan tersebut bukan berupa seorang kakek tua yang membaca puisi di depan orang-orang yang pernah bermusuhan dengannya, yang baginya orang-orang ini disebut sebagai komunis atau antek komunis atau komunis gaya baru (KGB) atau bahkan mantan seniman-sastrawan Lekra. Tapi ternyata kejutan itu adalah sebuah pengusiran seorang tua yang tengah membaca karya sastra.

Publik tahu sudah sedari awal Taufiq Ismail menjadi sosok penyair yang terus berseberangan dengan ideologi komunisme ini. Khususnya bagi mereka yang bergiat di palagan sastra, pasti lebih mafhum atas sikap Taufiq ini. Bermula sebagai penyair muda yang ikut mendirikan Manikebu (Manifesto Kebudayaan, berdiri pada 17 Agustus 1963) yang beranggotakan para sastrawan dan budayawan dengan prinsip universal “Seni untuk seni” atau “Seni bukan untuk politik”. Manikebu berdiri konfrontatif secara ideologis dengan kelompok para jago sastra lainnya yang lebih dulu dibentuk, yakni Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat, berdiri pada 17 Agustus 1950). Prinsip berkebudayaan bagi Lekra adalah bahwa “Politik sebagai panglima” atau “Seni untuk Politik”. Dan Pramoedya Ananta Toer berdiri sebagai jagonya.

Polemik budaya dan sastra rentang 1962-1965 ini makin memuncak ketika Pramoedya (dengan nama samaran Abdullah SP) menulis di Harian Bintang Timur tentang kritik sastranya terhadap karya Hamka, “Tenggelamnya Kapal Van der Wijk”, yang dituduh sebagai karya plagiasi oleh Pram. Hamka seakan-akan menjadi pencuri, pencontek, miskin ide, kering kreasi dan lemah otak. Lebih lanjut lihat buku karangan Muhidin M. Dahlan “Aku Mendakwa Hamka Plagiat, Skandal Sastra Indonesia 1962-1964“, (2011).

Benar-benar judul buku yang berani. Tapi inilah alam akademis, intelek, demokrasi. Apalagi niatnya ingin meluruskan sejarah sastra nasional. Palagan sastra kita kusut dibuatnya. Koran Bintang Timur yang berhaluan kiri ini menelanjangi Hamka terang-terangan. Klaim dan vonis bagi Hamka, bahwa roman beliau adalah karya hasil contekan, tiruan alias plagiat. Roman besar Hamka tersebut dituding Pram sebagai saduran, tiruan dari novel “Magdalena” karya Mustafa Lutfi Al-Manfaluthi dari Mesir. Lebih lanjut sila kunjungi tulisan saya di; “http://www.kompasiana.com/satriwan/mendamaikan-hamka-dan-pramoedya-ananta-toer_551838dfa333117e07b66415”.

Membaca sekilas tentang cerita sejarah polemik budaya dan sastra tahun 1960-an ini, tentu kita akan langsung menarik benang merahnya bahwa polemik sastra yang terjadi sangat dipengaruhi oleh pertarungan ideologi dan kepentingan politik praktis di era Orde Lama Soekarno. Pastilah bisa ditebak, dimana posisi tegak seorang Taufiq Ismail? Jawabannya adalah di samping Hamka tentunya. Bersama HB Jassin, Trisno Sumardjo, Bokor Hutasuhut, Goenawan Mohamad, dll.

Permusuhan ideologis dan politis Taufiq Ismail dengan para aktivis Lekra seperti Pram merupakan wujud pertarungan ide, konsepsi-konsepsi atau ideologi dalam kesusasteraan dan kebudayaan umumnya. Yang sepertinya akhir-akhir ini kering kita saksikan, terkhusus di dunia politik yang sudah dipersatukan oleh ideologi ekonomis-transaksional plus kapital. “Lekra adalah sekrup mesin komunisme”, demikianlah ucapan dan pendirian Taufiq untuk menilai Komunisme, PKI dan Lekra.

Genderang perang Taufiq Ismail terhadap ideologi komunisme ini setidaknya dapat dibaca dalam 3 buku yang ditulisnya. Pertama, bersama DS. Moeldjanto mebuat buku berjudul “Prahara Budaya, Kilas Balik Ofensif PKI/Lekra dkk” (1995). Buku kedua, “Katastrofi Mendunia, Marxisma, Leninisma, Leninisma, Maoisma, Narkoba  (2004). Buku ketiga, “Sesudah 50 tahun Gagalnya Kudeta PKI (1965-2015) Dimulai dengan Api Semoga Berakhir dengan Air” (2015).

Dalam 3 buku bertemakan Komunisme dan PKI ini Taufiq mencoba menjaga konsistensi ideologisnya terhadap PKI dan Komunisme. Baginya ideologi ini telah membunuh 120 juta jiwa di 76 negara. Komunisme adalah ideologi bengis, kejam dan haus darah. Dan di dalam angka 120 juta nyawa yang dihabisi oleh Komunisme itu pulalah terdapat di dalamnya anak bangsa Indonesia yang dibantai PKI, demikian tulis Taufiq.

Ya begitulah sikap ideologis seorang penyair tua generasi Manikebu, Taufiq Ismail. Jika kita telusuri kembali, para sastrawan generasi Manikebu ini sudah berusia senja umumnya saat ini. Bahkan sudah banyak yang meninggal dunia. Walaupun usia Manikebu hanya 1 tahun (dibubarkan Soekarno pada Mei 1964 karena dinggap kontra revolusi), tapi perjuangannya untuk menjaga semangat Manikebu terus bergelora agaknya. Dalam manifestonya Manikebu -yang oleh aktivis Lekra diplesetkan menjadi “Manikebo” (sperma kerbau)- menyatakan bahwa Pancasila merupakan falsafah kebudayaan, bukan Komunisme atau Marxisme. Politik bukanlah sebagai panglima. Seni bersifat universal dan tidak boleh menghamba kepada politik atau penguasa. Baginya kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan kondisi hidup manusia.

Jadi kita sudah bisa menyimpulkan sekarang, ketika Taufiq membacakan puisi “Angka-angka” di depan peserta Simposium 1965 yang juga dihadiri oleh eks seniman Lekra dan underbow PKI lainnya, tentu saja menjadi perang terbuka, berhadap-hadapan dan mendapatkan panggung. Panggung sastra Taufiq distop oleh orang-orang yang mungkin saja baginya dinilai sebagai bekas PKI atau KGB tadi. Bagi (sebagian) peseta simposium tersebut, tindakan Taufiq tak lain tak bukan adalah upaya provokasi, di tengah-tengah ikhtiar kolektif anak bangsa untuk meluruskan sejarah kelam 1965.

Memang di video terlihat yang pertama kali menyela pembacaan puisi Taufiq adalah Ilham Aidit (anak kandung D.N. Aidit-Ketua CC PKI) yang hingga kini nama D.N. Aidit masih divonis sebagai sosok jahat, kejam, di dalam namanya tersimpan keburukan, kumal dan bau dalam sejarah nasional bangsa ini. Aidit masih dicitrakan sebagai pengkhianat bangsa, pemberontak yang tak bisa dimaafkan bahkan bromocorah, oleh generasi tua yang berjaya di masa Orba dan generasi muda yang hanya mengenal Aidit dari buku-buku sejarah buatan masa lalu.

Sebagian peserta simposium 1965, pembaca berita dan yang menyaksikan video (https://www.youtube.com/watch?v=xlzcCldf61U) tentang aksi pengusiran tersebut, akan terbagi setidaknya ke dalam 3 kelompok. Pertama, tentu yang bersikap antipati dan tidak suka terhadap larik tiap-tiap bait puisi “Angka-angka” yang dibacakan Taufiq. Karena bernada tuduhan dan memanas-manasi forum yang nota bene ada di antara pesertanya yang menjadi anggota PKI dulunya atau Lekra dan lainnya. Ketersinggungan itu sebenarnya kalaupun boleh dianggap “menuduh” dan “menyindir” PKI ada pada larik “….Sebabnya adalah mereka membantai bangsanya sendiri, di Indonesia, di Madiun mereka mendengar pembantaian….”.

Pertanyaan mendasarnya adalah kenapa harus tersinggung? Bukankah pembantaian di Madiun tersebut adalah fakta sejarah Muso dan Pemberontakan PKI 1948? Fakta sejarah tersebut diakui oleh para sejarawan dan diimani oleh Soekarno-Hatta sebagai sebuah upaya pemberontakan. Sampai-sampai seorang pejuang kiri Marxisme -juga berjasa besar bagi republik ini- yang bernama Tan Malaka menolak, menentang dan mengutuk pemberontakan PKI Muso 1948 itu. Bagi saya Taufiq tidak sedang berhalusinasi dalam menulis dan membacakan fakta sejarah yang ia konversi ke dalam baris-baris puisinya itu!

Kedua adalah kelompok yang jelas dan tegas konsisten membela Taufiq. Tentu kita sudah bisa menebak siapa, seperti aktivis organisasi Islam atau pegiat anti-komunis. Kelompok kedua ini hanya bicara di level media online yang tidak mainstream. Tapi kita lihat tak ada juga tokoh nasional, tokoh Islam dari ormas semisal NU, Muhammadiyah dan MUI yang membela Taufiq melalui media. Semua itu dapat dilacak di berita online maupun cetak mainstream. Paling juga bentuk pembelaan kepada Taufiq dilakukan di sosmed sebagai sebuah cuitan atau status dan broadcast yang bersifat temporer belaka, dari mereka yang menjadi pengagum kepenyairan beliau atau kumpulan anak-anak muda pegiat sastra yang juga mengidolakan syair-syairnya.

Tidak adanya pembelaan yang berarti untuk Taufiq agaknya wajar, karena dia bukanlah pemimpin ormas seperti NU, Muhammadiyah atau FPI. Bukan pula pengurus inti partai politik. Bukan pula pegiat jagad maya yang aktif berkicau di twitter seperti Goenawan Mohamad atau Sapardi Djoko Damono, yang punya ratusan ribu pengikut. Jadi tak mengherankan, jika Taufiq sepi pemihakan. Karena dia tidak punya pasukan maya. Pada titik ini Taufiq berjuang dalam kesendirian namun tetap konsisten, semenjak era Manikebu yang ideologis, sampai kini di tengah budaya populer yang makin rumit.

Dan ketiga adalah kelompok yang tidak peduli. Karena berpikir bahwa baik simposium 1965 yang seolah-olah memberikan ruang perhatian untuk korban atau harapan bagi “negara yang harus meminta maaf kepada mereka korban pasca 1965” dan sikap anti-komunisme ala Taufiq Ismail sama-sama sia-sia. Sebab generasi muda saat ini akan menjawab sejarah 1965 dengan caranya sendiri tanpa ada intervensi negara atau tindakan “menakut-nakuti” cerita horor kebangkitan hantu yang bernama PKI dan Komunisme itu. Bahkan pada titik tertentu generasi muda ini tak peduli dengan peristiwa sejarah tersebut, karena asik dengan gawai dan obsesinya menjadi karyawan dengan gaji jutaan di perusahaan multinasional ternama.

Terlepas dari suka atau tidak suka dengan isi puisi Taufiq yang dibacakan dalam Simposium 1965, saya memandang bahwa aktivitas kebudayaan mestilah kita hargai. Seorang sastrawan atau penyair itu bekerja untuk kebudayaan, bukan untuk pemerintah atau siapapun. Ketika penyair sedang membaca karya sastranya, inilah puncak prestasi kebudayaan seorang penyair. Kerja budaya tersebut mesti dimaknai dengan budaya dan sastra pula, bukan dengan sentimen politik tertentu. Apalagi jika kita cermati tiap baris puisi “Angka-angka” ini tidak ada yang keliru, karena Taufiq hanya membaca sejarah Komunisme.

Tak perlu ada yang tersinggung, toh hanya seorang renta yang tak punya pasukan, yang tengah membaca. Kenapa mesti takut dan cemas mendengarnya bait puisinya. Bukankah Taufiq Ismail datang dan tegak di depan Simposium 1965 karena diundang oleh Panitia Simposium 1965? Bukankah pula tuan dan nyonya Panitia Simposium 1965 sudah paham bagaimana isi kepala dan sikap ideologis seorang Taufiq Ismail terhadap Komunisme, PKI dan Lekra, yang ditunjukkannya selama ini? Bukankah karena sikap itu pulalah dia diundang dalam Simposium terhormat ini? Keliru besar jika panitia berharap Taufiq akan membaca dan menguraikan kumpulan puisi “Tirani dan Benteng” atau “Malu Aku Jadi Orang Indonesia” di depan simposium. Karena Simposium 1965 bukanlah kelas sastra.

Langkah terhormat mestinya ditunjukkan oleh panita dan peserta simposium yang terus meneriaki penyair gaek ini dengan makian provokator! Keluarkan dari ruangan ini! Itu bukan puisi tapi provokasi! Bukankah di ruangan juga hadir eks seniman Lekra yang juga jagonya membuat sastra serupa puisi. Sehabis Taufiq diturunkan dari panggungnya, Putu Oka Sukanta yang eks aktivis Lekra itupun membacakan puisinya, tanpa ada teriakan “huuuuuuuu…” dan makian “provokator!” oleh (sebagian) peserta simposium. Sungguh pemandangan yang merisaukan, ketika seorang penyair diusir karena tengah membacakan karyanya, dan karena (sebagian) peserta tak berselera dengan isi syairnya.

Bagi saya pembacaan puisi “Angka-angka” itu tak akan mampu menggerakan massa untuk terus menghantam PKI dan Lekra! Puisi “Angka-angka” itu tak akan laku dijual dan tak populer laiknya isi “Tirani dan Benteng”. Tak usahlah bersumbu pendek, toh kata “PKI” saja tidak ada dalam puisi tersebut. Tak usahlah khawatir, puisi “Angka-angka” itu tak akan menggerakan emosi rakyat Indonesia dan tak akan memengaruhi isi otak anak-anak muda yang mengamati jalannya simposium secara streaming di dunia maya. Mungkin malahan akan tertawa dan akan mengolok-oloknya.

Jika tak berselera mendengarnya, silakan tuan dan nyonya olok-olok si pembaca puisi, tutup kuping rapat-rapat ketika si penyair sedang bekerja, tanpa harus mengusirnya ketika membaca karya sastra. Apa bedanya tuan-tuan dengan sekelompok orang yang melarang pementasan monolog Tan Malaka di Bandung sana? Atau sekelompok orang yang dengan bengis memberhentikan diskusi filsafat dan acara musik Lady Fast di Yogyakarta? Atau pelarangan kegiatan BelokKiriFest di TIM beberapa waktu lalu. Apalagi atas nama demokrasi dan hak asasi, tuan dan nyonya duduk manis dan berbicara di dalam sana.

Bukankah seorang Goenawan Mohamad pernah berkata; “Kesusastraan adalah hasil proses yang berjerih payah, dan tiap orang yang pernah menulis karya sastra tahu: ini bukan sekadar soal keterampilan teknik. Menulis menghasilkan sebuah prosa atau puisi yang terbaik dari diri kita adalah proses yang minta pengerahan batin”. Dan ada benarnya apa yang dikatakan Pramoedya; “Kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra, kalian tinggal hanya hewan yang pandai“. Tulisan ini hanya sekedar tanggapan dari seorang guru biasa yang kebetulan penikmat karya sastra.

 

Rawamangun, 24 April 2016

Kita, Generasi Z dan Kegagapan Budaya

Standar

Generasi Z merupakan terma yang dipernkenalkan Barat dan ditempelkan kepada mereka yang terlahir lahir 1995-2010. Seperti yang diungkapkan dalam Teori Generasi (Generation Theory), hingga saat ini dikenal ada 5 generasi, yaitu: (1) Generasi Baby Boomer, lahir 1946-1964, (2) Generasi X, lahir 1965-1980, (3) Generasi Y, lahir 1981-1994, (4) Generasi Z, lahir 1995-2010, dan (5) Generasi Alpha, lahir 2011-2025. Generasi Internet (disebut juga iGeneration, Generasi Net, atau Generasi Internet) terlahir dari generasi X dan Generasi Y (Akhmad Sudrajat, 2012).

Masing-masing generasi memiliki karakter kolektif yang khas dan mirip, khususnya dalam karakter sosial-budaya dan pendidikannya. Di Indonesia, generasi yang lahir tahun ’70-an sampai ’90-an adalah generasi yang dibentuk oleh pemerintahan Orde Baru yang bercorak otoritarian. Bangunan masyarakat yang hidup pasca konflik sosial, terjebak pada konflik sipil dan berakhir kepada sikap saling curiga sesama anak bangsa, pasca G 30 S PKI. Generasi ini dibentuk di atas kecurigaan dan prasangka terhadap perbedaan, karena negara mengajarkan kepada warganya untuk hidup dengan “keseragaman”. Betul sekali, pemerintah era Orde Baru sukses membentuk masyarakat Indonesia dengan wajah “homogen”, walaupun jati dirinya adalah heterogen. Budaya suku etnis tertentu mendominasi budaya nasional (sebutlah kultur Jawa). Maka berlomba-lombalah para orang tua keturunan Tionghoa memberi nama anakanya dengan nuansa Jawa. Maka nama Joko, Anto, Ani, Budi, Badu dan Tono memenuhi tiap alinea di buku-buku pelajaran sekolah kala itu. Tak pernah ditemukan nama-nama seperti Alex, Hutagalung, Aisyah, Wanggai, Sondakh, Wayan, Mey-Mey atau Sangaji dalam buku pelajaran.

Dalam dunia pendidikan, wajah yang muncul adalah, pendidikan menjadi perangkat sakral yang hanya bisa berfungsi jika ditentukan secara absolut oleh guru dan sekolah. Guru menjadi super dominan dalam menentukan masa depan siswa. Pun para orang tua. Sampai-sampai generasi ini terlahir sebagai generasi yang pendek angan-angan. Bahkan cita-citapun harus ditentukan secara mutlak oleh orang tua. Generasi yang tipis kadar imajinasinya. Sebab orang tua, sekolah dan guru adalah kelompok trilogi yang sangat determinan. Betapa kuasanya guru di sekolah, misalnya ketika siswa tidak mengerjakan tugas, maka akan disuruh ke depan kelas berdiri tegak, sambil memegang kedua kuping, dan kaki kiri dinaikkan satu alias berdiri di satu kaki. Ketika SD dulu, kami menyebutkan “tagak itiak”. Ya, kamilah para generasi “tagak itiak” itu, yang lahir dan bersekolah di era 80-90an.

Ketika mengobrol atau berulah pada saat belajar di kelas dan tempat mengaji, guru tak segan-segan memerintah kami ke depan, kemudian menjulurkan keduatangan, lantas “plaakkk…plaakk…plaakk”, terdengar suara pukulan rotan panjang menyentuh kulit kami yang tipis dan dekil itu, sambil mengernyitkan dahi menahan rasa sakit. Bahkan ketika bercanda di saat mengaji dan shalat berjamaah, kami dihukum dengan berendam di kolam, di depan surau setelah shalat Isya berlangsung. Itulah kami, generasi yang dibesarkan oleh pukulan rotan dan cubitan kecil di pusar.

Bagaimana sikap orang tua kami melihat anaknya dihukum oleh guru sekolah? Justru orang tualah pihak yang paling bersyukur di saat anaknya menerima dijemur di tengah terik matahari dan hormat pada bendera merah putih, sebagai hukuman karena bercanda saat upacara hari Senin berlangsung. Selesai diberi hukuman tadi pagi, kemudian pulang sekolah, bukannya mendapatkan perhatian dan senyuman, justru kami disemprot dengan nada marah dari orang tua, mereka ikut-ikutan memarahi kami yang melanggar aturan. Kami menerimanya, tanpa sedikitpun merengek kepada Komnas PA atau KPAI, karena memang lembaga ini belumlah ada. Rasa perih itu dinikmati saja, bahkan menjadi pemacu kami untuk lebih berprestasi dan kuat ke depannya. Ya betul, mental kami sudah terasah dan karakter kami terbentuk. Bahkan di Flores, NTT terkenal semboyan yang dimiliki guru-guru lama, yaitu “di ujung rotan ada kesuksesan” (Kompas, 2012).

Bagaimana Generasi Z saat ini? Sepertinya cerita-cerita yang kami alami dulu itu, akan menjadi onggokan legenda masa lalu bagi mereka. Zaman sudah terbalik katanya. Mereka sudah sadar hak asasi manusia (HAM) dan berkembang dalam alam demokrasi. Generasi Z adalah mereka yang dibesarkan oleh teknologi komunikasi-informasi, mereka adalah manusia yang fasih internet dan dunia siber. Generasi Z ini pulalah yang memiliki andil memproduksi tata bahasa baru dalam perbendaharaan bahasa Indonesia saat ini. Kalau bukan karena mereka yang fasih siber, kita para Generasi X dan Y tak akan pernah mengenal istilah; cyber bullying, loading, upload data, download film, mem-posting foto, high-tech, game online hingga selfie dan gadget.

Mereka para Generasi Z ini diasuh dan dibesarkan bukan lagi oleh ayah dan ibu secara konvensional di rumah, tapi peran ayah/ibu sudah tergantikan oleh peranan internet yang beranak-pinak luar biasa, dengan bentuk derivasi dan perangkatnya seperti youtube, google, gadget, facebook, wikipedia, yahoo, twitter, instagram, we chat dan path. Orang tua asuh mereka adalah youtube, karena intensitas perjumpaan mereka lebih sering dengan “Justin Biber” via youtube ketimbang ibu dan ayah kandungnya, karena sibuk bekerja dan sudah lelah dengan kemacetan ibukota. Fenomena dunia siber ini tak hanya di perkotaan tapi sudah sampai singgah dan menetap di kamar-kamar anak kita di perkampungan.

Jangan kaget jika anak-anak kita sekarang lebih fasih mengucapkan kata gadget (yang dibaca gejet), selfie, upload dan download, ketimbang gawai (penulis pun belajar dari Koran Kompas, karena sepemahaman penulis, Kompas yang pertama kali mengenalkan terma “gawai” sebagai pengganti “gadget”), swafoto, unggah dan unduh. Generasi Z bertranformasi menjadi generasi yang gamang berbahasa ibu mereka. Mereka gagap berbahasa Indonesia, karena tidak pernah mendengar kata unduh dan unggah dalam perbincangannya sehari-hari. Apalagi kata gawai dan swafoto. Kemudian, lebih menakutkannya lagi, para guru mereka di sekolah (termasuk guru Bahasa Indonesia), pun terbawa-bawa oleh bahasa siber ini, sampai-sampai tidak juga kunjung mafhum apa padanan kata yang tepat dalam bahasa Indonesia dari istilah “Stand Up Comedy”. Inilah cerminan bangsa yang minder, inferior atau bermental Inlander kata Soekarno. Sungguh bangsa kita saat ini sudah megalami kegagapan budaya secara kolektif. Karena bagi penulis bahasa adalah cerminan budaya bangsa.

Sebagai khatam tulisan reflektif ini, penulis ingat nasihat Soe Hok Gie bahwa “kita patut belajar kepada Jepang, walaupun tumbuh berkembang dalam lintasan modernisasi, tetapi Jepang tetap tidak kehilangan dan tidak tercerabut dari akar budaya aslinya”.